Senin, 25 Oktober 2010

Bahagiakan Hidup Dengan Iman

Makna Iman

dakwatuna.com – Iman secara bahasa adalah kebalikan dari Kufur; yaitu pengakuan yang terpatri dalam hati sementara kufur adalah ketiadaan pengakuan.
Adapun iman secara syara’ adalah Membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan.
Dari definisi dapat dipahami bahwa iman adalah tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan dalam berbagai perbuatan. Karena itu Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan yang sama dalam satu keyakinan, maka orang-orang beriman adalah mereka yang di dalam hatinya, di setiap ucapannya dan segala tindakannya sama. Sebagaimana orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip. atau juga orang yang pandangan hidup yang jelas dan sikap hidup yang teguh tanpa terombang-ambing oleh silaunya kehidupan dunia.

Pembagian Iman; Iman ada dua macam
1. Iman yang Hak; yaitu iman yang ditujukan kepada Allah, Rasul, kitab-kitab, malaikat, yaumil Akhir dan takdir, senantiasa mengarahkan hidupnya karena Allah dan sesuai dengan keyakinannya.
2. Iman yang Batil; yaitu iman yang ditujukan kepada selain Allah, tidak sesuai dengan syariat Allah, beriman kepada dukun, sihir, ahli nujum (peramal) dan lain sebagainya, sebagaimana mereka juga yang senantiasa berpegang teguh pada keyakinan yang salah dan tidak mau menerima kebenaran yang diterima.
Iman adalah cara Allah memelihara jati diri manusia dan memberikan kebahagiaan hakiki.
Jika dipahami dengan seksama ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits nabi saw, maka akan ditemukan pentingnya iman pada diri setiap insan dalam menjalani hidupnya di muka bumi ini. Dengan iman maka hidup seseorang akan memiliki nilai, makna dan jati diri yang mulia di sisi Allah, bahkan dengan itulah manusia mendapatkan kebahagiaannya yang hakiki.
Seseorang boleh berbangga dan merasa bahagia pada saat memiliki kekayaan, harta berlimpah, rumah mewah, tanah yang luas, jabatan yang tinggi atau umur yang panjang namun harus disadari itu semua merupakan kebahagiaan nisbi yang terbatas pada kehidupan duniawi belaka, apalagi jika tidak dilandasi dengan iman maka segala kenikmatan tersebut akan berbuah malapetaka. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan”. (Ali Imran:178)
Allah juga berfirman: “Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan (kesenangan berupa kelancaran dan kemajuan dalam perdagangan dan perusahaan mereka) orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. Akan tetapi orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhannya, bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti. (Ali Imran:196-198)
Tanpa iman hidup manusia akan hampa, tidak memiliki nilai dan jati diri di sisi Allah dan bahkan tidak berbeda dengan makhluk lain seperti binatang, bahkan lebih rendah dari binatang.
Marilah kita lihat beberapa ayat Allah tentang hakikat iman yang dapat memberikan setiap insan menggapai kemuliaan dan jati diri yang terbaik di sisi Allah.
1. Manusia selalu dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman yang tidak akan mengalaminya. Allah berfirman:
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (Al-Asr:1-3)
2. Manusia adalah makhluk sempurna, namun kesempurnaannya akan dapat jatuh dan hina jika tidak dipertahankan dengan keimanan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (At-Tiin:4-6)
3. Manusia yang beriman senantiasa mendapat kehidupan yang baik dan sejahtera serta ganjaran berlimpah di sisi Allah. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An-Nahl:97)
4. Manusia yang beriman, umurnya senantiasa dilimpahi keberkahan dan mendapat rahmat sepanjang hidupnya. Nabi saw bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik perbuatannya”. (Tirmidzi)
Sementara itu, manusia tanpa iman akan mengalami kerugian besar, baik di dunia maupun di akhirat, bahkan Allah SWT mentamtsilkan orang-orang kafir dengan berbagai tamtsil yang sangat buruk.
1. Manusia tanpa iman, ibarat binatang hina bahkan lebih hina dari itu. Allah berfirman:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, Atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. (Al-Furqan:43-44)
2. Manusia tanpa iman, segala perbuatannya bak fatamorgana yang akan hampa dan tanpa nilai yang berharga di sisi Allah. Allah berfirman:
“Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami: “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita Malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas(dalam melakukan) kezhaliman”. Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa mereka berkata: “Hijraan mahjuuraa. Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (Al-Furqan:21-23)
Dan Allah juga berfirman:
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisi-Nya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. (An-Nuur:39)
3. Manusia tanpa iman, kehidupannya bak laba-laba yang membuat sarang (jaring) sebagai tempat tinggal yang mudah dihancurkan. Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui”. (Al-Ankabut:41)
4. Manusia tanpa iman, kehidupannya bak anjing yang senantiasa menjulurkan lidahnya. Allah berfirman:
“Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”. (Al-A’raf:176)

Sumber : dakwatuna.com

Selasa, 12 Oktober 2010

Hidup Menjadi Bermakna

Hidup menjadi bermakna sangat erat hubungannya dengan pandangan hidup yang dianut. Jika seseorang memiliki pandangan hidup (way of life) yang benar, maka peluang untuk membuat makna dalam hidupnya sangat terbuka. Sebaliknya pandangan hidup yang keliru akan membuat keliru juga dalam mengambil keputusan yang akan berakhir bukan saja hidupnya menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna, tetapi ada kemungkinan justeru merusak, merusak dirinya dan merusak orang lain.
Manusia adalah makhluk psikologis yang menganut suatu makna. Dalam psikologi komunikasi ada ungkapan world don’t mean, people mean; kata-kata itu tak memiliki makna, manusialah yang memberi makna. Manusia adalah makhluk yang mampu memberi makna terhadap obyek. Obyek yang sama mungkin diberi makna berbeda-beda oleh orang yang berbeda. Senyum biasanya dimaknai sebagai keramahan, orang yang sedang sakit hati kepada seseorang, maka senyuman orang itu bisa dimaknai sebagai penghinaan atau ngeledek. Senyuman ibu tiri sering dimaknai buruk oleh anak tiri, berbeda dengan persepsi anak kandungnya. Senyuman yang sama berdampak menyejukkan bagi seseorang, dan mungkin berdampak menyakitkan bagi seseorang yang lain. Apa makna sesuatu bergantung kepada persepsi tentang fungsi dari sesuatu itu. Mata dipandang bermakna jika berfungsi untuk melihat, telinga dipandang bermakna jika berfungsi untuk mendengar, mobil dipandang bermakna jika berfungsi sebagai kendaraan, suami dipandang bermakna oleh isterinya jika ‘berfungsi’ sebagai suami, presiden dipandang bermakna oleh rakyat jika berfungsi sebagai pemimpin. Begitulah seterusnya segala sesuatu, tingkat bermaknanya bergantung kepada tingkat fungsionilnya

Manusia hidup di muka bumi memiliki berbagai fungsi, bagi dirinya, bagi keluarganya, bagi masyarakatnya, bagi bangsanya, bagi dunia dan bagi alam sekitarnya. Ada orang yang merasa dirinya bermakna tetapi tidak dipandang bermakna oleh orang lain, sebaliknya ada orang yang merasa dirinya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tetapi orang lain sangat menghormatinya.

