Kamis, 17 Desember 2009

Rahasia Hijrah

dakwatuna.com - Hijrah adalah keniscayaan. Allah swt. membangun sistem di alam ini berdasarkan gerak. Pelanit bergerak, berjalan pada porosnya. Allah berfirman: ”Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yasin: 38). Imam Syafii’i menggambarkan dalam sya’irnya yang sangat indah bahwa air yang tergenang akan busuk dan air yang mengalir akan bening dan jernih. Seandainya matahari berhenti di ufuk timur terus menerus, niscaya manusia akan bosan dan stres.

Benar, hijrah sebuah keniscayaan. Karena dalam diam tersimpan segala macam keburukan. Mobil yang didiamkan berhari-hari akan karat dan hancur. Jasad yang didudukkan terus menerus akan mengidap banyak penyakit. Itulah rahasia mengapa harus olah raga. Syaikh Muhammad Al Ghazali berkata: ”Bahwa orang-orang yang nganggur adalah manusia yang mati. Ibarat pohonan yang tanpa buah para penganggur itu adalah manusia-manusia yang wujudnya menghabiskan keberkahan.”

Terbukanya kota Mekah adalah keberkahan hijrah. Seandainya Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya tetap berdiam di kota Mekah, tidak pernah terbayang akan lahir sebuah kekuatan besar yang kemudian menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Sungguh berkat hijrah ke kota Madinah kekuatan baru umat Islam terbangun, yang darinya kepemimpinan Islam merambah jauh, tidak hanya melampaui kota Mekah, pun tidak hanya melampaui Jazirah Arabia, melainkan lebih dari itu melampaui Persia dan Romawi.

Ada beberapa dimensi hijrah yang harus kita wujudkan dalam hidup kita sehari-hari di era modern ini, agar kita medapatkan keberkahan:

Pertama, dimensi personal, bahwa setiap mukmin harus selalu lebih baik kwalitas keimannya dari hari kemarin. Karenanya dalam Al-Qur’an Allah swt. selalu menggunakan kata ahsanu amala (paling baiknya amal). Maksudnya bahwa tidak pantas seorang mukmin masuk di lubang yang sama dua kali. Itulah sebabnya mengapa sepertiga Al-Qur’an menggambarkan peristiwa sejarah. Itu untuk menekankan betapa pentingnya belajar dari sejarah dalam membangun ketaqwaan. Dari sini kita paham mengapa Allah swt. dalam surah Al Hasyr:18 menyandingkan perintah bertaqwa dengan perintah belajar dari sejarah: ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Kedua, dimensi sosial, bahwa seorang mukmin tidak pantas berbuat dzalim, mengambil penghasilan secara haram dan hidup bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Seorang mukmin harus segera hijrah dari situasi sosial semacam ini. Seorang mukmin harus segera membangun budaya takaful –saling menanggung-. Itulah rahasia disyari’atkannya zakat. Bahwa di dalam harta yang kita punya ada hak orang lain yang harus dipenuhi. Allah berfirman : ”Walladziina fii amwaalihim haqqun ma’luum (dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.”) (QS. Al Maarij: 24).

Dan ini telah terbukti dalam sejarah bahwa membangun budaya takaful akan menyelesaikan banyak penyakit sosial yang akhir-akhir ini sangat mencekam. Terlalu tingginya angka kemiskinan dan penganggguran di tengah negeri yang kaya secara sumber alam, sungguh suatu pemandangan yang naif. Namun ini tentu ada sebabnya, di antaranya yang paling pokok adalah karena kedzaliman dan ketidak jujuran. Dari sini jelas bahwa hijrah yang harus dibuktikan saat ini adalah komitmen untuk tidak lagi mengulangi budaya korupsi. Sebab dari budaya inilah berbagai penyakit sosial lainnya tak terhindarkan.

Ketiga, dimensi dakwah, bahwa seorang mukmin tidak boleh berhenti pada titik sekedar mengaku sebagai seorang mukmin secara ritual saja, melainkan harus dibuktikan dengan mengajak orang lain kepada kebaikan. Ingat bahwa syetan siang dan malam selalu bekerja keras mengajak orang lain ke neraka. Syetan berkomitmen untuk tidak masuk neraka sendirian.

Dari sini saatnya seorang mukmin harus bersaing dengan syetan. Ia harus hijrah dari sikap pasif kepada sikap produktif. Produktif dalam arti bekerja keras mengajak orang lain ke jalan Allah. Sebab tidak pantas seorang mukmin bersikap pasif. Pasifnya seorang mukmin bukan saja akan membawa banyak bakteri pelemah iman, melainkan juga membawa bencana bagi kemanusiaan.

Itulah sebabnya mengapa seorang pemikir muslim abad ini dari India Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi menulis sebuah buku yang sangat terkenal dan menomental: maadzaa khasiral aalam bin khithaathil muslimiin ( betapa dahsyatnya kerugian yang dialami dunia ketika umat Islam tidak berdaya).

Ini benar, bahwa dunia ini memang membutuhkan umat Islam yang berdaya. Umat Islam yang produktif. Bukan umat Islam yang pasif. Dan kini kita menyaksikan dengan mata kepada betapa kerusakan merejalela melanda kemanusiaan akibat dari lemahnya umat Islam. Bandingkan dengan dulu ketika Umar Bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz memimpin dunia. Inilah hijrah yang harus segara kita buktikan. Wallhu a’lam bishshawab.

Sumber : dakwatuna.com



Lihat Kartu Ucapan Lainnya
(KapanLagi.com)




Lihat Kartu Ucapan Lainnya
(KapanLagi.com)

Senin, 14 Desember 2009

Membangun Kepribadian Islami

dakwatuna.com – Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan paling mulia dibanding dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Allah SWT berfirman,

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (QS. Al Isra: 70)

Urgensi Kepribadian Islami

Menjadi pribadi yang Islami merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam agama Islam. Hal ini karena Islam itu tidak hanya ajaran normatif yang hanya diyakini dan dipahami tanpa diwujudkan dalam kehidupan nyata, tapi Islam memadukan dua hal antara keyakinan dan aplikasi, antara norma dan perbuatan , antara keimanan dan amal saleh. Oleh sebab itulah ajaran yang diyakini dalam Islam harus tercermin dalam setiap tingkah laku, perbuatan dan sikap pribadi-pribadi muslim.

Memang, setiap jiwa yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Tapi bukan berarti kesucian dari lahir itu meniadakan upaya untuk membangun dan menjaganya, justru karena telah diawali dengan fitrah itulah, jiwa tersebut harus dijaga dan dirawat kesuciannya dan selanjutnya dibangun agar menjadi pribadi yang islami.

Ruang Lingkung Kepribadian Islami

Sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sebagai berikut:

A. Ruhiyah (Ma’nawiyah)

Aspek ruhiyah adalah aspek yang harus mendapatkan perhatian khusus oleh setiap muslim. Sebab ruhiyah menjadi motor utama sisi lainnya, hal ini bisa kita simak dalam firman Allah SWT di Surat Asy-Syams : 7-10

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh sangat beruntung orang yang mensucikannya dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya,” (QS. Asy Syams: 7-10).

Dan dalam surat Al Hadid ayat 16:

“Belumkah datang waktunya untuk orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka berdzikir kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab di dalamnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ” QS. Al-Hadid:16).

Ayat-ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya untuk senantiasa menjaga ruhiyah, kerugian yang besar bagi orang yang mengotorinya dan peringatan keras agar kita meninggalkan amalan yang bisa mengeraskan hati. Bahkan tarbiyah ruhiyah adalah dasar dari seluruh bentuk tarbiyah, menjadi pendorong untuk beramal saleh dan dia juga memperkokoh jiwa manusia dalam menyikapi berbagai problematika kehidupan.

Aspek-aspek yang sangat terkait dengan ma’nawiyah seseorang adalah:

a. Aspek Aqidah. Ruhiyah yang baik akan melahirkan aqidah yang lurus dan kokoh, dan sebaliknya ruhiyah yang lemah bisa menyebabkan lemahnya aqidah. Padahal aqidah adalah suatu keyakinan yang akan mewarnai sikap dan tingkah laku seseorang. Oleh sebab itu kalau ingin aqidahnya terbangun dengan baik maka ruhiyahnya harus dikokohkan. Jadi ruhiyah menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim karena dia akan mempengaruhi bangunan aqidahnya.

b. Aspek akhlaq. Akhlaq adalah bukti tingkah laku dari nilai yang diyakini seseorang. Akhlaq merupakan bagian penting dari keimanan. Akhlaq juga salah satu tolok ukur kesempurnaan iman seseorang. Terawatnya ruhiyah akan membuahkan bagusnya akhlaq seseorang. Allah swt dalam beberapa ayat senantiasa menggandengkan antara iman dengan berbuat baik. Rasulullah saw pun ketika ditanya tentang siapakah yang paling baik imannya ternyata jawab Rasulullah saw adalah yang baik akhlaqnya (”ahsanuhum khuluqan”)

أي المؤمنين افضل إيمانا ؟ قال احسنهم خلقا. رواه ابو داود والترمذى والنسائ والحاكم.

“Mukmin mana yang paling baik imannya? Jawab Rasulullah ” yang paling baik akhlaqnya” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)

Bahkan diutusnya Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- pun untuk menyempurnakan akhlaq manusia sehingga menjadi akhlaq yang islami

َ إًَِنما بعثت لأتمم مكا رم الأخلاق

Tolok ukur dan patokan baik dan tidaknya akhlaq adalah al-Qur’an. Itulah sebabnya akhlaq keseharian Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- merupakan cerminan dari Al-Qur’an yang beliau yakini. Hal ini terbukti dari jawaban Aisyah ra ketika ditanya tentang bagaimana akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- , jawab beliau “Akhlaq Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- adalah al-Qur’an.

كان خلقه القرآن

c. Aspek tingkah laku. Tingkah laku adalah cerminan dari akhlaq yang melekat pada diri seseorang….

B. Fikriyah (’Aqliyah)

Kepribadian Islami juga ditentukan oleh sejauh mana kokoh dan tidaknya aspek fikriyah. Kejernihan fikrah, kekuatan akal seseorang akan memunculkan amalan, kreativitas dan akan lebih dirasa daya manfaat seseorang untuk orang lain. Fikrah yang dimaksud meliputi:

a. Wawasan keislaman. Sebagai seorang muslim menjadi keniscayaan bagi dia untuk memperluas wawasan keislaman. Sebab dengan wawasan keislaman akan memperkokoh keyakinan keimanan dan daya manfaat diri untuk orang lain.

b. Pola pikir islami. Pola pikir islami juga harus dibangun dalam diri seorang muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan bersumber pada satu sumber yaitu kebenaran dari Allah swt. Islam sangat menghargai kerja pikir ummatnya. Di dalam al-Qur’an pun sering kita jumpai ayat ayat yang menganjurkan untuk berpikir: “afala ta’qiluun, afala tatafakkaruun, la’allakum ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun,”

افلا تعقلون ,أفلا تذكرون, افلا تتفكرون, لعلكم تعقلون,لعلكم تذكرون

Seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, beraneka macamnya tingkah laku manusia sampai adanya aneka pemikiran dan pemahaman manusia hendaknya menjadi pemikiran seorang muslim. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah –subhânahu wa ta`âlâ- bukan sebaliknya.

c. Disiplin (tepat) dan tetap (tsabat) dalam berislam. Sungguh kehidupan ini tidak terlepas dari ujian, rintangan dan tantangan serta hambatan. Ujian tersebut tidak akan berakhir sebelum nafasnya berakhir. Oleh sebab itulah untuk menghadapinya perlu tsabat dalam berpegang pada syariat Allah swt.

“dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)

Di surat Ali Imran: 102 Allah SWT menjelaskan,

“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu sebenar-benar taqwa. Dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)

Begitu pentingnya tsabat dijalan Allah, sampai Rasulullah –shallallâhu `alaihi wa sallam- mengajarkan do’a kepada ummatnya, sebagai berikut:

اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك (رواه الترمذى)

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hati-hati kami untuk tetap berada pada agamaMu “

C. Amaliyah (Harokiyah)

Di antara sisi yang harus dibangun pada pribadi muslim adalah sisi amaliyahnya. Amaliyah harakiah yang merubah kehidupan seorang mukmin menjadi lebih baik. Hal ini penting sebab amaliyah adalah satu di antara tiga tuntutan iman dan Islam seseorang. Tiga tuntutan tersebut adalah: al-iqror bil- lisan (ikrar dengan lisan), at-tashdiq bil-qalb ( meyakini dengan hati), dan al-amal bil jawarih (beramal dengan seluruh anggota badan). Jadi tidak cukup seseorang menyatakan beriman tanpa mewujudkan apa yang diyakininya dalam bentuk amal yang nyata.

