Kamis, 17 Januari 2013

Hidup untuk Yang Maha Hidup


Oleh : Cecep Y Pramana

dakwatuna.com - Nabi SAW pernah menggambarkan bahwa hidup ini tidak ubahnya seorang musafir yang berteduh sesaat di bawah pohon yang rindang untuk menempuh perjalanan tiada batas. Oleh karena itu, bekal perjalanan tiada batas itu mesti disiapkan semaksimal mungkin. Karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa (QS. Al-Baqarah: 197).

Allah SWT menggariskan kepada kita tentang kehidupan akhirat. “‘Kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS Al A’laa: 17). Kehidupan jasad kita hanyalah sementara di dunia. Sedangkan kehidupan ruh, ia akan mengalami lima fase, yaitu: alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Berarti hidup di dunia hanya terminal pemberhentian menuju akhirat yang kekal.

Karena hidup adalah hanyalah sekumpulan hari, bulan, dan tahun yang berputar tanpa pernah kembali lagi. Dan setiap hari umur kita akan bertambah, namun usia berkurang. Hal itu berarti kematian semakin dekat.

Seharusnya kita semakin arif dan bijak dalam menjalaninya. Tetap dalam kesalehan, bertambah kuat aqidah, semakin khusyuk dalam beribadah, dan mempunyai akhlak yang mulia. Pada puncak kebaikan itu lalu kita wafat, itulah husnul khatimah.

Hidup ini ada di bawah aturan yang telah ditentukan Allah SWT. Segalanya digulirkan dan digilirkan. Hidup lalu mati, kecil akhirnya membesar, muda lama kelamaan akan tua, dan muncul kesenangan, terkadang berganti kesedihan. Semua itu adalah fana.

Namun, di tengah-tengah kefanaan itu, umat Rasulullah SAW adalah yang paling sukses, sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa umat Rasulullah adalah yang paling banyak mengingat mati, lalu ia akan mempersiapkan hidup setelah mati.

Akhirnya, mereka yang mengaku ‘cerdas’ akan mengetahui, lalu sadar dan yakin, bahwa hidup ini bukan untuk mati, akan tetapi mati itulah untuk hidup. Hidup bukan untuk hidup, tetapi untuk Yang Maha hidup, yaitu Allah Rabbul Izzati.

Karena itu, jangan pernah takut mati, namun jangan mencari mati. Jangan lupa mati, dan rindukanlah mati. Kenapa? Karena, kematian adalah pintu berjumpa dengan-Nya. Perjumpaan terindah antara kekasih dengan Kekasihnya.

Orang yang bertaqwa adalah orang yang sangat cerdas. Ia tidak akan mau terjebak pada “kenikmatan” sesaat, namun menderita berkepanjangan. Karena itu, ia akan selalu mengelola hidup yang sesaat dan singkat ini menjadi sangat berarti untuk kehidupan panjang tanpa akhir nanti, yaitu akhirat.

“Dan kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS Al Ankabut: 64).