Ada orang yang tinggal berada dalam suatu lingkungan dalam waktu yang lama, tetapi kehadirannya tidak berpengaruh apa-apa bagi lingkungan masyarakatrnya maka ia tidak dipandang bermakna, hadirnya tidak membuat genap, dan absennya tidak membuat ganjil. Sebaliknya ada orang yang hanya melintas sebentar dalam kehidupan masyarakat, tetapi karena kehadirannya membawa perobahan besar kepada tatanan masyarakat maka sepeninggal orang tersebut namanya masih selalu disebut, gagasannya masih selalu didiskusikan, pendapatnya masih selalu dirujuk orang. Waktu yang sebentar tetapi fungsional dalam membawa perubahan, maka kehadiran sebentar itu dipandang sangat bermakna, sehingga mungkin nama orang itu diabadikan dalam nama jalan atau gedung, atau bahkan banyak bayi lahir yang kemudian diberi nama dengan nama orang itu.

Hidup menjadi bermakna sangat erat hubungannya dengan pandangan hidup yang dianut. Jika seseorang memiliki pandangan hidup (way of life) yang benar, maka peluang untuk membuat makna dalam hidupnya sangat terbuka. Sebaliknya pandangan hidup yang keliru akan membuat keliru juga dalam mengambil keputusan yang akan berakhir bukan saja hidupnya menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna, tetapi ada kemungkinan justeru merusak, merusak dirinya dan merusak orang lain. Pandangan hidup dipandu oleh konsep budaya dan oleh keyakinan agama. Budaya yang tinggi akan melahirkan makna penting dan besar, budaya yang rendah akan melahirkan makna yang rendah pula. Keyakinan agama yang lurus akan melahirkan kehidupan yang benar-benar bermakna, sementara akidah agama yang keliru atau sesat akan menyesatkan penganutnya pula dan berujung pada kehadiran yang tak bermakna atau bahkan merusak.

Sumber : Mubarok Institute

Minggu, 05 September 2010

Mempertahankan Pencapaian Taubatan Nashuha

Selama bulan puasa, sekian banyak aktivitas positif yang kita lakukan. Sekian banyak pula kebiasaan lama yang kita tinggalkan. Kesadaran akan kesalahan dan dosa pun telah kita ‘bisikan’ kepada Allah, diserta dengan tekad untuk tidak mengulanginya. Itu semua dalam rangka menyucikan dan mengembangkan daya-daya positif kita sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya.
Banyak pelajaran yang kita raih dari Ramadhan. Ia telah mengajar kita dan kita pun telah buktikan, bahwa apa yang pada mulanya terasa berat, dari hari ke hari semakin ringan dan ringan, hingga tak lagi terasa berat.
Melalui puasa juga kita buktikan nafsu bagaikan bayi. Memang pada mulanya ia meronta ketika akan disapih, tetapi jika ibu berkeras, pada akhirnya sang bayi menerima lalu melupakan tuntunannya.
Puasa juga membuktikan bahwa jiwa kita setelah berhasil menahan tuntutan nafsu-jiwa kita itu-memperoleh kenikmatan ruhani yang amat menyenangkan melebihi kesenangan dan kenikmatan jasmani. Memang demikian itulah jiwa manusia sehingga anak-anak dibawah umur pun merasakannya, sampai-sampai tidak jarang mereka tetap berkeras untuk berpuasa kendati ibu bapaknya melarang.
Selama Ramadhan kita merasa telah menemukan kembali fitrah kita yang merupakan potensi spiritualitas yang dapat mengantar manusia menyadari kesalahannya dan mengakuinya serta mendorongnya berhubungan dengan Zat Yang Maha Tinggi itu.
Kegiatan positif yang selama ini kita lakukan, bahkan fitrah yang kita temukan kembali itu harus diasah dan diasuh serta dikembangkan agar tidak mereduksi kemanusiaanya dan tidak menyia-nyiakan potensinya.
Janga mengeluhkan buruknya lingkungan atau menjadikannya dalih. Tetapi ciptakan lingkungan baru yang sehat. Baca dan tontonlah yang bermanfaat. Pilihlah teman sejawat yang mau menegur, dan membimbing. Tinggalkan keburukan dan tingkatkan amal serta pengabdian. Tidak harus yang besar, yang kecilpun jadilah. Berpagi-pagi Rasul Saw mengajarkan bahwa sedikit tetapi bersinambung lebih disukai Allah, dari pada banyak hanya sesekali. Tidak usah amalan sunah yang sulit. Menyingkirkan secuil sampah, bersedekah sebiji buah, bahkan senyum pun jadilah. Sebarkan salam/kedamaian kepada yang dikenal dan tidak dikenal. Ucapkan Subhanallah saat anda menemukan keindahan, Alhamdulillah saat merasakan nikmat, Allahu Akbar ketika bertemu dengan kebesaran Allah, demikian seterusnya. Islam tidak menuntut banyak, bahkan tidak membebani yang berat. Karena memang Allah swt tidak menghendaki sedikit kesulitan pun bagi hamba-hambanya bahkan sebaliknya menghendaki kemudahan [QS 2:185 dan QS 5:6]. Rasul Saw pun berkali-kali mengingatkan perlunya berkualitas ketimbang yang berat.
Itu sedikit dari banyak kiat yang dapat kita lakukan mempertahan dan meningkatkan kualitas pribadi kita dan menjadikan taubat kita di bulan Ramadhan itu merupakan Taubatan Nashuha. Pernahkan anda tahu ada susu yang telah kembali ke tempatnya sebelum diperah? Tidak bukan? Demikian itulah dosa yang telah dikerjakan, tidak akan terulang kembali, layaknya susu yang telah diperah itu. Demikian makna Taubatan Nashuha. Wa Allah A’lam.