“Maka katakanlah “beramallah kamu niscaya Allah dan RasulNya serta orang-orang beriman akan melihat amalanmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah: 105)

Umat Islam dituntut oleh Allah –subhânahu wa ta`âlâ- untuk menunaikan sejumlah amal, baik yang bersifat individual maupun yang kolektif bahkan kewajiban yang sistemik. Kewajiban individual akan lebih khusyu’ dan lebih baik pelaksanaannya jika ditunjang dengan sistem yang kondusif. Shalat, puasa , zakat dan haji misalnya akan lebih baik dan lebih khusyu’ kalau dilaksanakan di tengah suasana yang aman tenteram dan kondusif. Apalagi kewajiban yang bersifat sistemik seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad dsb, mutlak memerlukan ketersediaan perangkat sistem yang memungkinkan terlaksananya amal tersebut.

Pentingnya amaliyah harakiah dalam kehidupan seorang mukmin laksana air. Semakin banyak air bergerak dan mengalir semakin jernih dan semakin sehat air tersebut. Demikian juga seorang muslim semakin banyak amal baiknya, akan semakin banyak daya untuk membersihkan dirinya, sebab amalan yang baik bisa menjadi penghapus dosa. Simaklah QS. Huud: 114

“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam, sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk (dosa), itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (QS. Huud: 114)

Ada sedikitnya tiga alasan kenapa seorang harus beramal:

1. Kewajiban diri pribadi.

Sebagai hamba Allah tentunya harus menyadari bahwa dirinya diciptakan bukan untuk hal yang sia-sia. Baik jin dan manusia Allah ciptakan untuk tujuan yang amat mulia yaitu untuk beribadah, menghamba kepada Allah –subhânahu wa ta`âlâ-. Amalan adalah bentuk refleksi dari rasa penghambaan diri kepada Dzat yang mencipta.

“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah” (QS. Adz Dzaariyaat: 56)

Di samping itu pertanggungjawaban di depan mahkamah Allah nanti bersifat individu. Setiap individu akan merasakan balasan amalan diri pribadinya.

“Dan bahwasanya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (QS. an-Najm: 39-41).

2. Kewajiban terhadap keluarga.

Keluarga adalah lapisan kedua dalam pembentukan ummat. Lapisan ini akan memiliki pengaruh yang kuat baik dan rusaknya sebuah ummat. Oleh sebab itulah seseorang dituntut untuk beramal karena terkait dengan kewajiban dia membentuk keluarga yang Islami, sebab tidak akan terbentuk masyarakat yang baik tanpa melalui pembentukan keluarga yang baik dan islami.

“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim :6)

Setiap muslim seharusnya mampu membentuk keluarga yang berkhidmat untuk Islam, seluruh anggota keluarga terlibat dalam amal islami di seluruh bidang kehidupan.

3. Kewajiban terhadap dakwah.

Beramal haraki bagi seorang muslim bukan hanya atas tuntutan kewajiban diri dan keluarganya saja, akan tetapi juga karena tuntutan dakwah. Islam tidak hanya menuntut seseorang saleh secara individu tapi juga saleh secara sosial.

“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:71)

“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Juga di dalam surat Fushshilat ayat 33:

“siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)

Allahu a’lam.

Sumber : dakwatuna.com

Sabtu, 07 November 2009

Republika Online - Keutamaan Akhlak

Republika Online - Keutamaan Akhlak




Berfikirlah sebelum berbuat maksiat

Seorang laki-laki datang kepada Ibrahim bin Adham rahimahullah, Dia berkata: “Ya Abu Ishaq, aku sering berbuat maksiat. Katakan sesuatu kepadaku sebagai nasihat yang bisa membantuku.”

Ibrahim berkata: “Jika kamu menerima 5 perkara dan kamu mampu melakukannya, niscaya kemaksiatan tidak akan merugikanmu.”

Dia menjawab, “Katakan wahai Abu Ishaq”

Ibrahim berkata, “Pertama, jika kamu hendak bermaksiat kepada Allah ta'ala maka jangan kamu makan rizki-Nya”

Laki-laki itu berkata, “Dari mana aku makan sementara semua yang ada di bumi adalah rizki-Nya?”

Ibrahim berkata, “Wahai Bapak, apakah pantas engkau memakan rizki-Nya, sementara itu engkau bermaksiat kepada-Nya?”

Laki-laki itu menjawab, “Tidak pantas. Katakan yang kedua”


Ibrahim menjawab, “Jika kamu hendak bermaksiat kepada-Nya, maka jangan tinggal di bumi-Nya”

Laki-laki itu menjawab, “Yang ini lebih berat. Dimana saya akan tinggal?”

Ibrahim berkata, “Wahai Bapak, pantaskah engkau bermaksiat kepada-Nya, sementara engkau makan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya?”

Laki-laki itu menjawab, “Tidak pantas. Katakan yang ketiga”

Ibrahim berkata, “Jika kamu hendak bermaksiat kepada-Nya, kamu makan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat dimana Dia tidak melihatmu. Disitulah kamu bisa melakukannya.”

Laki-laki itu menjawab, “Wahai Ibrahim, apa ini? Mana mungkin, sementara Dia mengetahui perkara-perkara yang tersembunyi”

Ibrahim berkata, “Wahai Bapak, apakah pantas kamu makan rizki-Nya, tinggal di bumi-Nya, lalu kamu bermaksiat kepada-Nya, padahal Dia melihatmu, mengetahui apa yang kamu tampakkan dan kamu rahasiakan?”

Laki-laki itu menjawab, “Tidak. Katakan yang keempat”

Ibrahim menjawab, “Jika Malaikat maut datang kepadamu untuk mencabut nyawamu, maka bilang kepadanya, “Nanti dulu, aku mau bertaubat dengan benar-benar dan beramal kerana Allah”

Laki-laki itu berkata, “Dia tidak mungkin akan menerima”

Ibrahim berkata, “Wahai Bapak, jika engkau tidak mampu menolak malaikat maut supaya engkau bisa bertaubat dan engkau mengetahui bahwa jika dia mendatangimu dia tidak memberimu kesempatan, lantas bagaimana engkau berharap selamat?”

Laki-laki itu berkata, “Katakan yang kelima?”

Ibrahim berkata, “Jika malaikat Zabaniyah mendatangimu pada hari Kiamat untuk menyeretmu ke Neraka, maka jangan engkau menurutinya”

Laki-laki itu berkata, “Mereka tidak akan membiarkanku dan tidak akan menerimaku”

Ibrahim bertanya, “Bagaimana engkau bisa berharap selamat?”

Laki-laki itu berkata, “Ya Ibrahim, cukup..cukup.., aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah.”

Laki-laki itu benar-benar memenuhi janji taubatnya. Dia rajin beribadah dan menjauhi maksiat sampai dia meninggal dunia.

Dimbil dari “Mausu'ah Qishashis Salaf”, edisi bahasa Indonesia “Ensklopedi Kisah Generasi Salaf” karya Ahmad Salim Baduwailan, penerbit Elba

Sumber : perpustakaan-islam.com

Kamis, 29 Oktober 2009

Mengasah Empati Berbagi Simpati

Oleh : Dr.Setiawan Budi Utomo

dakwatuna.com – Sering kali seseorang menilai dengan parameter subjektif dan melihat orang lain dengan kacamata kuda sehingga tidak jarang salah memahami dan menyikapi peristiwa secara tidak arif. Hal itu karena minimnya kesadaran empati dalam memahami kelemahan, kesalahan, kekurangan, kejahilan dan kenaifan orang lain yang sebenarnya boleh jadi merupakan ujian kepekaan dan kejelian dalam mendulang hikmah dan pelajaran di balik berbagai peristiwa yang dilakoni orang lain tadi, alih-alih menjulurkan simpati. Empati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Simpati dalam KBBI diartikan sebagai:


1. rasa kasih; rasa setuju (kepada); rasa suka

2. keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dsb) orang lain: rakyat yang menderita akibat bencana alam itu mendapat simpati dari berbagai kalangan.

Suatu ketika para sahabat yang sedang berada di masjid Nabawi terusik kesyahduan dzikir mereka dan spontanitas bereaksi emosional tatkala seorang laki-laki Arab badui tiba-tiba berulah kencing di dalam masjid yang saat itu lantainya masih berupa tanah. Demi melihat situasi panas tersebut Rasulullah saw dengan penuh empati dan kelembutan menyikapi dan meluruskan peristiwa tesa dan antitesa sikap reaksi berang sahabat dan aksi bodoh Arab badui tersebut. Beliau memerintahkan para sahabat untuk bersabar dan membiarkan Arab badui menyelesaikan hajatnya serta meminta mereka menyiram bekas kencingnya agar merembes ke tanah dan hilang najisnya. Setelah situasi reda dan dapat diatasi, Rasulullah segera memanggil mereka semua. Beliau memberikan bimbingan kepada para sahabat tentang sikap empatik yang akan membawa hikmah yaitu dengan memaklumi ketidaktahuan Arab badui tersebut, menyadari reaksi kesabaran akan dapat menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.

Para sahabat akhirnya mengerti bahwa sikap empati yang membuahkan solusi masalah dengan menyiram dan membersihkan kencing sebagai pelajaran bagi si badui bahwa perbuatannya tidak benar yang telah mengotori tempat yang seharusnya dijaga kesuciannya. Selain itu, mereka menyadari bahwa bersabar menanti selesainya kencing si badui akan menghindari tiga mudharat yakni gusarnya si badui yang merasa terusik hajatnya, menyakiti saluran kencing si badui yang terganggu kelancarannya, dan meluasnya area najis akibat kepanikan si badui dalam menuntaskan hajatnya. Kepada si badui Nabi saw memberikan pemahaman secara halus bahwa perbuatannya tidak benar karena telah kencing di masjid dan itu tidak pada tempatnya sebab masjid dibangun sebagai tempat suci untuk dzikrullah dan shalat. Jelang mendapat penjelasan empatik Nabi, si badui sangat terpesona padanya dan sebaliknya masih kecewa dengan sikap berang sahabat seraya berdoa “Ya Allah masukkanlah aku dan Muhammad ke dalam surga dan janganlah Engkau masukkan ke dalamnya seorang pun selain kami.” Lagi-lagi demi mendengar doa yang tidak arif itupun nabi menyikapinya dengan penuh empati demi melihat kenaifannya tanpa membodoh-bodohkannya seraya meluruskan doanya: “Wahai kamu, ketahuilah bahwa surga itu sangat luas dan jika kita berdua saja yang masuk niscaya akan sangat kesepian”.

Pada saat yang lain, kita saksikan sejarah Nabi yang telah membuktikan samudera jiwa empati tatkala seorang laki-laki dengan langkah tergesa-gesa menghadapnya. Nafasnya masih tersengal, turun-naik, sementara jantungnya berdetak cepat. Rasulullah menyambutnya dengan penuh santun. “Celaka bagi kami, wahai Rasulullah,” begitu ia mengawali pembicaraannya. “Aku telah melakukan hubungan suami-istri di siang Ramadhan.” Nampaknya lelaki ini sadar bahwa perbuatannya telah melanggar syariah, yang karenanya ia harus menerima sanksi Rasulullah kemudian memberi petunjuk agar lelaki itu memerdekakan seorang budak. Lelaki tersebut menggelengkan kepala tanda tidak sanggup melaksanakannya.

Maka Rasulullah memberikan alternatif kedua, yaitu puasa selama dua bulan berturut-turut. Lagi-lagi lelaki tersebut menggeleng. Ia merasa tidak mampu untuk melakukannya. Dalam hatinya ia berkata, ‘Jangankan dua bulan, sedang yang satu bulan saja sudah dilanggar.’ Rasulullah menawarkan solusi ketiga, yaitu memberi makan 60 orang fakir miskin. Untuk yang ketiga kalinya ia mengatakan tidak sanggup. Ia katakan bahwa untuk kebutuhan makan sehari-hari saja sudah sering mendapati kesulitan. Apalagi harus memberi makan kepada orang lain.