Kamis, 19 Juli 2012

Sang Tamu Istimewa:Ramadhan yang Mulia

Oleh: Devia Puspita Sari dakwatuna.com – Sya’ban semakin bergegas meninggalkan perputaran waktu. Ia pun akan segera digantikan dengan bulan baru. Tak terasa kedatangan Ramadhan tiba. Menjadi bagian dari sendi waktu setiap manusia. Aroma kedatangannya melingkupi seluruh penjuru langit dan bumi. Semua ciptaanNya pun kian mempersiapkan diri untuk menyambut mesra kedatangan bulan ini. Ramadhan adalah bulan istimewa bagi yang ingin menjadi istimewa. Ramadhan menyimpan sejuta nikmat. Sangat disayangkan jika ada insan yang menyambut Ramadhan dengan persiapan yang biasa-biasa saja dan menyelaminya dengan aktivitas normal seperti bulan-bulan lain. Dan lebih disayangkan lagi jika masih ada yang belum mengetahui keutamaan Ramadhan bagi setiap insan yang melabelkan dirinya sebagai seorang muslim. Karena kehilangan setiap keutamaan yang ada dalam Ramadhan adalah kerugian terbesar dalam rangkaian tahun yang dijalani. Setiap fase kehidupan ada masa ta’aruf (perkenalan). Tujuannya adalah agar setiap fase yang dilalui dipahami identitasnya dan diselami keberadaannya. Pepatah mengatakan bahwa “Tak Kenal Maka Tak Sayang”, dan untuk mengenal maka ada proses Ta’aruf. Tidak akan mungkin ada suatu hikmah mencintai jika sebelumnya belum ada proses ta’aruf. Dan bagaimana mungkin seseorang bisa mengetahui indahnya Ramadhan jika dia tidak mencari bagaimana makna keindahan tersebut dan bagaimana pula seseorang bisa berkata saya mencintai Ramadhan jika dia tidak mengenal lebih dalam bulan ini dan tidak melakukan perubahan aktivitas yang signifikan dalam menyalurkan rasa cintanya tersebut. Keutamaan Ramadhan Keutamaan bulan ini telah dideskripsikan sendiri oleh Nabi SAW dalam khutbah baginda Rasulullah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Huzaimah dalam kitab Shahihnya. Dalam khutbahnya, Rasulullah menegaskan bahwa Ramadhan adalah bulan yang agung dan penuh berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilai (amal shalih) di dalamnya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai perbuatan sunnah (tathawwu’). Siapa saja yang mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan satu kebaikan, maka nilainya sama dengan mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan lain. Siapa saja yang mengerjakan satu perbuatan wajib, maka nilainya sama dengan mengerjakan tujuh puluh kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan juga adalah bulan kesabaran dan kesabaran itu balasannya surga. Ramadhan juga sebagai bulan tolong-menolong (ta’awun), di mana di dalamnya rezeki seorang mukmin bertambah. Siapa saja yang memberikan buka kepada orang yang berpuasa, maka itu akan menjadi maghfirah bagi dosa-dosanya, penyelamatnya dari api neraka, dan dia memperoleh pahala yang sama seperti orang yang berbuka puasa itu, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala orang tersebut. Di bulan ini, Allah SWT telah menurunkan Al-Qur’an, sebagaimana dituturkan Allah dalam surat Al-Baqarah: 185. Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah adalah ‘Iqra’, diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan 13 SH atau bulan Juli 610 M. Karena itu, bulan ini juga disebut Syahr Al-Qur’an (Bulan Al-Quran). Maka, jaga tilawah setiap harinya. Isi setiap waktu yang kosong dengan tilawah. Mari bersama melakukan khatam Al-Qur’an. Minimal satu kali khatam. Insya Allah. Rasulullah Muhammad SAW menuturkan: “Jika memasuki bulan Ramadhan, maka semua pintu langit dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahannam ditutup, sementara syaitan dibelenggu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, dan Ibn Hibban). Tidak hanya itu, Allah pun menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang menghiasi Ramadhannya dengan perbuatan baik. Melakukan satu amalan sunnah, pahalanya sama dengan amalan fardhu di bulan lain. Melakukan satu amalan fardhu, nilainya dilipatgandakan menjadi 70 kali di bulan lain. Karena itu Rasulullah menggunakan bulan ini untuk melipatgandakan amal shalih. Dalam riwayat Ibnu Abbas, dituturkan bahwa Nabi adalah orang yang paling dermawan dan lebih dermawan lagi ketika bulan Ramadhan, saat Jibril menemui baginda Rasulullah Muhammad SAW untuk mengecek hapalan Al-Qur’an beliau. Di bulan suci ini pula, Rasulullah dan para sahabat berhasil menaklukkan kota Mekah, tepatnya pada bulan Ramadhan 8 Hijriah. Penaklukan kota Mekah ini disebut sebagai penaklukan agung (Al-Fath Al-A’dham). Kaum Kafir Quraisy pun berbondong-bondong masuk Islam, termasuk Abu Sufyan dan para pemuka kafir Quraisy. Dan pada saat itulah turun perintah untuk menghancurkan berhala dari sekitar Ka’bah. Karena itu, Ramadhan juga dikenal sebagai Syahru Al-Jihad wa Al-Intishar (bulan Jihad dan Kemenangan). (Summary Kajian Akhwat di TMMIN pada 13 Juli 2012) Keutamaan di atas tidak akan pernah kita temui di bulan-bulan lain. Ia hanya Allah hadirkan di bulan istimewa ini yang kedatangannya tinggal dalam hitungan hari. Keutamaan-keutamaan tersebut adalah lampu pijar bagi kita untuk mengejar target ibadah yang telah dipersiapkan. Maka seorang muslim yang sadar, tidak akan menyiakan-nyiakan sedikitpun kesempatan di bulan istimewa ini di mana semuanya dihidangkan oleh Allah dengan keistimewaan masing-masing. Jika 1 perbuatan wajibnya nilainya 70 kali perbuatan wajib di luar bulan Ramadhan, maka jika dikalkulasi dalam satu hari ada 5 kali shalat dan 1 puasa, berarti 6 perbuatan wajib dikalikan 70, sama dengan 420 perbuatan wajib. Maha Besar Allah yang menganugerahkan kita pahala yang kian besar. Dan yang tersebut demikian itu adalah perbuatan wajib, belum lagi amalan sunnah lainnya. Dan belum lagi perhitungan jika muslim tersebut juga berdakwah yang notabene hukumnya wajib. Maka terus semangatlah teman-teman seperjuangan dakwah. Jangan pernah lewatkan moment kemenangan ini. Bulan yang penuh maghfirah dan ladang amal terbaik. Mari kita hiasi detik-detik bersamanya dengan sebaik-baiknya amal dan semulia-mulianya akhlak. Kemudian rendahkanlah diri memohon kepada Rabbul ‘alamin agar mengampuni dosa-dosa kita sebelumnya. Semoga kita dimuliakanNya dengan meraih kesempurnaan Taqwa di sisiNya. Aamiin yaa Robbal ‘alamiin. Sumber: www.dakwatuna.com