Sumber: Bersama M.Quraish Shihab
http://quraishshihab.blogdetik.com

Rabu, 01 September 2010

Berlomba dalam Kebajikan

Bulan Ramadhan diibaratkan sebagai tanah yang subur. Apapun yang Anda tabur akan tumbuh subur, kendati Anda tak menaburi lahan dengan pupuk, atau benih yang Anda tanam kurang berkualitas. Karena suburnya, sehingga kendati Anda tidak menabur, lahan itu pun akan dipenuhi alang-alang.
Ada juga yang mengibaratkan bulan suci itu sebagai bulan sale [obral] yang supermarket-nya terdapat di mana-mana, serta terbuka sepanjang saat menawarkan aneka komuditi dengan harga yang sangat sangat murah. Yang dibutuhkan untuk meraihnya hanya melangkah satu dua langkah. bahkan menampakkan keinginan pun – walau tak melangkah – dapat mengundang pemilik supermarket mengirimkan sekian banyak hadiah untuk merangsang Anda melangkah ke sana. Dalam bahasa agama, keinginan tersebut dinamai niat yang tulus untuk berbuat kebajikan.
Banyak alternatif kebajikan yang dapat dilakukan di bulan suci ini. Anda tak perlu terlalu sedih, jika salah satu yang inginkan tak dapat Anda lakukan oleh satu dan lain hal. Saudara perempuanku! Anda tidak perlu kecewa tidak berpuasa atau mengaji karena tamu bulanan mengunjungi Anda!
Namun demikian kendati banyak lapangan kebajikan mengamalkan apa yang disukai Allah dan memilih prioritas amalan, adalah sesuatu yang sangat dianjurkan walau ini bukan berarti hanya berkonsenterasi penuh dalam amalan tersebut. Dalam berinteraksi dengan Allah, meski semua menguntungkan, tidak ada istilah high atau low risk – selama memenuhi kreteria yang ditetapkan-Nya - namun bisa jadi ada situasi yang menjadikan jenis amalan tertentu lebih menguntungkan saat ini ketimbang saat lain. Di sinilah diperlukan kearifan dan perlombaan untuk saling mendahului.
Perlombaan/persaingan dalam kebajikan berbeda dengan persaingan dalam dunia bisnis. Karena apa yang terhampar di alam raya ini sangat terbatas dibanding dengan apa yang terdapat di sisi Allah. Bahkan bisa jadi dalam dunia bisnis yang diperebutkan hanya satu tanpa ganti, apalagi jika pandangan hanya tertuju kepada sekarang dan di sini. Ini berbeda dengan berinteraksi dengan Allah yang bukan saja lapangan pengabdian kepada-Nya tidak terbatas. Karena pandangan mestinya tidak hanya di sini dan sekarang tetapi juga nanti dan masa datang di akhirat sana. “Apa yang di sisi kamu akan habis/lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [QS 16: 96].
Allah memerintahkan berlomba dan bersaing dalam kebajikan [QS 2: 14]. Setelah memerhatikan sekian banyak tuntunan agama, para ulama merumuskan bahwa La Itsâra fi al-qurbah / Tidak perlu mengalah dalam hal upaya mendekatkan diri kepada Allah. Ini karena lapangan pengabdian kepada-Nya amat luas tidak terbatas. Sehingga jika Anda mempertahankan upaya pengabdian yang Anda pilih, maka pihak lain, seandainya tidak memperoleh kesempatan yang sama, masih dapat menemukan lapangan lain yang tidak kurang nilainya dengan apa yang Anda lakukan. Memang jika lapangan pengabdian tersebut oleh satu dan lain hal menjadi terbatas, sedang ia amat dibutuhkan pihak lain, maka di sini akhlak Islam menganjukan untuk memberi kesempatan atau mengalah kepadanya. Ketika itu yang mengalah akan dianugerahi - tidak kurang dari apa yang mestinya dapat ia peroleh, atau apa yang diperoleh oleh siapa yang diberinya kesempatan itu. Dan dalam saat yang sama, yang memberi dapat melakukan pengabdian lain yang tidak kurang nilainya dari apa yang direncanakannya semula. Demikian, Wa Allah A’lam. « []