Dengan penuh kasih sayang Rasulullah kemudian memanggil istrinya agar mengambil bahan makanan yang masih tersisa di rumahnya hingga cukup untuk menebus kewajiban lelaki tersebut. Sambil memberikannya, Rasulullah berpesan agar bahan makanan itu dibagikannya kepada fakir miskin di kampungnya. Dengan sedikit menahan malu, lelaki tersebut berkata polos, “Di kampung kami, orang yang paling miskin adalah saya sendiri.”Kepolosan lelaki itu ternyata membawa berkah tersendiri. Rasulullah menyampaikan agar bahan makanan itu diterima dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan anak istrinya. Ia pulang dengan perasaan suka cita. Selain mendapatkan bahan makanan, puasanya juga sudah tertebus. Dua keuntungan sekaligus diperoleh, keuntungan materi sekaligus keuntungan ukhrawi.

Kisah seperti ini rasanya sulit dimengerti untuk ukuran sekarang. Bagaimana seorang pemimpin dapat berlaku begitu santun. Sulit ditemukan sosok pemimpin yang luwes, lapang dada, santun, dan sabar memenuhi segala tuntutan ummatnya sebagaimana Rasulullah. Andaikata menemui lelaki seperti dalam kisah di atas, barangkali kita akan menghardiknya dengan kata-kata kasar, “Sudah tahu tidak mampu menebus dendanya, kenapa kamu sampai melanggar?” Atau kita katakan, “Pokoknya itulah ketentuan syariat, titik. Dengan cara apapun harus kamu upayakan. Pokoknya nggak mau tahu salahmu sendiri melanggar. Rasain sendiri akibatnya habis macam-macam saja.” Jangankan ikut membantu meringankan bebannya dengan memberi bahan makanan, memberi santunan dengan kata-kata yang halus dan menghibur saja mungkin sulit kita lakukan.

Di sinilah terletak rahasia sukses kepemimpinan Rasulullah. Beliau bisa bersikap tegas, tapi lebih sering bersikap lemah-lembut kepada ummatnya. Justru sikap yang terakhir itu lebih dikedepannya dalam menghadapi setiap persoalan. Beliau bisa marah, tapi sikap pemaafnya jauh lebih luas dari segalanya. Apalagi jika berhadapan dengan sesama ummat Islam. Allah sendiri menegaskan: “Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka.” (QS. al-Fath: 29)

Itulah sebabnya Rasulullah sangat dicintai ummatnya. Saking cintanya, dalam sebuah bai’at, seorang lelaki pernah mengatakan, “Andaikata kita menyeberangi lautan dengan kapal, kemudian di tengah lautan kita diperintahkan oleh Rasulullah untuk mencebur ke laut, pasti kita lakukan.” Kepada ummatnya, Rasulullah selalu mengedepankan sifat kasih sayang. Beliau berusaha mempermudah ummatnya dalam melaksanakan syariat agama. Bukan sebaliknya, memberi beban yang akhirnya tak mampu dipikul oleh mereka.

Ketika Isra’ dan Mi’raj Rasulullah menyampaikan usulan kepada Allah agar ummatnya diberi beban yang tidak terlalu berat dalam menunaikan ibadah shalat. Akhirnya ditetapkan shalat lima kali dalam sehari, sebagai suatu kewajiban yang sangat ringan. Jika masih ada yang merasa keberatan, barangkali nafsunya yang terlalu dominan.

Suatu saat beliau hendak mewajibkan bersiwak (gosok gigi) bagi kaum muslimin setiap hendak mendirikan shalat. Akan tetapi karena takut kewajiban itu memberatkan, maka akhirnya tidak beliau undangkan, meskipun bersiwak itu manfaatnya sangat besar dalam upaya menjaga kesehatan. Bagi yang bersiwak disiapkan pahala besar, sementara yang tidak melakukannya juga tidak diancam apa-apa. Akhirnya bersiwak hanya menjadi anjuran. Sikap demikian itu sejalan dengan ketentuan Allah, yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Allah menginginkan kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185)

Ketika Rasulullah mengutus dua orang sahabat, yaitu Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman untuk berdakwah, beliau berpesan, “Gembirakanlah dan jangan kau takut-takuti. Mudahkanlah dan janganlah engkau mempersulit.”

Tugas seorang da’i, muballigh, ustadz atau guru agama adalah memberi jalan kemudahan bagi ummat Islam agar dapat menjalankan perintah Islam dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, seorang juru dakwah wajib mempunyai bekal ilmu yang cukup, di samping sikap yang arif. Ilmu yang luas menjadikan seseorang lebih bisa bersikap luwes dan lapang dada. Sementara ilmu yang hanya pas-pasan biasanya mendorong seseorang bersikap keras dalam menghadapi suatu persoalan.

Luasnya ilmu dan wawasan akan nampak dalam sikapnya yang toleran. Dalam menghadapi persoalan ia tidak hanya menyodorkan satu alternatif, tapi tersedia berbagai pilihan. Orang lain diberi kebebasan untuk memilih sesuai kadar iman dan kemampuannya.

Allah sendiri ketika menyerukan hamba-Nya untuk bertaqwa, Dia menggunakan dua kalimat perintah. Pertama, Allah berfirman, “Bertaqwalah kamu sekuat kemampuanmu.” Kedua, Allah berseru, “Bertaqwalah kalian dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati sehingga kalian benar-benar Islam.” Yang pertama ditujukan kepada mereka yang kadar imannya masih dalam proses penyempurnaan, sementara firman kedua ditujukan kepada mereka yang sudah siap menerima segala perintah dan larangan-Nya tanpa reserve.

Nabi saw juga menerapkan hal sama. Dalam menghadapi satu pertanyaan yang diajukan oleh dua orang berbeda, jawaban Nabi juga selalu berbeda, disesuaikan dengan kadar akal dan imannya. Nabi tidak memaksakan seseorang menerima hal yang sama, padahal kemampuan mereka untuk menerimanya sangat jauh berbeda. Di sini Rasulullah sangat memperhatikan “proses”, bukan hasil semata-mata.

Dalam kaitannya dengan persoalan di atas, dianjurkan kepada juru dakwah, guru agama, atau muballigh agar lebih bijak dalam menyampaikan persoalan-persoalan agama. Jika ada dua pilihan, kenapa harus kita pilihkan satu saja? Bukankah mereka juga berhak memilih sesuai dengan kondisi dan keadaannya?

Bahkan dalam hal ini, jika ada dua perkara yang sama-sama diperbolehkan oleh syariat, hendaknya kita memilih yang termudah. Kita tidak boleh bersikap terlalu keras, karena yang demikian itu justru menyimpang dari sunnah. Sikap tasyaddud, ekstrim, dan berlebih-lebihan sebagai cerminan kerasnya hati dan keringnya rasa empati sama sekali tidak disukai oleh Rasulullah. Selama tidak mengandung dosa, Rasulullah lebih memilih yang termudah dari dua perkara yang sama-sama boleh, ibahah. Sikap itulah yang hendaknya kita pilih, bukan sebaliknya. Dalam sebuah pesannya, beliau bersabda: “Hendaklah kamu bersikap lemah-lembut dan jangan bersikap kasar. Sesungguhnya, tidaklah sikap lemah lembut itu ada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak pula ia lepas dari sesuatu kecuali mengotorinya.” (HR Muslim)

Sikap para elit, tokoh, ulama, da’i, muballigh, pemimpin dan guru yang lebih menyukai sesuatu yang berat dan minim jiwa empati dalam menjalankan dan menegakkan risalah kebenaran pada dasarnya tidak sesuai dengan sunnah, keluar dari teladan Rasulullah saw. Sikap demikian sesungguhnya lebih terkait dengan kejiwaan. Itulah sebabnya, seorang muslim dianjurkan untuk terus-menerus melakukan pembersihan hati, tazkiyah, agar memiliki jiwa yang bersih, dada yang lapang, dan hati yang dipenuhi rasa kasih dan sayang.

Jika ada benih-benih keinginan untuk mempersulit atau memperberat suatu perkara, hendaknya para da’i segera meminta perlindungan dari Allah, memperbaharui iman, dan mensucikan hati dari sifat dendam dan iri hati. Jauhkanlah diri dari tipu daya setan. Sesungguhnya kita memerlukan ruh dari langit sehingga dapat menempuh jalan dien ini dengan mudah. Hal itu dapat kita peroleh jika kita memenuhi rongga dada kita dengan sifat kasih sayang, terutama pada diri sendiri. Caranya, jangan memaksakan diri, tidak mengangkat beban di luar kemampuan kita yang sebenarnya. Jika terhadap diri sendiri, kita sudah bersikap kasih dan sayang, maka kepada orang lain juga kita kembangkan sikap yang sama. Kasih sayang itu akan mengarahkan kita kepada sikap yang menghormati kemampuan dan keterbatasan orang lain. Jika dengan semua orang kita harus bersikap empati termasuk dalam merealisasikan dan menyebarkan pemikiran dan pemahaman kita, maka dengan orang-orang terdekat yang kita kasihi seharusnya lebih sensitif dan peka dalam empati dan tidak asal memaksakan kehendak dan ego.

Stephen R. Covey (1999) mengingatkan kita untuk memahami implementasi makna empati secara benar. Kebanyakan dari kita tidak berusaha untuk memahami dahulu, tetapi sebaliknya ingin dipahami dahulu posisi dan pemikiran kita. Atau jika kita ingin berusaha memahami, kita sering sibuk mempersiapkan tanggapan kita dan reaktif saat kita menyaksikan kejadian, menghadapi sikap atau mendengarkan pernyataan orang lain. Jadi, kita lebih sering mengevaluasi, menyarankan, menyelidiki, atau menerjemahkan dari sudut pandang kita sendiri sebelum memahami konsideran sikap dan peristiwa serta kesejatian masalah. Dan tidak satu pun dari ini adalah tanggapan empatik yang memahami. Semuanya berasal dari kesejatian diri kita, dunia kita dan nilai-nilai kita secara searah.

Dalam rangka mengasah empati itulah diperlukan riyadhah melatih diri dalam memberi petunjuk kepada siapa saja yang mendapati kesulitan, memaafkan atas semua kekhilafan, berlapang dada atas segala kealpaan, menuntun orang ke jalan yang terang tanpa harus mencari-cari kesalahan dan membuka aibnya. Bukankah Allah selalu berpesan: “Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125), dan telah menegaskan: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat:33). []

Sumber : dakwatuna.com

Jumat, 16 Oktober 2009

Hidup Menjadi Bermakna

Hidup menjadi bermakna sangat erat hubungannya dengan pandangan hidup yang dianut. Jika seseorang memiliki pandangan hidup (way of life) yang benar, maka peluang untuk membuat makna dalam hidupnya sangat terbuka. Sebaliknya pandangan hidup yang keliru akan membuat keliru juga dalam mengambil keputusan yang akan berakhir bukan saja hidupnya menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna, tetapi ada kemungkinan justeru merusak, merusak dirinya dan merusak orang lain.

Manusia adalah makhluk psikologis yang menganut suatu makna. Dalam psikologi komunikasi ada ungkapan world don’t mean, people mean; kata-kata itu tak memiliki makna, manusialah yang memberi makna.


Manusia adalah makhluk yang mampu memberi makna terhadap obyek. Obyek yang sama mungkin diberi makna berbeda-beda oleh orang yang berbeda. Senyum biasanya dimaknai sebagai keramahan, orang yang sedang sakit hati kepada seseorang, maka senyuman orang itu bisa dimaknai sebagai penghinaan atau ngeledek. Senyuman ibu tiri sering dimaknai buruk oleh anak tiri, berbeda dengan persepsi anak kandungnya. Senyuman yang sama berdampak menyejukkan bagi seseorang, dan mungkin berdampak menyakitkan bagi seseorang yang lain. Apa makna sesuatu bergantung kepada persepsi tentang fungsi dari sesuatu itu. Mata dipandang bermakna jika berfungsi untuk melihat, telinga dipandang bermakna jika berfungsi untuk mendengar, mobil dipandang bermakna jika berfungsi sebagai kendaraan, suami dipandang bermakna oleh isterinya jika ‘berfungsi’ sebagai suami, presiden dipandang bermakna oleh rakyat jika berfungsi sebagai pemimpin. Begitulah seterusnya segala sesuatu, tingkat bermaknanya bergantung kepada tingkat fungsionilnya

Manusia hidup di muka bumi memiliki berbagai fungsi, bagi dirinya, bagi keluarganya, bagi masyarakatnya, bagi bangsanya, bagi dunia dan bagi alam sekitarnya. Ada orang yang merasa dirinya bermakna tetapi tidak dipandang bermakna oleh orang lain, sebaliknya ada orang yang merasa dirinya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tetapi orang lain sangat menghormatinya.