Kamis, 05 April 2012

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (5)

Hubungan Kesulitan dengan Kebahagiaan Semua orang yang memutuskan untuk hidup berkeluarga pasti mengangankan adanya kebahagiaan dalam hidup rumah tangganya, meski angan-angan tentang kebahagiaan juga berbeda-beda. Kebahagiaan sangat subyektip tetapi universal. Ada orang yang bahagia karena memperoleh sesuatu yang banyak, tetapi yang lain sudah cukup merasa bahagia meski hanya memperoleh sedikit. Ada orang yang merasa bahagia karena memperoleh susuatu tanpa bersusah payah, tetapi yang lain merasa bahagia justru telah bersusah payah lebih dahulu. Kebahagiaan ada yang sifatnya sesaat, ada yang lama dan bahkan ada kebahagiaan abadi. Makna bahagia Ada dua ungkapan, senang dan bahagia. Senang adalah terpenuhinya tuntutan syahwat, misalnya sedang lapar menemukan makanan lezat, sedang haus menemukan minuman segar, sedang sulit menemukan kemudahan, sedang kesepian ketemu teman atau kekasih, sedang nganggur dapat pekerjaan dan sebangsanya. Adapun bahagia berhubungan dengan misteri yang sangat subyektip, tetapi intinya adalah datangnya pertolongan ilahiyah hingga memperoleh sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan ilahiyah (al khair). Rasa bahagia misalnya terasa ketika anaknya lahir laki-laki setelah sekian lama mendambakan ingin mempunyai anak lelaki. Keberhasilan memiliki anak-lelaki tidak diklaim sebagai prestasi – ini karena aku bisa bikinnya misalnya; kata sang ayah- tetapi orang yang mempunyai anak lelaki setelah hampir putus asa mendambakan kehadirannya merasa bahwa kehadiran anak lelaki itu merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai. Kebahagiaan juga terasa ketika seorang ibu yang membesarkan anak gadisnya tanpa kehadiran suami sehingga ia dalam keadaan berat selalu berharap agar anaknya memiliki masa depan yang baik. Pada saatnya anak gadisnya dipersunting oleh seorang pemuda saleh yang cerah masa depannya. Masa depan cerah anak gadisnya itu tidak diklaim sebagai prestasinya tetapi benar-benar dipandang sebagai anugerah Tuhan. Jadi kebahagiaan itu datang dalam rangkaian kesulitan yang panjang tetapi ketika hadir tidak diakui sebagai prestasinya. Orang lainpun akan berkomentar, ibu itu sungguh sudah bekerja keras melampaui berbagai kesulitan dalam mengasuh anaknya sendirian, maka pantaslah jika Allah menganugerahinya kebahagiaan yang sempurna kepadanya. Dalam bahasa Arab ada empat kata yang berhubungan dengan kebahagiaan, yaitu sa`adah (bahagia), falah (beruntung), najat (selamat) dan najah (berhasil). Jika sa'adah (bahagia) mengandung nuansa anugerah Tuhan setelah terlebih dahulu mengarungi kesulitan, maka falah mengandung arti menemukan apa yang dicari (idrak al bughyah). Falah ada dua macam, dunyawi dan ukhrawi. Falah duniawi adalah memperoleh kebahagiaan yang membuat hidup di dunia terasa nikmat, yakni menemukan (a) keabadian (terbatas); umur panjang, sehat terus, kebutuhan tercukupi terus dsb, (b) kekayaan; segala yang dimiliki jauh melebihi dari yang dibutuhkan, dan (c) kehormatan sosial. Sedangkan falah ukhrawi terdiri dari empat macam, yaitu (a) keabadian tanpa batas, (b) kekayaan tanpa ada lagi yang dibutuhkan, (c) kehormatan tanpa ada unsur kehinaan dan (d) pengetahuan hingga tiada lagi yang tidak diketahui. Sedangkan najat merupakan kebahagiaan yang dirasakan karena merasa terbebas dari ancaman yang menakutkan, misalnya ketika menerima putusan bebas dari pidana, ketika mendapat grasi besar dari presiden, ketika ternyata seluruh keluarganya selamat dari gelombang tsunami dan sebagainya. Adapun najah adalah perasaan bahagia karena yang diidam-idamkan ternyata terkabul, padahal ia sudah merasa pesimis, misalnya keluarga miskin yang sepuluh anaknya berhasil menjadi sarjana semua. Kesenangan berdimensi horizontal, sedangkan kebahagiaan berdimensi horizontal dan vertikal. Orang masih bisa menguraikan anatomi kesenangan yang diperolehnya, tetapi ia akan susah mengungkap rincian kebahagiaan yang dirasakannya. Air mata bahagia merupakan wujud ketidakmampuan kata-kata. Prof. Fuad Hasan dalam bukunya Pengalaman Naik Haji mengaku tidak bisa menerangkan kenapa beliau menangis di depan Ka`bah, karena kebahagiaan yang beliau alami berdimensi vertikal, bernuansa anugerah, bukan prestasi. Banyak mempelai menitikkan air mata ketika akad nikah, demikian juga kedua orang tuanya, dan mereka tidak bisa menerangkan anatomi perasaan bahagianya. Kebahagiaan berkaitan dengan tingkat kesulitan yang dialami. Kebahagiaan sesungguhnya dalam kehidupan rumah tangga bukan ketika akad nikah, bukan pula ketika