Sumber : Bersama M.Quraish Shihab
http://quraishshihab.blogdetik.com

Sabtu, 21 Agustus 2010

Puasa Dan Al-Quran

Oleh :Dr.Attabiq Luthfi,MA

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)
Ayat ini adalah ayat ketiga dari rangkaian ayat puasa yang berjumlah 4 ayat dan tersusun secara runtut dalam satu surah, yaitu surah Al-Baqarah ayat 183-187 (dikurangi ayat 186). Ayat ini menjelaskan waktu kewajiban berpuasa yaitu bulan Ramadhan yang belum disebutkan pada dua ayat sebelumnya. Sekaligus ayat ini menghapus keringanan tidak berpuasa bagi orang yang muqim dan sehat yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Sehingga siapapun yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, kecuali bagi yang sakit atau dalam perjalanan ia diberi keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi harus menggantinya pada hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya itu. Namun tetap kaidah dasar syariat Islam adalah Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Makna yang patut digali dari ayat ini adalah keterkaitan yang erat antara puasa dan Al-Qur’an. Tercatat hanya ayat ini yang menggandingkan puasa dengan turunnya Al-Qur’an; Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Ibnu Katsir menyebutkan korelasi ini dalam tafsirnya: ”Allah memuji Ramadhan sebagai bulan yang dipilih untuk diturunkan kitab suciNya yang agung. Bahkan seluruh kitab-kitab samawi yang lain juga diturunkan di bulan Ramadhan seperti yang terungkap dalam riwayat imam Ahmad bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shahifah Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari (malam) keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari (malam) ketiga belas bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat bulan Ramadhan”. (Musnad Ahmad, 4/107)
Namun menurut Asy-Syaukani, dalam konteks penurunan Al-Qur’an, ayat ini masih bersifat umum karena tidak menjelaskan waktu yang pasti tentang turunnya Al-Qur’an. Surah Al-Qadar ayat 1 dan surah Ad-Dukhan ayat 3 itulah yang menjadi penjelas bagi ayat ini: “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam yang penuh dengan keberkahan, yaitu malam Lailatul Qadar”.
Penjelasan inipun sebenarnya masih memerlukan penjelasan lebih rinci, karena kepastian tanggal turunnya Al-Qur’an masih belum disebutkan. Spesifikasi yang disebutkan Al-Qur’an hanya terbatas pada bulan diturunkannya Al-Qur’an yaitu bulan Ramadhan yang dispesifikasi kembali dengan malam Lailatul Qadar. Tapi kapan itu terjadi masih menjadi perdebatan hangat diantara para ulama. Namun mereka sepakat bahwa maksud turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadhan adalah turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia. Sehingga penurunan Al-Qur’an menurut Imam Suyuthi terjadi dalam dua tahap, yaitu pertama, turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke langit dunia secara sekaligus dan kedua, turunnya Al-Qur’an kepada Rasulullah secara berperiodik. Untuk memahami kedua bentuk turunnya Al-Qur’an tersebut, Al-Qur’an menggunakan redaksi yang berbeda. Redaksi Anzala (Inzal) untuk menunjukkan turunnya Al-Qur’an secara sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Langit dunia dan redaksi Nazzala (Tanzil) untuk menunjukkan penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur.
Dalam pembahasan tanggal turunnya Al-Qur’an, terdapat beberapa riwayat yang bisa dijadikan acuan. Riwayat Ibnu Abbas seperti yang dinukil oleh Ibnu katsir menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam pertengahan bulan Ramadhan ke Baitul Izzah di Langit dunia kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad dalam kurun waktu 20 tahun. Secara lebih lengkap imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shahifah Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari (malam) keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari (malam) ketiga belas bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat bulan Ramadhan”. Dalam riwayat Jabir bin Abdullah dibedakan bahwa Zabur diturunkan pada malam kedua belas. (Musnad Ahmad, 4/107)
Jika riwayat Imam Ahmad dijadikan acuan, maka akan lebih menepati dengan kemungkinan besar terjadinya malam Lailatul Qadar yang banyak disebutkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya. Misalnya: ”Carilah malam Lailatul Qadar itu di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”. Atau ”Carilah malam Lailatul Qadar itu di tanggal ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”. (H.R. Bukhari).
Korelasi kedua yang bisa ditemukan antara Al-Qur’an dan puasa adalah bahwa keduanya merupakan sarana (wasilah) mendapatkan syafaat kubro di hari kiamat nanti. Tersebut dalam hadits Abdullah bin Umar yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad (13/375) bahwa Rasulullah saw bersabda: “Puasa dan Al-Qur’an keduanya akan memberi syafaat kepada hamba Allah pada hari kiamat. Puasa berkata: ya Allah, aku menghalanginya dari makan, minum dan syahwat di siang hari, maka berilah syafaat untuknya karena aku. Al-Qur’an pun berkata: ya Rabbi, aku telah telah menahannya dari tidur di malam hari (karena membaca aku), maka berilah ia syafaat karena aku”. Maka akhirnya keduanya menjadi wasilah untuk medapatkan syafaat Allah swt.
Jika korelasi ini difahami dengan baik, maka pemaknaan yang luhur dari bulan Ramadhan adalah Syahrul Qur’an; bulan berinteraksi dan bergaul dengan Al-Qur’an sebaik dan seintens mungkin selain dari makna syahrus shobr (bulan melatih bersabar), syahrul infaq (bulan berinfak), syahrul maghfiroh (bulan ampunan), syahrut tarbiyah (bulan pembinaan), syahrul ibadah (bulan peningkatan ibadah), syahrul jihad (bulan perjuangan) dan lain sebagainya. Namun kenyataannya, makna Ramadhan sebagai syahrul Qur’an masih belum teraplikasikan dengan baik. Padahal pilihan Allah tentang Ramadhan sebagai bulan kewajiban puasa dan bulan penurunan Al-Qur’an tentu tidak lepas dari makna ini. Justru keberkahan Al-Qur’an yang dijanjikan oleh Allah akan lebih terasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini (syahrun mubarak). “Inilah kitab penuh berkah yang Kami turunkan kepada engkau (Muhammad) agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan menjadikannya sebagai bahan peringatan bagi orang-orang yang berakal”. (Shad:29)
Saatnya momentum Ramadhan dijadikan momentum untuk memperbaiki dan meningkatkan keberAl-Qur’anan kita. Bukankah ukuran kebaikan seseorang tergantung dengan tingkat interaksinya dengan Al-Qur’an seperti yang dinyatakan dalam hadits Ibnu Mas’ud, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. Mempelajari dan mengajarkan disini tidak terbatas dalam konteks bacaan, tetapi lebih dari itu: mempelajari dan mengajarkan nilai dan ajaran Al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh. Bahkan posisi dan kedudukan seseorang di dalam syurga juga terkait erat dengan tingkat keberAl-Qur’anannya. Karena pada hari kiamat nanti setiap orang akan diminta untuk membacakan Al-Qur’an: “Bacalah dan terus tingkatkan seperti kamu membaca di dunia, karena tingkat dan kedudukanmu di syurga ditentukan oleh kualitas dan kuantitas interaksi kamu dengan Al-Qur’an.
Tidak berlebihan untuk kita mulai membangun pribadi qur’ani yang akan berlanjut kepada membangun keluarga qur’ani yang mudah-mudahan dari sini akan lahir masyarakat qur’ani dan jayl qur’an (generasi qur’an) yang mutamayyiz dan farid “unik dan berbeda” karena mereka adalah kekasih Allah dan orang pilihannya. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bagi Allah kekasihnya dari manusia. Mereka adalah para pembawa Al-Qur’an. Merekalah kekasih Allah dan orang pilihannNya”. (H.R. Al-Hakim)

Sumber : dakawatuna.com

Sabtu, 14 Agustus 2010

Piala Ramadhan,Siapa Merebutkan ?