Ada orang yang tinggal berada dalam suatu lingkungan dalam waktu yang lama, tetapi kehadirannya tidak berpengaruh apa-apa bagi lingkungan masyarakatrnya maka ia tidak dipandang bermakna, hadirnya tidak membuat genap, dan absennya tidak membuat ganjil. Sebaliknya ada orang yang hanya melintas sebentar dalam kehidupan masyarakat, tetapi karena kehadirannya membawa perobahan besar kepada tatanan masyarakat maka sepeninggal orang tersebut namanya masih selalu disebut, gagasannya masih selalu didiskusikan, pendapatnya masih selalu dirujuk orang. Waktu yang sebentar tetapi fungsional dalam membawa perubahan, maka kehadiran sebentar itu dipandang sangat bermakna, sehingga mungkin nama orang itu diabadikan dalam nama jalan atau gedung, atau bahkan banyak bayi lahir yang kemudian diberi nama dengan nama orang itu.

Hidup menjadi bermakna sangat erat hubungannya dengan pandangan hidup yang dianut. Jika seseorang memiliki pandangan hidup (way of life) yang benar, maka peluang untuk membuat makna dalam hidupnya sangat terbuka. Sebaliknya pandangan hidup yang keliru akan membuat keliru juga dalam mengambil keputusan yang akan berakhir bukan saja hidupnya menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna, tetapi ada kemungkinan justeru merusak, merusak dirinya dan merusak orang lain. Pandangan hidup dipandu oleh konsep budaya dan oleh keyakinan agama. Budaya yang tinggi akan melahirkan makna penting dan besar, budaya yang rendah akan melahirkan makna yang rendah pula. Keyakinan agama yang lurus akan melahirkan kehidupan yang benar-benar bermakna, sementara akidah agama yang keliru atau sesat akan menyesatkan penganutnya pula dan berujung pada kehadiran yang tak bermakna atau bahkan merusak.

Sumber : Mubarok Institute

Sabtu, 10 Oktober 2009

Hidup Sederhana

Oleh : Muhammad Nuh

Nafsu manusia kadang seperti air. Tak pernah henti untuk selalu mengalir. Selama masih ada celah, di situlah air mengalir. Bedanya dengan air yang mengalir ke tempat lebih rendah, nafsu terus mengalir ke arah sebaliknya.

Manusia bisa dibilang makhluk yang jarang cepat puas. Selalu saja ujung dari sebuah pencarian lagi-lagi bertemu pada satu titik: kurang. Keadaan itu persis seperti orang yang selalu mendongak ke atas. Dan lengah menatap ke bawah.

Itulah kenapa orang tanpa sadar kehilangan daya peka. Kepekaannya dengan lingkungan sekitar menjadi tumpul. Bahkan mungkin, di tengah hiruk pikuknya mengejar yang atas, tanpa terasa kalau yang di bawah terinjak-injak. Jadi, pisau kepekaan bukan sekadar tumpul, bahkan berkarat sama sekali.

Orang menjadi tidak mampu menyelami apa yang terjadi di sekelilingnya. Sulit merasakan kalau di saat kita terlelap dalam keadaan kenyang, sejumlah tetangga terus terjaga karena menahan perut yang lapar. Sulit menangkap keinginan anak-anak tetangga untuk tetap bersekolah, ketika sebagian kita tengah sibuk mencari sekolah top buat anak-anak, berapa pun mahalnya.

Ketidakpekaan itu akhirnya menggiring diri untuk tampil tak peduli. Kesederhanaan menjadi barang langka. Ada semangat tampil serba wah. Ada bahasa yang sedang diungkapkan, “Saya memang beda dengan kalian!”

Ketika terjadi proses melengkapi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan mungkin hal-hal lain seperti alat komunikasi; ada pergeseran yang nyaris tanpa terasa. Sebuah pergerseran dari nilai fungsi kepada nilai gengsi.


Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok itu tidak lagi menimbang sekadar fungsi, tapi lebih kepada gengsi. Ada sesuatu yang sedang dikejar dari proses pemenuhan itu: trend dan gengsi. Biasanya, nilai gengsi jauh lebih mahal dari nilai fungsi. Bahkan, bisa berkali-kali lipat.

Di sisi lain, ada semacam ketergantungan dengan penampilan mode yang tentu saja datang dari negeri pedagang budaya. Mereka begitu pintar mengemas barang dagangan dalam bentuk yang sangat menarik. Halus, tanpa kesan menggurui. Kemasan bisa melalui film, berita mode dan sebagainya. Tanpa sadar, orang sedang terhipnotis dalam cengkeraman para pedagang budaya. Repotnya, ketika pedagang budaya sebagian besar menuhankan hidup materialistis. Semua tanpa sadar menuhankan gengsi.

Mungkinkah perilaku konsumsi seperti itu hinggap dalam diri umat Islam? Masalahnya memang bukan sekadar muslim atau bukan. Tapi sejauhmana umat Islam memahami nilai budaya Islam. Dan membumikannya dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Mereka yang tidak paham dengan Islam biasanya memang tidak peduli dengan urusan orang lain. Walaupun itu satu keyakinan. Tidak ada ajaran yang menyentuh hati mereka untuk mau memperhatikan nasib saudaranya. Hidup bagi mereka adalah diri mereka sendiri. Tidak ada hubungannya dengan orang lain.

Sementara Islam, sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Bahkan nilainya bisa sama dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim)

Selain tumpulnya kepekaan dan kungkungan trend budaya orang lain, ada sebab lain yang membuat orang jauh dari sederhana. Itulah imperiority, atau merasa rendah di hadapan orang lain. Rasa rendah diri itu memompa segala daya yang dimiliki untuk tampil melebihi orang yang dianggap lebih. Paling tidak, ada kepuasan diri jika tampilan bisa dianggap lebih.

Penyakit seperti itu biasa hinggap di negeri-negeri jajahan. Mereka biasa hidup susah. Sementara para penjajah hidup mewah. Ketika kesempatan hidup mewah terbuka lebar, sifat rendah diri berubah menjadi jiwa eksploitasi. Apa pun yang bisa diraih, diambil sebanyak-banyaknya demi kepuasan tampil lebih.

Hal itulah yang diwaspadai Khalifah Umar bin Khaththab ketika mencermati para gubernurnya. Ia khawatir, di saat kesempatan terbuka lebar, para gubernur hilang kesadaran. Umar pernah menghukum Amru bin Ash, sang gubernur Mesir kala itu yang berbuat semena-mena terhadap seorang rakyatnya yang miskin.

Seorang gubernur yang bertugas di Hamash, Abdullah bin Qathin pernah dilucuti pakaiannya oleh Umar. Sang khalifah menyuruh menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gubernur diminta menjadi penggembala domba sebenarnya untuk beberapa saat. Hal itu dilakukan Umar karena sang gubernur membangun rumah mewah buat dirinya. “Aku tidak pernah menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.

Teladan lain pernah diperlihatkan sahabat Rasul yang bernama Mush’ab bin Umair. Pemuda kaya ini tiba-tiba berubah drastis ketika memeluk Islam. Ia yang dulu selalu tampil trendi, serba mewah, menjadi pemuda sederhana yang hampir seratus persen berbeda dengan sebelumnya. Bahkan Mush’ab rela meninggalkan segala kekayaannya demi menunaikan dakwah di Madinah.

Ada yang menarik dari seorang mantan duta besar Jerman untuk Al-Jazair. Beliau bernama Wilfred Hoffman. Setiapkali mengunjungi pesta kalangan diplomat atau pejabat negara, isterinya selalu menjadi pusat perhatian.

Pasalnya, di acara-acara bergengsi seperti itu, isterinya tidak pernah mengenakan busana dan perhiasan mewah. Sebuah kenyataan di luar kelaziman buat kalangan petinggi negara seperti Jerman. Bagaimana mungkin seorang duta besar negara kaya bisa tampil ala kadarnya. Padahal, para pejabat dari negara miskin saja bisa tampil gemerlap. Ada apa?

Ternyata, Hoffman dan isterinya memang sengaja seperti itu. Ia lebih memilih hidup sederhana, ketimbang tampil mewah. Justru, dengan tampilan seperti itulah, Hoffman dan isterinya lebih dianggap daripada dubes dan pejabat lain yang hadir.

Meraih segala kemampuan materi memang sulit. Tapi lebih sulit lagi mengendalikannya menjadi tampilan sederhana. Karena nafsu memang tidak pernah berhenti mengalir ke segala arah.

Sumber :dakwatuna.com

Jumat, 18 September 2009

Peran Zakat Untuk Kemakmuran Rakyat

Oleh:Dr.Attabiq Luthfi,MA

dakwatuna.com – “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin, pengurus (amil) zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk (usaha) di jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana“. (At-Taubah: 60)

Ayat di atas yang berbicara tentang kelompok yang ditetapkan oleh Allah sebagai yang berhak mendapat dana zakat (mustahiq), demikian juga surat At-Taubah: 103 yang berbicara tentang kewajiban zakat yang dikaitkan dengan hikmah dan manfaat zakat bagi muzakki keduanya menggunakan terminologi ’shadaqah’ yang berasal dari akar kata ’shadaqa’ yang berarti benar dan jujur. Hal ini menunjukkan bahwa indikator ketulusan, kebenaran dan kejujuran keimanan seseorang terletak pada kesiapannya menunaikan kewajiban zakat. Zakat berdasarkan ayat diatas dapat dikatakan sebagai ‘jaminan sosial’ bagi kelompok yang sangat membutuhkan huluran bantuan materi. Maknanya, zakat merupakan ibadah yang mempunyai peran strategis dalam konteks ekonomi keumatan yang akan memberikan dampak kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang banyak

Menurut Asy-Syaukani dalam kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir’, ayat di atas telah merinci pihak yang harus mendapat bantuan keuangan yang berasal dari zakat berdasarkan skala prioritas dari kelompok yang sangat membutuhkan yaitu faqir dan seterusnya kelompok yang dikategorikan miskin dalam memenuhi kebutuhan asasi mereka. Apabila kebutuhan primer mereka telah terpenuhi, maka untuk selanjutnya zakat berperan untuk mengangkat dan meningkatkan taraf hidup mereka pada standar kehidupan yang layak seperti yang dialami oleh kelompok muzakki. Tentu mustahiq tidak harus berpuas hati menjadi ‘tangan yang dibawah’ terus menerus sehingga termotivasi untuk menjadi kelompok muzakki di masa mendatang. Disinilah peran zakat dalam konteks memberdayakan kelompok mustahiq agar tercipta kemakmuran dan kesejahteraan yang merata.

Berdasarkan pembacaan Fairuz Abadi terhadap seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, terdapat 35 ayat yang berbicara tentang zakat. Tiga puluh diantaranya menggunakan bentuk ma’rifat, serta 27 ayat diantaranya disandingkan dengan perintah shalat seperti firmanNya: “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’”. (Al-Baqarah: 43). Pembicaraan tentang zakat juga tidak hanya terdapat pada ayat-ayat Madaniyah, tetapi juga pada ayat-ayat Makkiyyah yang notabene terfokus pada pembentukan keimanan dan keyakinan. Ini menunjukkan bahwa zakat merupakan salah satu elemen penting dalam pembentukan keimanan. Bahkan dalam surat Ar-Rum : 39 Allah mengkaitkan zakat dengan sistim Ekonomi Ribawi yang jelas kontra kemakmuran dan kesejahteraan orang banyak (baca: rakyat; umat). Allah swt berfirman: “Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan dari zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.