bulan madu, tetapi ketika pasangan itu telah membuktikan mampu mengarungi samudera kehidupan hingga ke pantai tujuan, dan di pantai tujuan ia mendapati anak cucu yang sukses dan terhormat. Sungguh orang sangat menderita ketika di ujung umurnya menyaksikan anak-anak dan cucu-cucunya nya sengsara dan hina, meski perjalanan bahtera rumah tangganya penuh dengan sukses story. Kebahagiaan biasanya datang setelah orang sukses mengatasi kesulitan yang panjang, tetapi tidak semua kesulitan mengantar pada kebahagiaan yang sebenarnya. Menurut hadis Nabi ada empat pilar kebahagiaan dalam hidup berumah tangga; (1) isteri/suami yang setia (2) anak-anak yang berbakti (3) lingkungan sosial yang sehat dan (4) rizkinya dekat. Kesetiaan membuat hati tenang dan bangga, anak-anak yang berbakti menjadikannya sebagai buah hati, lingkungan sosial yang sehat menghilangkan rasa khawatir dan rizki yang dekat merangsang optimisme, idealisme dan imajinasi. Makna Kesulitan Imam Gazali dalam Ihya `Ulumuddin mengatakan bahwa setiap kali target ditingkatkan maka jalannya menjadi sulit, kendalanya banyak dan dibutuhkan waktu lebih lama, kullama zada al mathlub sho`uba masalikuhu wa katsura `aqabatuhu wa thala zamanuhu. Jadi tingkat kesulitan berhubungan dengan tingkat target. Jika orang ingin sekedar senang dalam hidup, maka ia dapat mencari kesenangan instan, pergi ke tempat hiburan, berfoya-foya dan berpesta pora. Tetapi jika seseorang ingin meraih kebahagiaan, maka ia justeru harus siap menderita menghadapi kesulitan, melupakan kesenangan jangka pendek. Manusia didesain oleh Tuhan dengan sempurna, memiliki akal sebagai alat berfikir, hati sebagai alat memahami, nurani sebagai alat introspeksi, syahwat sebagai penggerak tingkah laku dan hawa nafsu sebagai tantangan. Kesemuanya itu dirancang untuk menghadapi medan kehidupan yang sulit. Dengan akal manusia bisa memecahkan masalah yang sulit, dengan hati manusia bisa menerima kenyataan yang pahit, dengan nurani manusia bisa mundur selangkah demi memperbaiki diri, dengan syahwat membuat manusia dinamis mencari dan dengan hawa nafsu manusia menjadi tertantang untuk mampu mengendalkan diri. Manusia di satu sisi memang menyukai stabilitas dan kenyamanan hidup, tetapi di sisi lain manusia juga menyukai kesulitan. Manusia tidak selalu lari dari kesulitan, sebaliknya justru menantang kesulitan. Jika dalam kehidupan sehari-hari hidup selalu stabil dan nyaman tanpa menjumpai kesulitan, maka dibuatlah stimulasi agar orang menaklukkan kesulitan buatan. Mahasiswa berlomba naik tebing buatan (wall climbing), pembalap mobil mencari medan berlumpur, yang berperahu mengikuti arum jeram, setiap agustusan orang ramai-ramai memanjat pohon pinang yang dilumuri oli, yang sudah punya dua kaki justeru berlomba lari dalam karung. Pokoknya banyak sekali kesulitan yang sengaja dibuat untuk ditaklukkan, mengapa ? karena manusia memang memiliki tabiat tertantang. Kesulitan buatan pada umumnya hanya melahirkan kesenangan, yakni senang menjadi juara, tetapi belum tentu sampai kepada kebahagiaan. Kesusahan biasanya menambahi kesulitan, tetapi tidak semua kesulitan membuat susah. Adapun kebahagiaan biasanya merupakan buah dari ketabahan menghadapi kesulitan panjang yang bersifat alamiah dalam kehidupan. Itulah maka hakikat kebahagiaan hidup berumah tangga biasanya baru diperoleh setelah kakek nenek, yakni ketika menyaksikan anak cucu sebagai generasi penerusnya hidup sukses dan terhormat. Kesulitan juga harus dibedakan antara analisa dan perasaan, antara kesulitan teknis dan merasa sulit. Ada hambatan yang menurut analisa teknis masuk kategori sangat sulit dan berat, tetapi ada orang yang memandangnya ringan-ringan saja. Kenapa ? karena ia merasa tertantang untuk dapat menaklukkan kesulitan dan ia menyadari bahwa kesulitan itu merupakan proses mencapai kebahagiaan. Ia tidak merasa berat dan sulit ketika menghadapi kesulitan karena ia selalu membayangkan buah kebahagiaan yang akan dipetiknya, seperti seorang petani yang belepotan lumpur di sawah, ia tidak merasa risih dengan lumpur karena ia membayangkan panennya nanti. Sedangkan merasa sulit merupakan respon psikologis terhadap problem dan perasaan itu berhu bungan dengan tingkat kapasitas kejiwaan yang bersangkutan. Penutup Suasana Akad nikah yang anggun dan religious bisa menjadi pondasi psikologis dalam menapaki sejarah kehidupan. Selanjutnya penghayatan atas sunnatulloh kehidupan disertai dengan sikap amanah dalam konteks horizontal maupun vertical amin keberkahan hidup berkeluarga. Yushlih lakum a`malakum wa yaghfir lakum dzunubakum. Sumber : Mubarok Institut