dakwatuna.com – Apa yang dirasakan oleh juara Euro 2008, Tim Spanyol, ketika ia dipastikan menjadi juara dalam event besar itu? Tentu luapan kegembiraan dan suka cita menyatu dalam diri mereka. Tidak hanya pemain, pelatih, dan tim saja, bahkan semua warga negara Spanyol menyatu dalam kegembiraan itu. Dunia memujinya, publik menyanjungnya. Spanyol jadi buah bibir.
Keberhasilan itu hasil jerih perjuangan panjang dan melelahkan. Penantian selama empat puluh tiga tahun untuk merebut kembali predikat sang juara. Penuh kesungguhan dan kedisiplinan.
Bagaimana jika piala itu datangnya dari Tuhannya manusia?. Bagaimana jika predikat juara itu disematkan oleh Pemilik alam raya ini?. Bagaimana jika yang menyanjung itu adalah Penentu kehidupan semua makhluk?.
Secara fitriyah dan imaniyah, pasti orang akan berebut piala dan predikat juara dari Tuhannya. Tentu jauh lebih mulia, istimewa dibandingkan dengan sanjungan manusia.
Ya, itulah peraih sukses Ramadhan. Orang yang mampu melewati event besar ini sampai finish dengan kesungguhan. Ia meraih predikat taqwa, sebagai identitas tertinggi manusia. Ia meraih piala Ar Royyan, surga spesial bagi shaaimin dan shaaimat.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
“Sesungguhnya didalam surga ada pintu bernama Royyan, tidak ada yang memasukinya kecuali mereka yang shaum Ramadhan.” (Muttafaq alaih)
Bahkan tidak hanya itu, orang yang sukses Ramadhan, mengisinya dengan kesungguhan, akan meraih berbagai keistimewaan dan kemuliaan.
Karena Ramadhan menjanjikan: Kelipatan pahala, pengkabulan do’a, pemudahan amal shaleh, penghapusan dosa, surga dibuka lebar-lebar, neraka ditutup rapat-rapat, setan-setan dibelenggu. Dan di dalamnya ada malam lailatul qadar, malam lebih baik dari seribu bulan. Kebaikan senilai usia rata-rata manusia, bagi yang meraihnya. Subhanallah!
Nabi saw. bersabda: “Bila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, sementara setan-setan diikat.” (HR. Bukhari-Muslim).
“Setiap amal anak Adam -selama Ramadhan- dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, Allah swt. berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku langsung yang akan memberikan pahala untuknya.” (HR. Muslim).
“Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim).
“Orang yang berpuasa doanya tidak ditolak, terutama menjelang berbuka.” (HR. Ibn Majah, sanad hadits ini sahih).
Yang lebih penting untuk diperhatikan di sini adalah, persiapan dan pengkondisian sebelum Ramadhan datang.
Seperti Tim Spanyol, yang harus berjibaku sepanjang waktu mempersiapkan diri menghadapi musim pertandingan.
Begitu juga dengan persiapan Ramadhan. Apa yang perlu dipersiapkan?
Persiapan fikriyah atau pemahaman tentang Ramadhan. Persiapan ruhiyah atau ibadah ritual. Persiapan maddiyah atau fisik dan material.
Bulan Sya’ban telah menjelang. Bulan di mana Rasulullah saw. meningkatkan aktivitas ibadah. Bahkan diriwayatkan beliau hampir-hampir shaum sunnah sebulan penuh.
Imam al-Nasa’i dan Abu Dawud meriwayatkan, disahihkan oleh Ibnu Huzaimah. Usamah berkata pada Nabi saw.
“Wahai Rasulullah, saya tidak melihat Engkau melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Engkau lakukan dalam bulan Sya’ban.’ Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang. Di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa.”
Dari Aisyah r.a. beliau berkata: “Rasulullah s.a.w. berpuasa hingga kita mengatakan tidak pernah tidak puasa, dan beliau berbuka (tidak puasa) hingga kita mengatakan tidak puasa, tapi aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa selain bulan Ramadhan kecuali pada bulan Sya’ban.” Imam Bukhari.
Subhanallah, kondisi ruhiyah, fikriyah dan maddiyah sudah dipersiapkan sebulan, bahkan dua bulan sebelum Ramadhan menjelang. Sehingga ketika Ramadhan datang, kita sudah terbiasa, terkondisikan dengan kesungguhan dan ketaatan. Dan karena itu kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan Ramadhan akan dapat diraih. Keluar Ramadhan meraih predikat muttaqin dan piala Jannatur Rayyan, insya Allah. Allahu a’lam

Sumber : dakwatuna.com

Selasa, 27 Juli 2010

Jangan Lari dari Ujian Hidup

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
dakwatuna.com – “Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah; namun barangsiapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.”
Sabda Rasulullah saw. ini ada dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap Bencana”

Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.
Perlu Kacamata Positif
Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu kapan pun tidak bisa mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit karena himpitan ekonomi. Pahit karena suami/istri selingkuh. Pahit karena anak tidak saleh. Pahit karena sakit yang menahun. Pahit karena belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda lagi.
Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. Kegetiran selalu dipahami sebagai siksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai buah dari kelemahan diri. Tak heran jika satu per satu jatuh pada keputusasaan. Dan ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. Atau, bahkan mengacungkan telunjuk ke langit sembari berkata, “Allah tidak adil!”
Begitulah kondisi jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan berbuat seperti itu. Sebab, ia paham betul bahwa itulah konsekuensi hidup. Semua kegetiran yang terasa ya harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. Sebab, ia tahu betul bahwa kegetiran hidup itu adalah cobaan dari Allah swt. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Hadits di atas mengabarkan bahwa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan menguji kita. Ketika kita ridha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, Allah pun ridha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? Mardhotillah. Keridhaan Allah swt. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat Rasulullah saw. Mereka ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepada mereka.
Yang Manis Terasa Lebih Manis
Kepahitan hidup yang dicobakan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, yaitu ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cobaan yang dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi makin gigih. Orang bilang, jika kepepet, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih gigih, dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.
Kehilangan, kegagalan, ketidakberdayaan memang pahit. Menyakitkan. Tidak menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahwa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahwa kesuksesan yang bisa diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.
Itulah salah satu rahasia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)
Begitulah kita diajarkan oleh Allah swt. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan mengenal arti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu manis karena tidak pernah merasakan pahit.
Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan halus. Sensitif. Kita akan punya empati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah dipergilirkan dalam situasi yang tidak enak. Ada keinginan untuk menolong. Itulah rasa cinta kepada sesama. Selain itu, kita juga akan bisa berpartisipasi secara wajar saat bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.
Bersama Kesukaran Selalu Ada Kemudahan
Hadits di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak dikit orang yang menutup nalar sehatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah irisan pisau yang memotong syaraf berpikirnya. Kenestapaan hidup dianggap sebagai stempel hidupnya yang tidak mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin berubah buat selama-lamanya.
Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu stabilitas hati. Hati yang dalam kondisi jatuh di titik nadir, akan berdampat pada voltase getaran iman. Biasanya perasaan tidak berdaya membutuhkan pelampiasan. Bentuk bisa kemarahan dan berburuk sangka. Di hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cobaan yang diberikan Allah swt. dan marah kepada Allah swt. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan hidup, ia justru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah swt.
Karena itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cobaan. Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar keterpurukan mereka tidak sampai membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita bisa memaknai hadits singkat Rasulullah saw. ini, “Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. Athabrani)
Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cobaan datang bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Setelah hujan akan muncul pelangi. Itu janji Allah swt. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Jadi, jangan lari dari ujian hidup!