Pembicaraan tentang zakat tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang konsep harta menurut Al-Qur’an, terutama tentang konsep kepemilikan yang akan meringankan si pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian hartanya sesuai dengan ketentuan pemilik hakiki yaitu Allah swt. Dalam banyak ayat Al-Qur’an ditegaskan bahwa kepemilikian harta yang hakiki disandarkan kepada Allah swt, “Dan berikanlah kepada mereka dari harta Allah yang dikarunikan kepadamu…” (An-Nur: 33) Kemudian Allah mengizinkan manusia untuk menguasai harta tersebut dengan cara-cara yang telah ditetapkan. Artinya, jika manusia mendapatkan atau menguasai harta tersebut dengan mengabaikan aturan Allah, maka ia pada hakikatnya tidak berhak untuk memilikinya. inilah konsep kepemilikan dalam Islam yang membedakan dengan konsep kepemilikan dalam aturan lain. Sehingga harus disadari betul bahwa pada harta yang dimiliki seseorang ada kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dan hak orang lain yang keduanya bersifat melekat pada harta tersebut.

Selain tentang konsep kepemilikan harta, pembicaraan tentang zakat juga harus dikaitkan dengan konsep pengembangan harta dengan cara yang baik sehingga akan menjadi keberkahan bagi pemiliknya dan orang lain. Justru persoalan keberkahan merupakan persoalan inti dan esensi bagi seorang muslim dalam mensikapi hartanya. Diantara ciri harta yang berkah itu adalah harta itu akan bertambah banyak, paling tidak dari segi dampak manfaat yang ditimbulkannya. dengan berzakat harta menjadi berkah dalam arti memberi kenyamanan dan keamanan bagi pemiliknya karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang hartanya. Bahkan hartanyalah yang akan menjaga pemiliknya. Dengan menjalankan kewajiban zakat juga sang pemilik harta akan berkah karena lebih dekat dengan Allah karena selalu bersyukur atas karuniaNya. Harta yang senantiasa dikeluarkan zakatnyaakan menghindarkan pemiliknya dari sikap rakus terhadap harta, bahkan selalu berusaha untuk memberikan manfaat bagi pemilik dan orang lain. Rasulullah saw menjamin dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Harta tidak akan berkurang karena sedekah, dan tidaklah Allah menambah bagi hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan dan tidaklah seseorang yang berlaku tawadhu’ karena Allah melainkan Dia akan meninggikannya“.

Ditinjau dari segi filosofi zakat berdasarkan ayat inti dalam tulisan ini, zakat tidak sekadar menunaikan kewajiban materiil semata bagi seorang muslim yang memiliki harta, tetapi bagaimana zakat dapat dijadikan sebagai sistem nilai yang seterusnya terinternalisasi dalam diri pembayar zakat untuk menjadi seseorang yang peduli kepada yang lemah dan berpihak pada kaum papa dalam seluruh perilaku dan aktifitas ekonominya. secara empiris, kesejahteraan sebuah negara karena zakat terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. meskipun beliau hanya memerintah selama 22 bulan karena meninggal dunia, negara menjadi sangat makmur, yaitu dengan pemerintahan yang bersih dan jujur dan zakat yang ditangai dengan baik. hingga kala itu negara yangn cukup luas hampir sepertiga dunia tidak ada yang berhak menerima zakat karena semua penduduk muslim sudah menjadi muzakki. itulah pertama kali ada istilah zakat ditransfer ke negeri lain karena tidak ada lagi yang patut disantuni. zakat dapat menumbuhkan etos kerja. dengan membayar zxakat seseorang akan bekerja dengan baik. dengan demikian gerakan sadar zakat pada dasanya adalah gerakan menciptakan etos kerja yang baik yang memberi kesejahteraan dan kemakmuran yang merata bagi semua.

Jelas bahwa keberhasilan khalifah Umar bin Abdul Aziz pada saat itu tidak hanya dengan menggunakan zakat dalam arti harfiah materiil semata, tetapi merupakan kebijakan yang memberikan perhatian yang tinggi pada pengelolaan zakat. Zakat pada kepemimpinan beliau dijadikan tolok ukur akan kesejahteraaan masyarakat, baik jumlah orang yang berzakat, besar zakat yang dibayarkan, maupun jumlah penerima zakat. Berbeda dengan tolok ukur lain yang cenderung bias. Tolak ukur zakat sebagai pengatur kesejahteraan benar-benar bisa dijadikan pedoman standar, baik dalam konteks ekonomi mikro maupun makro.

Disinilah zakat berperan sebagai Ibadah Maaliyah Ijtima’iyyah (ibadah harta yang berdimensi sosial) yang memiliki posisi penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi pelaksanaan ajaran Islam maupun dari sisi pembanguna kesejahteraan umat. Kesediaan seseorang untuk berzakat merupakan indikator utama ketundukannya terhadap Allah dan ciri utama seorang mukmin yang akan mendapatkan rahmat dan pertolongan Allah. kesediaan berzakat pula dipandang sebagai ciri orang yang selalu berkeinginan mennyucikan dan mmembersihkan serta mengembangkan harta yang dimilikinya, Sebaliknya keengganan dan ketidak pedulian seseroang terhadap zakat mendapatkan peringatan dan ancaman yang berat dari Al-Qiur’an di akhirat kelak. Harta benda yang disimpan dan tidak dibelanjakan sesuai dengan dengan ketentuan Allah akan berubah menjadi alat untuk mengazabnya. Dalam beberapa hadits, Rasulullah mengancam orang yang enggan membayar zakat hartanya akan hancur, dan jika keengganan ini demikian bersifat massal, maka Allah akan menurunkan azab berupa dihambatnya hujan yang menurunkan keberkahan seperti tersebut dalam hadits Thobroni dari Ibnu Abbas ra. Rasulullah juga pernah menghukum Tsa’labah atas keengganannya berzakat dengan isolasi yang berkepanjangan, tidak ada seorang sahabatpun yang berhubungan dengannya meskipun hanya bertegur sapa. Khalifah Abu Bakar bahkan mengultimatum perang terhadap kelompok yang hanya shalat namun tidak mau berzakat sepeninggal kewafatan Rasulullah. Atas dasar kepentingan inilah, sampai sahabat Abdullah bin Mas’ud menegaskan bahwa orang yang tidak berzakat, maka tidak ada shalat baginya. Dalam konteks kemakmuran rakyat (umat), peran zakat dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini: pertama, zakat akan menumbuhkan akhlak yang mulia berupa kepeduliaan terhadap nasib kehidupan orang lain, menghilangkan rasa kikir dan egoisme (An-Nisa’: 37). Kedua, Zakat berfungsi secara sosial untuk mensejahterakan kelompok mustahiq, terutama golongan fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, dapat menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita. Ketiga, zakat akan mendorong umat untk menjadi menjadi muzakki sehingga akan meningkatkan etos kerja dan etika bisnis yang benar. Keempat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik dimungkinkan terciptanya pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Maka zakatlah ibadah satu-satunya yang secara eksplisit disebutkan adanya pengelola resmi yang dikenal dengan istilah Amil seperti yang diisyaratkan dalam surat At-Taubah: 103 yang bermaksud: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Terkait dengan ini, Monzer Kahl dalam bukunya ‘Ekonomi Islam; telaah analitik terhadap fungsi sistim Ekonomi Islam’ menyatakan bahwa zakat dan sistim pewarisan dalam Islam cenderung berperan sebagai sistem distribusi harta yang egaliter sehingga harta akan selalu berputar dan beredar kepada seluruh lapisan rakyat, karena memang akumulasi harta di tangan seseorang atau suatu kelompok saja sangat ditentang oleh Al-Qur’an. Allah menegaskan dalam firmanNya: “….Agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja diantara kamu..”. (Al-Hasyr: 7)

Demikian, zakat yang secara bahasa berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah merupakan ibadah yang berdimensi vertikal dan horizontal secara bersamaan. Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak dan akan memberikan kemakmuran kepada seluruh umat. Semoga kita termasuk diantara hambaNya yang senantiasa dido’akan oleh MalaikatNya pada setiap pagi dan petang: “Ya Allah berilah orang berinfak gantinya”, bukan termasuk hambaNya yang didoakan kehancuran: “Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran”. (H.R. Bukhari dan Muslim) []

Sumber: www.dakwatuna.com

Senin, 31 Agustus 2009

Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (2)

Hikmah dan Keutamaan Puasa

Hikmah Ibadah Puasa

Sebenarnya cukuplah bagi seorang hamba mengetahui bahwa Alloh memerintahkan untuk berpuasa itu menjadikan keutamaan yang besar yang akan diraihnya dengan menjalankan perintah itu. Karena dia menyadari bahwa Alloh yang maha penyayang pasti tidak menginginkan untuk mencelakakan hamba. Sehingga apa yang diperintahkan-Nya pasti mengandung kebaikan meskipun dia belum mengetahuinya. Meskipun demikian, tidak ada salahnya kita mengetahui hikmah-hikmah di balik ibadah selama kita tidak menjadikannya sebagai syarat untuk beramal. Semoga dengan mengetahui hikmahnya keyakinan dan keimanan kita bertambah.

Syaikh Abdulloh Ali Bassaam hafizhahulloh menyebutkan beberapa hikmah yang tersimpan di balik pensyari’atan puasa, diantaranya yaitu:

1. Puasa termasuk ibadah dan ketundukan kepada Alloh, sehingga puasa itu menjadikan orang yang berpuasa hanya mengahadapkan dirinya kepada Alloh, tunduk dan khusyuk di hadapan-Nya tatkala dia harus menolak kekuasaan syahwat.

2. Bersatunya ummat dalam menjalankan satu ibadah dalam satu waktu dan menempa kesabaran mereka semua baik orang-orang yang kuat maupun lemah, terpandang maupun tidak, kaya maupun miskin guna bersama-sama menanggung kewajiban ini yang akan membuahkan keterikatan hati dan ruh mereka serta bersatunya kalimat mereka. Puasa juga menjadi sebab terjalinnya kasih sayang antara ummat ini satu sama lain. Sehingga orang yang kaya turut merasakan lapar dan dahaga yang dialami saudaranya yang tidak berada.
3. Puasa melatih kesabaran, mengokohkan tekad dan kemauan, menempa jiwa dalam menghadapi kesulitan yang ditemui, menundukkannya dan membuatnya menjadi terasa ringan (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 351-352).

Hikmah Diwajibkannya Puasa

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan, “Hikmah diwajibkannya puasa terhadap ummat ini telah diterangkan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana telah diwajibkan pula kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” (QS. Al Baqoroh: 183). Kata la’alla (agar) di sini berfungsi untuk menunjukkan alasan, artinya supaya kalian bertaqwa kepada Alloh, sehingga engkau pun meninggalkan apa yang diharamkan oleh Alloh dan engkau menegakkan apa yang diwajibkan oleh Alloh. Dalam kitab shohih Nabi pernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, berbuat dengannya dan juga tindakan bodoh maka Alloh tidak membutuhkan perbuatannya meninggalkan makan dan minumnya.” (Hadits riwayat Al Bukhori). Maksudnya Alloh tidaklah menghendaki kita sekedar meninggalkan makanan dan minuman, sesungguhnya Alloh menghendaki dari kita agar meninggalkan perkataan dusta, berbuat dengannya atau bertindak bodoh. Oleh karena itulah bagi orang yang berpuasa apabila ada orang yang mencacinya ketika dia dalam keadaan puasa maka disunnahkan baginya untuk mengatakan: Sesungguhnya aku sedang puasa, dan tidak membalas kejelekan itu; karena seandainya dibalasnya niscaya orang yang mencacinya akan balik melawan, kemudian diapun kembali melawan lagi untuk yang kedua kalinya sehingga yang dicacipun membantah yang mencaci demikian seterusnya sehingga menimbulkan seluruh waktu puasanya berubah menjadi dipenuhi dengan cacian dan perseteruan. Akan tetapi jika dia justeru berkata, ‘Sesungguhnya aku sedang puasa’ itu artinya dia memberitahu kepada orang yang mencela atau memusuhinya bahwa sesungguhnya bukan berarti dia tidak mampu membalasnya, tetapi yang menahannya dari membalas adalah karena dia sedang puasa dan ketika itu orang yang mencaci akan menahan diri dan malu serta tidak jadi meneruskan cacian dan perseteruan.” (Tsamaniyatu Wa Arba’uuna Su’aalan Fish Shiyaam hal. 11).