Minggu, 11 Desember 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (4)

Terapi Psikologis

Ada tiga teori untuk menerangkan mengapa “sesuatu” berlangsung dengan baik dan di tempat lain atau pada orang lain “sesuatu” itu justru tidak dapat berlangsung dengan baik.

• Teori Transaksional

Menurut teori ini, hubungan antar manusia (interpersonal) itu berlangsung mengikuti kaidah transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntungan dalam transaksinya atau malah merugi. Jika merasa memperoleh keuntungan maka hubungan itu pasti mulus, tetapi jika merasa rugi maka hubungan itu akan terganggu , putus, atau bahkan berubah menjadi permusuhan.

Demikian juga suami, isteri, mantu, mertua, mereka berfikir; kontribusi mereka sebanding dengan keuntungan yang diperoleh atau malah rugi. Oleh karena itu seyogyanya, suami, isteri, mantu dan mertua selalu bertanya; apa yang dapat saya berikan, jangan bertanya apa yang dapat saya peroleh. Isteri pasti penuh perhatian kepada suami jika ia merasa banyak menerima dari suami, mertua juga pasti sayang mantu jika merasa banyak menerima dari menantu. Suami pun akan semakin sayang kepada isteri jika ia merasa banyak menerima dari isteri, sang mantu juga akan sangat hormat kepada mertua jika ia merasa banyak dibantu.

• Teori Peran

Menurut teori ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana semestinya peran setiap orang dalam pergaulannya . Dalam skenario itu sudah ‘tertulis” seorang Presiden harus bagaimana, seorang gubernur harus bagaimana, seorang guru harus bagaimana, murid harus bagaimana. Demikian juga sudah tertulis peran apa yang harus dilakukan oleh suami, isteri, ayah, ibu, anak, mantu , mertua dan seterusnya.

Menurut teori ini, jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh penonton dan ditegur sutradara. Wanita sudah bersuami tetapi genit di depan umum, pasti digunjing orang banyak, karena menurut skenario, seorang isteri hanya boleh genit kepada suaminya. Seorang suami tidak bekerja, isterinya bekerja membanting tulang, tetapi suami tenang-tenang saja hidup numpang isteri. Nah lelaki seperti ini pasti tidak dihormati orang karena menurut skenario, suami adalah tulang punggung keluarga.

• Teori Permainan

Menurut teori ini, klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga, yaitu anak-anak, orang dewasa dan orang tua. Anak-anak itu manja, tidak mengerti tanggung jawab, dan jika permintaanya tidak segera dipenuhi ia akan nangis terguling-guling atau ngambek.