Sumber : dakwatuna.com

Jumat, 16 Juli 2010

Silaturahmi dalam Pandangan Islam

Kalimat silaturahmi berasal dari bahasa Arab, tersusun dari dua kata silah yaitu, alaqah (hubungan) dan kata al-rahmi yaitu, Al-Qarabah (kerabat) atau mustauda Al-Janin artinya “rahim atau peranakan”. (Al-Munawwir, 1638, 1668) kata Al-Rahim seakar dengan kata Al-Rahmah dari kata rahima “menyayangi-mengasihi”. Jadi secara harfiyah Silaturahmi artinya “Menghubungkan tali kekerabatan, menghubungkan kasih sayang”.


Al-Raghib (ayat 191) mengkaitkan kata rahim dengan rahim Al-marah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama.

Al-Raghib juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah SWT menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau Al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”.

Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna Al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati).

Ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman Faudah (13) yang menyebutkan, “Rahmah adalah belas kasihan dalam hati yang menghendaki keutamaan dan kebaikan”.

Dengan makna di atas, secara harfiyah arti silaturahmi dapat dikatakan pula, menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Dan secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi (1971, V:93) yang menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”.

Selain itu kalimat silaturahmi merupakan uslub Qur’ani, bahasa Al-Qur’ân, bahasa yang digunakan oleh Rasul Saw. Tentu tidak ada bahasa Arab yang lebih baik kecuali bahasanya Al Quran, bahasanya yang digunakan oleh Nabi, bukan bahasa Arab Ashriyah (modern) bukan pula bahasa Arab Amiyah (bahasa Arab pasar) Alquran telah mengisyaratkan tentang hal itu, antara lain firman Allah SWT, dalam Al-Ra’du 21.
Terhadap lafadz Yashiluna para mufashir, seperti Al-Maraghi (V:93) Mahmud Hijazi (II:228) dan Shawi (II:336) Jalaludin al-Syuyuthi (IV:637) tidak berbeda pendapat, bahwa yang dimaksud adalah yashiluuna arrahmi menyambungkan kekerabatan, kasih sayang yang merupakan haq semua hamba.

Dan kata Arrahmi ditunjukan pula oleh al-Kahfi dalam ayat 81 dengan kalimat Aqrabu rahman lebih dalam kasih sayangnya) Jadi silaturahmi itu bahasa Al Quran. Sementara kalimat silaturahmi yang disabdakan oleh Nabi dan sebagai bahasanya Nabi, banyak kita jumpai dalam hadits-hadits, antara lain: “Asra’ul khaira tsawaaban albirra wa shilatur rahmi.” kebaikan yang paling cepat balasannya, yaitu berbuat kebaikan dan silaturahmi.

Seperti telah disebutkan di atas, kata al-rahmi erat kaitannya dengan wanita, yaitu, rahimnya seorang ibu, tempat janin dalam perut seorang wanita. Wanita pada masa Arab Jahili dipandang rendah tidak bernilai, karena itu bayi wanita yang baru lahir dari perut seorang ibu, mereka bunuh. Dan seorang ibu yang ditinggal mati oleh suaminya, dipandang harta pusaka yang dapat diwariskan kepada ahli warisnya.

Silaturahmi yang diperintahkan Allah Swt, tidak dapat dilepaskan dari tugas Rasul untuk melakukan (tazkiyah) pembersihan, yaitu dalam hal ini tazkiyah al-akhlak (Pembersihan prilaku) yang kotor yang dilakukan Arab Jahili, yang memandang wanita tidak benilai Maka untuk itu, Allah dan Rasulnya melarang membunuh anak wanita atau laki-laki, dalam firmannya Al-Anam: 151, dan melarang menjadikan wanita sebagai harta pusaka, dalam firmannya An-Nisa: 19.
Dalam hal berbakti, berbuat kebaikan, menghubungkan tali kekerabatan/silaturahmi, Islam memperhatikan terlebih dahulu kepada wanita. Dengan kata lain silaturahmi mengandung makna “Mengangkat derajat wanita” yang dulu direndahkan oleh orang Arab Jahili.

Hal ini sebagaimana terungkap dalam beberapa hadits Nabi, antara lain, Khalid bin Ma’dan berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya Allah mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada ibumu (3X) Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada bapakmu (2X) kemudian bersabda, Ia wasiatkan kepadamu (berbuat baik) kepada yang lebih dekat lalu pada yang lebih dekat. (Ibnu Majah)

Dan dalam keterangan lain dari Abi Ramtsah ia berkata: Aku sampai pada Rasulullah, lalu aku mendengar ia bersabda: Berbuat baiklah kepada ibumu, dan bapakmu dan saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu kemudian kepada yang lebih dekat padamu lalu kepada yang lebih dekat padamu (Shahihain).

Dalam Islam, diajarkan pula silaturahmi kepada orang yang telah meninggal, yaitu dengan cara menghubungkan kasih sayang kepada saudara orang yang telah mati yang masih hidup. Dalam sebuah hadits Ibnu Hibban dari Abi Burdah dijelaskan, Ash-Shiddiqi (1977, Al-Islam, II:374) membagi silaturahmi kepada dua bagian, silaturahmi umum dan silaturahmi khusus Silaturahmi umum yaitu, silaturahmi kepada siapa saja; seagama datidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan diantaranya menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur dan berbuat baik dan lain sebagainya yang bersifat kemanusiaan. Silaturahmi ini disebut silaturahmi kemanusiaan.

Silaturahmi khusus yaitu, silaturahmi kepada kerabat, kepada yang seagama, yaitu dengan cara membantunya dengan harta, dengan tenaga, menolong, menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemadharatan yang menimpanya, dan berdo’a, dan membimbing agamanya karena takut adzab Allah. Al-Maraghi (V:93) menyebutkan silaturahmi kepada kerabat mu’min, yaitu menghubungkan karena imannya, ihsan, memberi pertolongan, mengasihi, menyampaikan salam, menengok yang sakit, membantu dan memperhatikan haknya.