Keutamaan Puasa

1. Diampuni dosanya yang telah lalu

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon karena iman dan ihtisab niscaya dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (Muttafaq ‘alaih). Al Hafizh Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud karena iman (di dalam hadits ini -pent) adalah meyakini kebenaran kewajiban puasanya, sedangkan yang dimaksud dengan ihtisab adalah demi mencari pahala dari Alloh Ta’ala (lihat Fathul Baari cet. Daarul Hadits Juz IV hal. 136). Dengan syarat dosa-dosa besar dijauhi, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat lima waktu yang satu dengan lainnya, ibadah Jum’ah menuju Jum’ah yang lain, Ramadhan menuju Ramadhan sesudahnya, menjadi penghapus dosa-dosa selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)

2. Balasan istimewa bagi puasa

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, “Semua amal anak Adam adalah baginya kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (Muttafaq ‘alaih). Al Imam An Nawawi menerangkan firman Alloh Ta’ala, “dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”: Ini menjelaskan betapa besar keutamaannya dan amat banyak pahalanya (lihat Syarah Shohih Muslim jilid IV cet. Daar Ibnu Haitsam hal. 482).

3. Puasa adalah perisai

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Puasa adalah perisai, apabila kamu sedang puasa janganlah berkata jorok, janganlah berteriak-teriak dan janganlah berbuat bodoh. Apabila ada seseorang yang mencacinya atau memeranginya maka katakanlah ‘Sesungguhnya aku sedang puasa’ sebanyak dua kali.” (Muttafaq ‘alaih). Syaikh Al ‘Utsaimin menerangkan makna puasa adalah perisai yaitu: sebagai tameng dan penghalang yang menjaga orang yang berpuasa dari melakukan perbuatan yang sia-sia dan berkata jorok… dan puasa juga melindunginya dari siksa neraka, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir rodhiyallohu ‘anhu dengan sanad hasan bahwa Nabi bersabda, “Puasa adalah perisai yang digunakan hamba untuk melindungi dirinya dari neraka.” (lihat Majaalis Syahri Romadhon cet Daarul ‘Aqidah hal. 12).

4. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada kasturi

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya sungguh bau mulut orang yang sedang puasa itu lebih harum di sisi Alloh pada hari kiamat daripada bau minyak kasturi.” (Muttafaq ‘alaih). Syaikh Al ‘Utsaimin menerangkan, “Harumnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Alloh melebihi harumnya minyak kasturi karena ia timbul dari pengaruh puasa, sehingga baunya harum di sisi Alloh Subahanahu dan dicintai-Nya, ini adalah dalil yang menunjukkan agungnya kedudukan puasa di sisi Alloh sampai-sampai sesuatu yang tidak disenangi dan dirasa kotor di sisi manusia menjadi sesuatu yang dicintai di sisi Alloh serta berbau harum karena ia muncul dari ketaatannya dengan menjalankan puasa.” (lihat Majaalis Syahri Romadhon cet Daarul ‘Aqidah hal. 12).

5. Pintu khusus di surga bagi orang yang berpuasa

Dari Sahl bin Sa’ad rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu yang disebut Ar Royyaan, pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa masuk melalui pintu itu, tidak seorangpun yang masuk selain mereka. Apabila mereka telah masuk maka pintu itu ditutup dan tidak ada lagi orang yang masuk melewatinya.” (Muttafaq ‘alaih)

6. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan yang dia bergembira dengannya: ketika berbuka dia bergembira dengan bukanya dan ketika berjumpa Robbnya dia bergembira dengan puasanya.” (Muttafaq ‘alaih)

-bersambung insya Allah-

***

Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber : www.muslim.or.id

Selasa, 25 Agustus 2009

Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridha Illahi (1)

بسم الله الرحمن الرحيم

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, “Semua amal anak Adam adalah baginya kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai, apabila kamu sedang puasa jangan berkata jorok, jangan berteriak-teriak dan jangan berbuat bodoh. Apabila ada seseorang yang mencacinya atau memeranginya maka katakanlah ‘Sesungguhnya aku sedang puasa’ sebanyak dua kali. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang puasa itu lebih harum di sisi Alloh pada hari kiamat daripada bau minyak kasturi. Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan yang dia bergembira dengannya: ketika berbuka dia bergembira dengan bukanya dan ketika berjumpa Robbnya dia bergembira dengan puasanya.” (Muttafaq ‘alaih)

Pengantar

Saudaraku, semoga Alloh merahmatimu, syariat Islam yang mulia ini telah memberikan kelapangan dan kemudahan bagi ummat manusia. Tidaklah Alloh membebankan suatu kewajiban kepada seseorang melainkan dengan memperhatikan kemampuannya. Alloh Ta’ala berfirman, “Tidaklah Alloh membebankan kepada seseorang kecuali menurut kemampuannya.” (QS. Al Baqoroh: 286)

Demikian pula ibadah puasa yang disyari’atkan kepada kita. Apabila seseorang justru dikhawatirkan tertimpa bahaya dengan melakukan puasa maka dia diperbolehkan bahkan lebih utama untuk tidak berpuasa ketika itu, seperti orang yang sedang sakit dan bepergian jauh. Alloh Ta’ala berfirman, “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Alloh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh: 185)

Syaikh Abdurrohman bin Naashir As Sa’di rohimahulloh mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Alloh Ta’ala menghendaki memberikan kemudahan kepada kalian untuk menempuh jalan-jalan yang menyampaikan kepada keridhoan-Nya dengan semudah mungkin, dan mempermudah jalan-jalan itu dengan sepenuh kemudahan. Karena itulah semua perkara yang diperintahkan Alloh kepada hamba-Nya pada asalnya merupakan sesuatu yang sangat mudah.” (Taisir karimirrohman, hal. 86).

Pentingnya Mempelajari Tata Cara Puasa

Puasa merupakan salah satu rukun Islam. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Islam dibangun di atas lima perkara, persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh, menegakkan sholat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa Romadhon.” (Muttafaq ‘alaihi)

Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya puasa Romadhon dan merupakan salah satu rukun Islam yang dapat diketahui dengan pasti merupakan bagian dari agama. Barangsiapa yang mengingkari tentang wajibnya puasa Romadhon maka dia kafir, keluar dari Islam (lihat Al Wajiz).

Oleh karenanya setiap muslim hendaknya mempelajari ilmu yang terkait dengan pelaksanaan ibadah yang agung ini. Karena ilmu itu lebih didahulukan daripada ucapan dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Al Bukhori di dalam kitab Shohihnya. Beliau berdalil dengan firman Alloh Ta’ala yang artinya, “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada yang berhak disembah dengan benar kecuali Alloh dan mintalah ampunan terhadap dosamu.” (QS. Muhammad: 19)

Syaikh Al ‘Utsaimin rohimahulloh menjelaskan, “Al Bukhori rohimahulloh berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan kewajiban memulai dengan ilmu sebelum berucap dan berbuat, ini merupakan dalil atsari (berdasarkan penukilan -pent) yang menunjukkan seorang insan mengetahui terlebih dahulu baru kemudian mengamalkan, di sana juga terdapat dalil ‘aqli nadhari (berdasarkan pemikiran dan perenungan -pent) yang menunjukkan ilmu itu didahulukan sebelum ucapan dan amalan. Yaitu dikarenakan ucapan dan amalan tidak akan menjadi benar dan diterima hingga bersesuaian dengan aturan syari’at, dan seorang insan tidak mungkin mengetahui apakah amalannya itu sesuai dengan syari’at kecuali dengan ilmu…” (Syarah Tsalatsatul Ushul, hal. 27-28).

Puasa Adalah Ibadah

Ibadah memiliki pengertian yang amat luas dan jelas yaitu, “Segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Alloh, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang nampak maupun yang tersembunyi.” (lihat perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dinukil di Fathul Majid). Dan puasa termasuk di antaranya, puasa adalah amalan yang dicintai Alloh, buktinya Alloh mewajibkan puasa kepada hamba-hamba-Nya. Alloh berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al Baqoroh: 183). Dan tidak mungkin Alloh mewajibkan sesuatu kecuali sesuatu itu pasti dicintai dan diridhoi-Nya, meskipun sebagian manusia ada yang merasa tidak suka dengannya. Cobalah perhatikan ketika Alloh mewajibkan kaum muslimin untuk berperang. Alloh berfirman yang artinya, “Telah diwajibkan kepada kalian berperang padahal itu kalian benci, bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal sebenarnya itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagi kalian. Alloh lah yang lebih tahu dan kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Baqoroh: 216). Dan dalam menentukan apakah sesuatu amalan itu termasuk ibadah atau bukan bukanlah akal yang menentukan, akan tetapi firman Alloh dan sabda Rosul-Nya. Sebagaimana kaidah yang sudah amat masyhur di kalangan ulama’ bahwa hukum asal ibadah (ritual) itu terlarang/haram sampai tegak dalil yang mensyari’atkannya.

Ibadah Hanya untuk Alloh

Apabila kita telah mengetahui bahwa puasa adalah ibadah maka ketahuilah saudaraku bahwasanya ibadah itu hanya boleh ditujukan kepada Alloh, karena barangsiapa yang memalingkan ibadah kepada selain Alloh dia telah terjerumus dalam kesyirikan dan kekafiran. Sebagaimana sholat akan menjadi batal dan rusak apabila pelakunya terkena hadats, maka demikian pula ibadah akan menjadi batal dan rusak apabila tercampuri kesyirikan. Sebagaimana sholat tidak sah tanpa thoharoh maka demikian pula ibadah tidak akan sah tanpa tauhid. (lihat Al Qowa’idul Arba’ karya Asy Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh).

Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Alloh maka janganlah kamu menyeru disamping Alloh sesuatupun.” (QS. Al Jin: 18). Syaikh Al ‘Utsaimin rohimahulloh menerangkan, “Alloh Ta’ala melarang seorang insan menyeru/beribadah disamping Alloh sesuatupun, dan Alloh tidaklah melarang dari sesuatu kecuali karena Dia Yang Maha suci lagi Maha tinggi tidak meridhoinya. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Jika kamu kufur sesungguhnya Alloh tidak membutuhkan kamu, dan Alloh tidak ridho kekafiran bagi hamba-Nya dan jika kamu bersyukur niscaya Dia ridho kepadamu.” (QS. Az Zumar: 7) … dan apabila ternyata Alloh tidak meridhoi kekufuran dan kesyirikan maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk tidak ridho dengan keduanya, karena seorang mukmin itu keridhoan dan kemarahannya mengikuti keridhoan dan kemurkaan Alloh, sehingga dia akan marah terhadap sesuatu yang dimurkai Alloh dan akan ridho terhadap sesuatu yang diridhoi Alloh ‘Azza wa Jalla, maka demikian pula apabila Alloh tidak meridhoi kekufuran dan kesyirikan maka tidak semestinya seorang mukmin justru ridho terhadap keduanya.” (Syarah Tsalatsatul Ushul hal. 33-34).

Maka cobalah kita renungkan keadaan kaum muslimin sekarang ini yang sebagian di antara mereka (semoga kita tidak termasuk di dalamnya) bergelimang kesyirikan sementara mereka tidak menyadarinya bahkan membela dan melestarikannya dengan mengatasnamakan tradisi. Bagaimana bisa mereka melalaikan masalah besar ini ?! Apalah artinya mereka berpuasa menahan lapar dan dahaga jika kesyirikan masih melekat dalam hati, ucapan dan amalan mereka. Tidakkah mereka ingat firman Alloh Ta’ala yang artinya, “Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan kepada orang-orang sebelummu, ‘Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65). Maka marilah kita pelajari tauhid lebih serius lagi, jangan-jangan kita terjerumus dalam syirik dalam keadaan tidak menyadari. Bagaimana mungkin seseorang bisa berkata ‘Saya bersih dari syirik’ sementara pengertian dan macam-macamnya pun dia tidak mengenalnya. Tetapi siapakah gerangan yang mau memperhatikannya ??

Syarat Diterimanya Ibadah

Suatu amalan akan diterima di sisi Alloh apabila memenuhi dua syarat: ikhlash dan showab/benar. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah Dia mengerjakan amal sholih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Robbnya.” (QS. Al Kahfi: 110). Al Imam Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya, “Dan dua hal inilah rukun amalan yang diterima; harus didasari keikhlashan kepada Alloh serta showab/benar yaitu sesuai dengan syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim juz V hal. 154).

Barangsiapa yang niatnya tidak ikhlash karena Alloh maka ibadahnya tidak diterima, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alloh berfirman yang artinya, ‘Aku adalah Dzat yang tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa mengerjakan suatu amal yang dicampuri kesyirikan kepada-Ku maka Aku tinggalkan dia beserta kesyirikannya itu.’” (HR. Muslim)

Barangsiapa yang beramal tidak sesuai tuntunan Nabi maka ibadahnya tidak diterima, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Muslim). Jadi kedua syarat ini harus terpenuhi, apabila salah satu saja tidak terpenuhi maka ibadah itu tidak akan diterima oleh Alloh.