Sedangkan orang dewasa, ia lugas dan sadar akan tanggung jawab, sadar akibat dan sadar resiko. Adapun orang tua, ia selalu memaklumi kesalahan orang lain dan menyayangi mereka. Tidak ada orang yang merasa aneh melihat anak kecil menangis terguling-guling ketika minta eskrim tidak dipenuhi, tetapi orang akan heran jika ada orang tua yang masih kekanak-kanakan.

Suasana rumah tangga juga ditentukan oleh bagaimana kesesuaian orang dewasa dan orang tua dengan sikap dan perilaku yang semestinya ditunjukkan. Sudah semestinya suami dan isteri bersikap dewasa, tetapi kepada anak-anaknya mereka harus bersikap sebagai orang tua. Mereka juga tidak kaget jika melihat sikap anak-anaknya yang kekanak-kanakan. Jika mereka tidak bisa bersikap sesuai dengan tingkatannya maka suasana pasti runyam.

Sumber : Mubarok Institute

Jumat, 25 November 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (3)



Terapi Al Qur’an

Al Qur’an memberikan panduan umum kepada pasangan keluarga agar berpegang teguh kepada taqwa ketika sedang mencari pemecahan masalah. Taqwa menjamin output berupa way out dan rizki, waman yattaqillaha jaj`al lahu makhraja wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib (Q/….) Taqwa artinya berpegang teguh kepada kebenaran ilahiyah dan konsisten menghindari larangan Allah, imtitsalu awamirihi wa ijtinabu nawahihi.
Secara psikologis takwa adalah aksi moral yang integral, yakni perilaku yang lahir dari komitmen nilai moralitas yang dianut orang beragama. Jadi, sesulit apapun problem, jika dalam pemecahanya berpijak pada komitmen taqwa maka jalan keluar maupun jalan masuknya baik, seperti semangat doa; rabbi adkhilni mudkhala shidqin wa akhrijni mukhraja shidqin wa ij`al li min ladunka sulthanan nashira.
Al Qur`an secara khusus juga memberi terapi dengan menggunakan pendekatan ishlah dan mu`asyarah bi al ma`ruf, mau`idzah dan ihsan.

• Bagaimanapun keadaannya, meski sedang kesal, hendaknya masing-masing bertindak secara ma`ruf, bergaul secara ma`ruf (wa`asyiruhunna bi al ma`ruf/Q/4:19 imsakun bi ma`ruf/Q/2:229). Ma`ruf adalah sesuatu yang secara sosial dipandang baik dan patut. Ini artinya orang harus juga memperhatikan kebiasaan dan tata krama yang dianut masyarakat dimana seseorang berada.

• Semangat yang dicari haruslah ishlah. Jika yang dicari itu ishlah pasti Allah akan menolong; in yurida ishlahan yuwaffiqillahu bainahuma (Q/4:35). Ishlah mengandung muatan makna shulh (perdamaian) shalih (baik , patut dan layak) dan mashlahat (konstruktip). Baik suami maupun isteri harus mengedepankan niat berdamai, berpikir konstruktip dan tetap menunjukan perilaku yang patut.

• Ada tahapan-tahapan dalam mencari pemecahan masalah. Artinya masing-masing suami dan isteri harus sabar, tidak keburu nafsu dan tidak putus asa. Dalam kasus suami membimbing isteri misalnya, menurut al Qur’an, pertama harus mengedepankan nasehat, mau`idzah. Jika belum efektip, meningkat ke kesungguhan sikap-seperti berpisah tempat tidur. Jika belum efektip, baru langkah yang lebih tegas (Q/4:34)

• Seandainya harus mengambil keputusan yang pahit, perpisahan misalnya, itupun harus dengan ihsan (imsakun bima`rufin au tasrihun bi ihsan (Q/2:229). Ihsan adalah kebaikan yang murni, ihsan mahdlah, terlepas dari berbagai kepentingan, gengsi misalnya. Orang yang berbuat ihsan disebut muhsin- muhsinin.

Sumber : Mubarok Institute