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. 17:26)

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk”. (QS. 13:21)
Dengan memperhatikan dan membandingkan dua hal di atas (Silaturahmi dan Halal bi halal) Silaturahmi lebih bermakna dari pada halal bi halal. Suatu kegiatan yang mengandung nilai baik, alangkah baiknya jika diberi nama yang baik pula. Tradisi berkumpul, bersalaman, saling memaafkan yang dilakukan sebagian orang di Indonesia setelah Idul Fitri yang suka disebut halal bi halal.(net/jpnn)

Sumber : Sumut Pos

Rabu, 23 Juni 2010

Keutamaan Tersenyum di Hadapan Seorang Muslim

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan tersenyum dan menampakkan muka manis di hadapan seorang muslim, yang hadits ini semakna dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria“[2].


Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

- Menampakkan wajah ceria dan berseri-seri ketika bertemu dengan seorang muslim akan mendapatkan ganjaran pahala seperti pahala bersedekah[3].

- Keutamaan dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, sebagaimana yang disebutkan oleh sahabat yang mulia, Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarangku untuk menemui beliau sejak aku masuk Islam, dan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memandangku kecuali dalam keadaan tersenyum di hadapanku“[4].

- Menampakkan wajah manis di hadapan seorang muslim akan meyebabkan hatinya merasa senang dan bahagia, dan melakukan perbuatan yang menyebabkan bahagianya hati seorang muslim adalah suatu kebaikan dan keutamaan[5].

- Imam adz-Dzahabi menyebutkan faidah penting sehubungan dengan masalah ini, ketika beliau mengomentari ucapan Muhammad bin Nu’man bin Abdussalam, yang mengatakan, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih tekun beribadah melebihi Yahya bin Hammad[6], dan aku mengira dia tidak pernah tertawa”. Imam adz-Dzahabi berkata, “Tertawa yang ringan dan tersenyum lebih utama, dan para ulama yang tidak pernah melakukannya ada dua macam (hukumnya):

Pertama: (bisa jadi) merupakan kebaikan bagi orang yang meninggalkannya karena adab dan takut kepada Allah, serta sedih atas (kekurangan dan dosa-dosa yang ada pada) dirinya.

Kedua: (bisa jadi) merupakan celaan (keburukan) bagi orang yang melakukannya (tidak mau tersenyum) karena kedunguan, kesombongan, atau sengaja dibuat-buat. Sebagaimana orang yang banyak tertawa akan direndahkan (diremehkan orang lain).

Dan tidak diragukan lagi, tertawa pada diri pemuda lebih ringan (dilakukan) dan lebih dimaklumi dibandingkan dengan orang yang sudah tua.

Adapun tersenyum dan menampakkan wajah ceria, maka ini lebih utama dari semua perbuatan tersebut (di atas). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“. Dan Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memandangku kecuali dalam keadaan tersenyum“.

Inilah akhlak (mulia) dalam Islam, dan kedudukan yang paling tinggi (dalam hal ini) adalah orang yang selalu menangis (karena takut kepada Allah) di malam hari dan selalu tersenyum di siang hari. (Dalam hadits lain) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu tidak akan mampu berbuat baik kepada semua manusia denga hartamu, maka hendaknya kebaikanmu sampai kepada mereka dengan keceriaan (pada) wajahmu“[7].

Ada hal lain (yang perlu diingatkan) di sini, (yaitu) sepatutnya bagi orang banyak tertawa dan tersenyum untuk menguranginya (agar tidak berlebihan), dan mencela dirinya (dalam hal ini), agar dia tidak dijauhi/dibenci orang lain. Demikian pula sepatutnya bagi orang yang (suka) bermuka masam dan cemberut untuk tersenyum dan memperbaiki tingkah lakunya, serta mencela dirinya karena buruknya tingkah lakunya, maka segala sesuatu yang menyimpang dari (sikap) moderat (tidak berlebihan dan tidak kurang) adalah tercela, dan jiwa manusia mesti sungguh-sungguh dipaksa dan dilatih (untuk melakukan kebaikan)”[8].


Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA.

Sumber : www.muslim.or.id

Sabtu, 05 Juni 2010

Akhlak Kepada Orang Tua Dan Kerabat

rAl Qur'an secara tegas mewajibkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya (Q/17:23). Berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain) merupakan alkhoir, yakni nilai kebaikan yang secara universal diwajibkan oleh Allah SWT. Artinya nilai kebaikan berbakti kepada orang tua itu berlaku sepanjang zaman dan pada seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi bagaimana caranya berbakti sudah termasuk kategori al ma'ruf, yakni nilai kebaikan yang secara sosial diakui oleh masyarakat pada suatu zaman dan suatu lingkungan.

Dalam hal ini al Qur 'anpun memberi batasan, misalnya seperti yang disebutkan dalam surat al Isra, bahwa seorang anak tidak boleh berkata kasar apalagi menghardik kepada kedua orang tuanya(Q/17:23).

Seorang anak juga harus menunjukkan sikap berterima kasihnya kepada kedua orang tua yang menjadi sebab kehadirannya di muka bumi. Di mata Allah SWT sikap terima kasih anak kepada orang tuanya dipandang sangat penting, sampai perintah itu disampaikan senafas dengan perintah bersyukur kepadaNya (anisykur li wa liwa lidaika (Q/31:14)).

Meski demikian, kepatuhan seorang anak kepada orang tua dibatasi dengan kepatuhannya kepada Allah SWT. Jika orang tua menyuruh anaknya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah Allah SWT, maka sang anak dilarang mematuhi perintah orang tua tersebut, seraya tetap harus menghormatinya secara patut (ma'ruf) sebagai orang tua (Q/ 31:15). Seorang anak, oleh Nabi juga dilarang berperkara secara terbuka dengan orang tuanya di forum pengadilan, karena hubungan anak —orang tua bukan semata-mata hubungan hukum yang mengandung dimensi kontrak sosial melainkan hubungan darah yang bernilai sakral.

Sementara itu orang tua harus adil dalam memberikan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Diantara kewajiban orang tua kepada anak-anaknya adalah; memberi nama yang baik, menafkahi, mendidik mereka dengan agama (akhlak kehidupan) dan menikahkan jika sudah tiba waktunya.