Tujuan Puasa

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan, “Tujuan dari puasa bukanlah sekedar mengekang tubuh dalam rangka menahan haus dan lapar serta kesulitan, akan tetapi tujuannya adalah menundukkan jiwa dengan meninggalkan sesuatu yang dicintai demi meraih keridhoan Dzat yang dicintai. Adapun perkara dicintai yang ditinggalkan adalah makan, minum dan jima’, inilah nafsu syahwat. Adapun sesuatu yang dicintai yang dicari keridhoan-Nya adalah Alloh ‘Azza wa Jalla. Maka kita harus senantiasa menghadirkan niat ini bahwasanya kita meninggalkan pembatal-pembatal puasa ini demi mencari keridhoan Alloh ‘Azza wa Jalla.” (Tsamaniyatu Wa Arba’uuna Su’aalan Fish Shiyaam hal. 10).

Puasa Menghimpun 3 Macam Sabar

Puasa adalah ibadah yang paling utama karena ketiga macam sabar terhimpun di dalamnya, yaitu:

1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Alloh.
2. Sabar dalam menahan diri dari terjerumus dalam maksiat kepada-Nya.
3. Sabar dalam menghadapi takdir Alloh yang terasa menyakitkan.

Juga karena Alloh menyandarkan ganjaran puasa kepada Diri-Nya sendiri, Alloh menjanjikan balasan puasa dari sisi-Nya. Puasa merupakan rahasia antara Robb dan hamba-Nya sehingga ia menjadi amanat paling agung yang harus dijaga (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 351).

-bersambung insya Allah-

***

Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber : www.muslim.or.id

Kamis, 20 Agustus 2009

10 Pohon Ramadhan

Oleh: Ulis Tofa,Lc

dakwatuna.com - Ibarat sebuah tanaman, maka amaliyah Ramadhan adalah pohonnya. Mediumnya adalah bulan Ramadhan. Pohon apa yang kita tanam di medium Ramadhan, itulah yang akan kita petik, itulah yang akan kita nikmati. Karena “siapa menanam dia yang menuai”.
Pertanyaannya; Pohon apa saja yang perlu kita tanam di bulan suci ini?
Paling tidak ada 10 pohon Ramadhan yang mesti kita tanam di medium bulan Ramadhan ini:
Pohon pertama, shaum. Tidak sekedar menahan hal yang membatalkan shaum –makan, minum dan berhubungan biologis- dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari saja. Karena, kalau hanya sekedar menahan yang demikian, boleh jadi anak kecil, usia SD bisa melakukannya. Betapa anak-anak kita sudah belajar shaum semenjak dibangku sekolah bukan?
Nah, kalau demikian, apa bedanya shaumnya kita dengan mereka?

Harus ada nilai lebih, yaitu menjaga dari yang membatalkan nilai dan pahala shaum.

Apa yang membatalkan nilai shaum. Di antaranya bohong, ghibah, namimah, mengumpat, hasud dan penyakit hati lainnya. Dengan demikian, mata, telinga, lisan, tangan, kaki dan anggota badan kita ikut serta shaum.

“Betapa banyak orang yang shaum, tidak mendapatkan sesuatu kecuali hanya rasa lapar dan dahaga semata.” Begitu penegasan Rasulullah saw.

Pohon kedua, sahur. Sahur tidak pengganti sarapan pagi, bukan juga penambah makan malam. Namun sahur yang penuh berkah, yang dilakukan diakhir jelang waktu fajar. Di sinilah waktu-waktu yang sangat mahal, doa dikabulkan, permintaan dipenuhi. Sehingga ketika melaksanakan sahur tidak tidak sambil nonton hiburan, tayangan yang melenakan, oleh media elektronik. Sibukkan diri dan keluarga kita dengan mensyukuri nikmat Allah dengan bersama-sama melaksanakan sunnah sahur ini dengan penuh hikmat dan kekeluargaan.

“Sahurlah, karena dalam sahur itu ada keberkahan.” Begitu sabda Rasulullah saw. mengajarkan.

Pohon ketiga, ifthar. Buka puasa. Sunnah buka puasa itu disegerakan. Ketika dengar kumandang adzan Maghrib, segera lakukan buka puasa. Jangan tunda, jangan sok kuat, nanti bakda tarawih saja, bukan.

Dengan apa kita ifthar? Sunnahnya dengan ruthab atau kurma muda. Berapa biji? Bilangan ganjil satu atau tiga biji. Kalau tidak ada, seteguk air putih. Itu yang dilakukan Rasulullah saw. bukan dengan memakan aneka hidangan, ragam makanan, bukan. Dan Rasulullah saw. pun baru makan besar setelah shalat tarawih.

Ifthar bukan ajang balas dendam, seharian manahan lapar, ketika bedug Maghrib, seakan ingin melampiaskan rasa laparnya dengan memakan semua yang ada. Perilaku ini tentu tidak akan membawa dampak perubahan dalam kehidupan pelakunya. Justeru dengan berlapar-lapar sambil merenungkan hikmah shaum dan menjadi bukti kesyukuran adalah sebagian dari target berpuasa. Sehingga dengan sadar dan hikmat kita berdoa saat berbuka:

“Yaa Allah, kepada-Mu aku shaum, dengan rizki-Mu aku berbuka, telah hilang rasa haus-dahagaku, kerongkongan telah basah, karena itu tetapkan pahala bagiku, insya Allah.”

Pohon keempat, tarawih. Tarawih berasal dari akar kata “raaha-yaruuhu-raahatan-watarwiihatan- yang artinya rehat, istirahat, santai. Sehingga shalat tarawih adalah shalat yang dilaksanakan dengan thuma’ninah, santai, khusyu’ dan penuh penghayatan, bukan hanya sekedar mengejar target bilangan rekaatnya saja, mau delapan, dua puluh, empat puluh, silahkan dikerjakan, asal memperhatikan rukun, wajib, dan sunnah shalat.

Kalau kita disuruh memilih, apakah shalat tarawih di masjid yang dalamnya dibaca “idzaa jaa’a nashrullahi wal fathu” atau shalat tarawih di masjid yang baca “idzaa jaa’akal munaafiquna qaaluu nasyhadu innaka larasuuluh…” Pilih mana?

Kita tidak dalam posisi membandingkan surat yang dibaca, semua adalah surat dalam Al-Qur’an, namun kita ingin membandingkan sikap kita, apa kita pilih yang panjang-panjang namun khusyu’ atau pilih yang pendek-pendek namun secepat kilat.

Umat muslim harus berani mengevaluasi diri dalam hal pelaksanaan shalat tarawih ini. Sebab, sudah kesekian kali kita melaksanakan shalat tarawih dalam hidup kita, namun kita belum bisa meresapi, merenungkan dan mendapatkan manisnya shalat, bermunajat kepada Allah swt. secara langsung.

Bukankah Rasulullah saw. meneladankan kepada kita, bahwa beliau shalat tarawih, di reka’at pertama setelah beliau membaca surat Al-Fatihah, beliau membaca surat Al-Baqarah sampai selesai, para sahabat mengira beliau akan ruku’, namun beliau melanjutkan membaca surat An-Nisa’ sampai selesai, para sahabat kembali mengira beliau akan ruku’, namun kembali beliau membaca surat Ali-Imran sampai selesai, baru beliau ruku’. Sedangkan ruku’, i’tidal dan sujud beliau lamanya seperti beliau berdiri rekaat pertama. Subhanallah!

Tentu kita tidak sekuat Rasulullah saw. namun yang kita teladani dari beliau adalah pelaksanaannya, dengan cara yang thuma’ninah, khusyu’ dan penuh tadabbur.

Pohon kelima, tilawatul Qur’an. Membaca Al-Qur’an. Atau yang populer adalah tadarus Al-Qur’an. Tadarus tidak hanya dilakukan di bulan suci ini, juga dilakukan setiap hari di luar Ramadhan, namun pada bulan suci ini tadarus lebih dikuatkan, ditambahkan kuantitas dan kualitasnya. Setiap malam, Rasulullah saw. bergantian bertadarus dan mengkhatamkan Al-Qur’an dengan malaikat Jibril.

Imam Malik, ketika memasuki bulan suci Ramadhan meninggalkan semua aktivitas keilmuan atau memberi fatwa. Semua ia tinggalkan hanya untuk mengisi waktu Ramadhannya dengan tadarus.

Imam Asy-Syafi’i, si-empunya madzhab yang diikuti di negeri ini, ketika masuk bulan Ramadhan ia mengkhatamkan Al-Qur’an sehari dua kali, sehingga beliau khatam Al-Qur’an 60 kali selama sebulan penuh. Subhanallah!

Kita tidak perlu mendebat, apakah itu mungkin? Bagaimana caranya beliau bisa melakukan hal itu? Esensi yang jauh lebih penting adalah, semangat dan mujahadah yang kuat itulah yang mesti kita miliki dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Pohon keenam, ith’aamul ifthor. Memberi berbuka puasa. Jangan diremehkan memberi berbuka puasa kepada orang yang berpuasa, baik langsung maupun lewat masjid. Walau hanya satu butir kurma, satu teguk air, makanan, minuman dan lainnya. Sebab, nilai dan pahalanya sama seperti orang yang berpuasa yang kita kasih berbuka itu. Di negara-negara Timur-Tengah, tradisi dan sunnah memberi buka puasa ini sangat kental. Hampir-hampir setiap rumah membuka pintu selebar-lebarnya bagi para kerabat, musafir, tetangga, sahabat, untuk berbuka bersama dengan mereka.

Kita jadikan memberi buka bersama ini sebagai sarana menebar kepedulian, kekeluargaan, keakraban, dengan sesama, lebih lagi sebagai sarana fastabiqul khairat.

Pohon ketujuh, i’tikaf. Melaksanakan i’tikaf 10 hari akhir Ramadhan. Inilah amalan sunnah muakkadah yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah saw. semasa hidupnya. Lebih dari 8 atau 9 kali beliau beri’tikaf di bulan suci ini, bahkan di tahun di mana beliau meninggal, beliau beri’tikaf 20 hari akhir Ramadhan. Beliau membangunkan istri-sitrinya, kerabatnya untuk menghidupkan malam-malam mulia dan mahal ini. (baca i’tikaf)

Pohon kedelapan, taharri lailatail qadar. Memburu lailatul qadar. Usia rata-rata umat Muhammad adalah 60 tahun, jika lebih, itu kira-kira bonus dari Allah swt. Namun usia yang relatif pendek itu bisa menyamai nilai dan makna usia umat-umat terdahulu yang bilangan umur mereka ratusan bahkan ribuan tahun. Bagaimana caranya? Ya, dengan cara memburu lailatul qadar, sebab orang yang meraih lailatul qadar dalam kondisi beribadah kepada Allah swt., berarti ia telah berbuat kebaikan sepanjang 1000 bulan atau 84 tahun 3 bulan penuh. Jika kita meraih lailatul qadar sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya, maka nilai usia dan ibadah kita bisa menyamai umat-umat terdahulu.

Rahasia inilah yang di yaumil akhir kelak, umat Muhammad saw. dibangkitan dari alam kubur terlebih dahulu, dihisab terlebih dahulu, dimasukkan ke surga terlebih dahulu, dan juga dimasukkan ke neraka terlebih dahulu, waliyadzu billah.

“Pada bulan ini ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang terhalang dari kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang dari kebaikan.” (H.R. Ahmad)

Pohon kesembilan, umroh. Melaksanakan ibadah umroh dibulan suci Ramadhan, terutama 10 akhir Ramadhan. Sebab melaksanakan umroh di bulan suci ini seperti malaksanakan ibadah haji atau ibadah haji bersama Rasulullah saw.

“Umrah di bulan Ramadhan sebanding dengan haji.” Dalam riwayat yang lain: “Sebanding haji bersamaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pohon kesepuluh, menunaikan ZISWAF, yaitu mengeluarkan zakat, infaq, sedekah dan wakaf. ZISWAF adalah merupakan ibadah maaliyah ijtima’iyyah, ibadah yang terkait dengan harta dan berdampak pada manfaat sosial. Mengeluarkan ZISWAF tidak hanya bulan suci Ramadhan, kecuali zakat fitrah yang memang harus dikeluarkan sebelum shalat iedul fitri, sedangkan zakat-zakat yang lain, sedekah dan infaq dilakukan kapan saja dan di mana saja, namun karena bulan Ramadhan menjanjikan kebaikan berlipat, biasanya kesempatan ini tidak disia-siakan umat muslim, sehingga umat muslim berbondong-bondong menunjukkan kepeduliannya dengan berZISWAF. Tentu dilakukan dengan baik, benar dan tidak memakan korban. Lebih baik lagi jika disalurkan lewat Lembaga Amil Zakat yang memang mengelola dana-dana umat ini sepanjang hari, tidak hanya tahunan.

Berbicara tentang potensi ZISWAF di negeri ini sangatlah besar jumlah, setiap tahunnya potensi ZISWAF itu 19, 3 Trilyun Rupiah. Subhanallah, dana yang tidak sedikit yang jika bisa digali, diberdayakan, maka ekonomi umat Islam akan lebih baik.

Inilah 10 pohon Ramadhan, “Siapa menanamnya ia akan menuai”, biidznillah. Allahu a’lam

Sumber: dakwatuna.com

Senin, 10 Agustus 2009

8 Tips Sambut Ramadhan

Oleh: Ulis Tofa,Lc

dakwatuna.com – Ramadhan yang penuh kelimpahan kebaikan dan keutamaan, akan dapat dirasakan dan diraih ketika ilmu tentang Ramadhan dipahami dengan baik.

Bayangkan, para generasi awal Islam sangat merindukan bertemu dengan bulan suci ini. Mereka berdo’a selama enam bulan sebelum kedatangannya agar mereka dipanjangkan umurnya sehingga bertemu dengan Ramadhan. Saat Ramadhan tiba, mereka sungguh-sungguh meraih kebaikan dan keuataman Ramadhan. Dan ketika mereka berpisah dengan Ramadhan, mereka berdo’a selama enam bulan setelahnya, agar kesungguhannya diterima Allah swt. Kerinduan itu ada pada diri mereka, karena mereka sadar dan paham betul keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.
Bagaimana menyambut bulan Ramadhan? Berikut kami hadirkan “8 Tips Sambut Ramadhan” :

1. Berdoa agar Allah swt. memberikan umur panjang kepada kita sehingga kita berjumpa dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal: Puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan. Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadan.” (HR. Ahmad dan Tabrani)


2. Pujilah Allah swt. karena Ramadhan telah diberikan kembali kepada kita. Imam An Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata: ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah swt. kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan.

3. Bergembira dengan datangannya bulan Ramadhan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya setiap kali datang bulan Ramadhan: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

4. Rencanakan agenda kegiatan harian untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadhan. Ramadhan sangat singkat, karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

5. Kuatkan azam, bulatkan tekad untuk mengisi waktu-waktu Ramadhan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah swt., maka Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” Muhamad:21.

6. Pahami fiqh Ramadhan. Setiap mukmin wajib hukumnya beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadhan datang agar amaliyah Ramadhan kita benar dan diterima oleh Allah swt. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahu.” Al-Anbiyaa’ ayat 7.

7. Kondisikan qalbu dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs –pemberishan jiwa-. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental, dan jiwa kita siap untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah swt. di bulan Ramadhan.

8. Tinggalkan dosa dan maksiat. Isi Ramadhan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Lembaran baru kepada Allah, dengan taubat yang sebenarnya taubatan nashuha. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” An-Nur:31. Lembaran baru kepada Muhammad saw., dengan menjalankan sunnah-sunnahnya dan melanjutkan risalah dakwahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahim. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, “Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”

Semoga Allah swt. memanjangkan umur kita sehingga berjumpa dengan Ramadhan. Dan selamat meraih kebaikan-kebaikannya. Amin ya Rabbana. Allahu a’lam (io)

Sumber: dakwatuna.com

Kamis, 30 Juli 2009

Nasihat Rasulullah Menyambut Bulan Ramadhan

Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan syiyam dan membaca kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fukara dan masakin.

Muliakanlah orang-orang tuamu, sayangilah yang muda, sambunglah tali persudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya, dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarkannya.

Kasihanilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hambanya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya, dan mengabulkan mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa)-mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah! Allah Ta'ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri dihadapan Rabb Al-'Alamin.

Wahai manusia! Barangsiapa diantaramu memberi buka kepada orang-orang Mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka disisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampunan atas dosa-dosanya yang lalu.

(Sahabat-sahabat bertanya:" Ya Rasulullah!Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian." Rasulullah meneruskan:) Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.

Wahai manusia! Siapa yang membaguskan ahlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirath pada hari ketika kaki-kaki tergelincir.

Barang siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari Kiamat. Barang siapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-nya. Barangsiapa menyambungkan tali persudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardhu baginya adalah ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardhu dibulan yang lain.

Barang siapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa pada bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Qur'an pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak akan pernah menutupkannya bagimu.

Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu.

Amirul Mukminin k.w. berkata,:Aku berdiri dan berkata,"Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama dibulan ini?" Jawab Nabi:Ya abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah".

___________
Di kutip dari:"Puasa Bersama Rasulullah", karangan Ibnu Muhammad, Pustaka Al Bayan Mizan.

Sumber : dudung.net


Minggu, 26 Juli 2009

Membekali Diri Dengan Tauhid

Pengertian Tauhid

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- memaparkan bahwa kata tauhid secara bahasa adalah kata benda yang berasal dari perubahan kata kerja wahhada – yuwahhidu yang bermakna menunggalkan sesuatu. Sedangkan dalam kacamata syari’at, tauhid bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat (Al Qaul Al Mufid, 1/5)

Syaikh Hamad bin ‘Atiq menerangkan bahwa agama Islam disebut sebagai agama tauhid disebabkan agama ini dibangun di atas pondasi pengakuan bahwa Allah adalah Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam hal kekuasaan maupun tindakan-tindakan. Allah Maha Esa dalam hal Dzat dan sifat-sifat-Nya, tiada sesuatu pun yang menyerupai diri-Nya. Allah Maha Esa dalam urusan peribadatan, tidak ada yang berhak dijadikan sekutu dan tandingan bagi-Nya.


Tauhid yang diserukan oleh para Nabi dan Rasul telah mencakup ketiga macam tauhid ini (rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat). Setiap jenis tauhid adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari jenis tauhid yang lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mewujudkan salah satu jenis tauhid saja tanpa disertai dengan jenis tauhid lainnya maka hal itu tidak mungkin terjadi kecuali disebabkan dia tidak melaksanakan tauhid dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh agama (Ibthal At Tandid, hal. 5-6)

Syaikh Muhammad bin Abdullah Al Habdan menjelaskan bahwa tauhid itu hanya akan terwujud dengan memadukan antara kedua pilar ajaran tauhid yaitu penolakan (nafi) dan penetapan (itsbat). ‘La ilaha’ adalah penafian/penolakan, maksudnya kita menolak segala sesembahan selain Allah. Sedangkan ‘illallah’ adalah itsbat/penetapan, maksudnya kita menetapkan bahwa Allah saja yang berhak disembah (At Taudhihat Al-Kasyifat, hal. 49)

Tauhid dan Iman Kepada Allah

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan –hafizhahullah- menjelaskan bahwa hakekat iman kepada Allah adalah tauhid itu sendiri. Sehingga iman kepada Allah itu mencakup ketiga macam tauhi yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat (Al Irsyad ila Shahih Al I’tiqad, hal. 29). Di samping itu, keimanan seseorang kepada Allah tidak akan dianggap benar kalau hanya terkait dengan tauhid rububiyah saja dan tidak menyertakan tauhid uluhiyah. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kaum musyrikin dahulu yang juga mengakui tauhid rububiyah. Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi dan mengajak mereka untuk bertauhid. Hal itu dikarenakan mereka tidak mau melaksanakan tauhid uluhiyah.

Urgensi Tauhid Bagi Setiap Insan

Kepentingan manusia untuk bertauhid sungguh jauh berada di atas kepentingan mereka terhadap makanan, minuman atau tempat tinggal. Kalau seseorang tidak makan atau minum, akibat terburuk yang dialami hanyalah sekedar kematian. Namun, kalau seseorang tidak bertauhid barang sekejap saja dan pada saat itu dia meninggal dalam keadaan musyrik, maka siksaan yang kekal di neraka sudah siap menantinya.

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّه ُمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah (dalam beribadah) maka sungguh Allah telah mengharamkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka…” (QS. al-Ma’idah [5]: 72)

Bahkan amalnya yang bertumpuk-tumpuk selama hidup pun akan menjadi sia-sia apabila di akhir hidupnya dia telah berbuat syirik kepada Rabb-nya dan belum bertaubat darinya. Allah ta’ala berfirman,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Sungguh, jika kamu berbuat syirik, akan lenyaplah semua amalmu, dan kamu pasti akan tergolong orang yang merugi.” (QS. az-Zumar [39]: 65)

Dan, kalaulah kita mau merenungkan untuk apa kita diciptakan di alam dunia ini niscaya kita akan memahami betapa agung kedudukan tauhid dalam hidup ini. Allah ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56). Makna beribadah kepada Allah di sini adalah mentauhidkan Allah.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- mengatakan, “Apabila engkau telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu untuk beribadah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya ibadah tidak akan disebut sebagai ibadah (yang hakiki) apabila tanpa disertai tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sebagai sholat jika tidak disertai dengan thaharah (bersuci). Maka apabila syirik merasuk ke dalam suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi batal. Sebagaimana hadats jika terjadi pada (orang yang sudah melakukan) thaharah…” (Majmu’ah Tauhid, hal. 7)

Terkait dengan pentingnya tauhid ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya kebutuhan hamba untuk senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya merupakan kebutuhan yang tak tertandingi oleh apapun yang bisa dianalogikan dengannya. Akan tetapi, dari sebagian sisi ia bisa diserupakan dengan kebutuhan tubuh terhadap makanan dan minuman. Di antara keduanya sebenarnya terdapat banyak sekali perbedaan. Karena sesungguhnya jati diri seorang hamba adalah pada hati dan ruhnya. Padahal, tidak ada kebaikan hati dan ruh kecuali dengan (pertolongan) Rabbnya, yang tiada ilah (sesembahan) yang benar untuk disembah selain Dia. Sehingga ia tidak akan bisa merasakan ketenangan kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya seorang hamba bisa memperoleh kelezatan dan kesenangan dengan selain Allah maka hal itu tidak akan terus menerus terasa. Akan tetapi, ia akan berpindah dari satu jenis ke jenis yang lain, dari satu individu ke individu yang lain. Adapun Rabbnya, maka dia pasti membutuhkan-Nya dalam setiap keadaan dan di setiap waktu. Di mana pun dia berada maka Dia (Allah) senantiasa menyertainya.” (Majmu’ Fatawa, I/24. Dikutip dengan perantara Kitab Tauhid Syaikh Shalih al-Fauzan, hal. 43)

Siapa yang merasa tauhidnya sudah hebat?!

Allah ta’ala mengisahkan do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam di dalam ayat-Nya

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada arca-arca.” (QS. Ibrahim [14]: 35)

Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah yang lebih merasa aman dari bencana kesyirikan selain Ibrahim[?]”

Syaikh Abdurrahman bin Hasan –rahimahullah- mengatakan, “Tidak ada lagi yang merasa aman dari terjatuh dalam kesyirikan selain orang yang bodoh terhadap syirik dan juga tidak memahami sebab-sebab yang bisa menyelamatkan diri darinya; yaitu ilmu tentang Allah, ilmu tentang ajaran Rasul-Nya yaitu mentauhidkan-Nya serta larangan dari perbuatan syirik terhadapnya.” (Fathul Majid, hal. 72)

Demikianlah sekilas mengenai pentingnya tauhid dalam kehidupan kita. Semoga kita tergolong hamba-hamba yang mentauhidkan Allah dengan sebenar-benarnya. Kalau orang semulia Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja masih takut terjerumus syirik, lalu bagaimana lagi dengan orang seperti kita. Wallahul musta’an. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Selesai disusun ulang di Yogyakarta,
Senin 8 Jumadil Ula 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya

Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya,
kedua orang tuanya dan kaum muslimin semua

Sumber : muslim.or.id