Adapun jika orang tua sudah meninggal, maka kewajiban anak kepada orang tua adalah (a) melaksanakan wasiatnya, (b) menjaga nama baiknya, (c) meneruskan cita-citanya, (d) meneruskan silaturahmi dengan handai tolannya, (e) memohonkan ampun kepada Allah SWT.

Dalam hubungan dengan kerabat, secara umum semangat hubungan baiknya sejalan dengan semangat keharusan berbakti kepada orang tua. Paman, bibi, mertua dan seterusnya harus dideretkan dalam deretan orang tua, saudara misan yang muda dan seterusnya dideret¬kan pada saudara muda atau adik, yang tua dideretkan kepada kakak. Secara spesifik kerabat harus didahulukan dibanding yang lain, misal¬nya jika seseorang mengeluarkan zakat, kemudian diantara kerabatnya ada orang miskin yang layak menerima zakat itu, maka ia harus didahulukan dibanding orang miskin yang bukan kerabat. Semangat etik hubungan kekerabatan diungkapkan oleh Rasulullah dengan kalimat menghormati kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih muda. (laisa minna man lam yuwagir kabirana wa lam yarham soghirana).

Sumber : Mubarok Institute

Selasa, 27 April 2010

Menggapai Kemuliaan Akhlaq

dakwatanua.com - Akhlaq menurut ahli ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatinggi, Allah swt.

I. Definisi Akhlaq

Beberapa definisi akhlaq antara lain adalah :

1. Menurut Ibnu Abbas Ra ketika menafsirkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’alaa dalam surat Al Qolam ayat 4 yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlaq yang agung”, akhlaq yang agung tersebut adalah dien yang agung (Islam).

Demikian pula pendapat Mujahid, Abu Malik, As Suddi, Rabi bin Anas, Ad Dhahak, dan Ibnu Zaid. Didalam Shohih Muslim, Aisyah ra pernah ditanya tentang akhlaq Nabi Saw, lalu beliau menjawab bahwa akhlaq Beliau Saw adalah Al Quran, karena segala perintah yang terdapat didalam Al Quran beliau laksanakan dan segala larangan yang terdapat didalamnya beliau tinggalkan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali berkata “Dengan ini menjadi jelas bahwa akhlaq yang agung dimana Nabi disifati dengannya adalah dien yang mencakup semua perintah-perintah Alloh Ta’alaa dan larangan-Nya, sehingga bersegera untuk melaksanakan segala yang dicintai Alloh dan di ridloi-Nya dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya dengan sukarela dan lapang dada” (Makarimul Akhlaq/23) .

2. Ibnul Atsir menyebutkan dalam An Nihayah (2/70) tentang “al khuluqu” dan “al khulqu” yang berarti dien, tabiat dan sifat. Syaikh ‘Utsaimin menerangkan tentang hakikatnya adalah potret batin manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya (Makarimul Akhlaq, hal 9).

3. Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah menyebutkan beberapa pendapat tentang definisi akhlaq didalam bukunya Madarijus Saalikin antara lain akhlaq yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tangguh menghadapi penderitaan. Pendapat lain menyebutkan bahwa akhlaq yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan. Ada lagi yang mengatakan, “membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia”

4. Imam Ibnu Qudamah menyebutkan dalam Mukhtashor Minhajul Qoshidiin bahwa akhlaq merupakan ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah menghasilkan perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, jika perbuatan itu baik maka disebut akhlaq yang baik, dan jika buruk maka disebut akhlaq yang buruk.

II. Keutamaan akhlaq yang baik

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali menyebutkan keutamaan-keutamaan akhlaq yang mulia yaitu :

1. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab masuknya orang yang memiliki akhlaq yang mulia tersebut kedalam Jannah (surga)

Nabi Saw bersabda yang artinya “Saya adalah penjamin bagi orang yang meninggalkan mira (debat kusir) meskipun ia ada dipihak yang benar dengan mendapatkan rumah di jannah terendah dan bagi orang yang baik akhlaqnya akan mendapatkan rumah di jannah yang tertinggi” (hadits riwayat Abu Daud/4800, Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal, dengan sanad yang hasan)

Hadits lainnya yaitu dari Abu Huroiroh Rodliyallohu ‘anhu bahwasannya Rosululloh Saw pernah ditanya tentang perbuatan yang menyebabkan banyak manusia yang masuk Jannah, maka beliau menjawab yang artinya “Takwa kepada Alloh dan akhlaq yang baik”, beliau ditanya pula tentang penyebab yang menjadikan banyak manusia masuk neraka, maka beliau menjawab “mulut dan kemaluan” (diriwayatkan Tirmidzi (2003), Ibnu Majah (4246), Ahmad (2/291, 392, 442), Ibnu Hibban (Mawarid, 1923), Al Baghowi (Ma’alim At Tanziil, 4/377 dan Syarhu As Sunnah 13/79-80, Al Khoroithi (Makarimul Akhlaq hal. 10), dan Bukhori (Al Adab Al Mufrod, 442). Sanad hadits ini hasan

2. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Hamba-hamba Alloh yang paling dicintai-Nya adalah yang paling baik akhlaqnya diantara mereka” (hadits riwayat Thabrani (471) dan Hakim (4/399-401)

3. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai

Rosululloh Saw. Beliau Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat dengan majelisnya dariku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya diantara kalian” (hadits riwayat Tirmidzi (2018) dengan sanad yang hasan, dan memiliki penguat yang diriwayatkan Imam Ahmad (2/189) dengan sanad yang shohih, sehingga kesimpulannya hadits ini shohih lighoirihi)

4. Akhlaq yang mulia mendapatkan timbangan yang paling berat di hari kiamat.

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesuatu yang paling berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat adalah akhlaq yang baik” (hadits riwayat Abu Daud (4799), Ahmad (6/446-448), Ibnu Hibban (481) dan selain mereka)

5. Akhlaq yang mulia meninggikan derajat seseorang disisi Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya seseorang itu dengan sebab akhlaqnya yang baik, sungguh akan mencapai derajat orang yang sholat malam dan shaum di siang hari” (hadits shohih riwayat Abu Daud (4798), Hakim (1/60) dan selainnya). Beliau Saw juga bersabda yang artinya “Sesungguhnya seorang muslim yang dibimbing lurus (oleh Alloh) benar-benar akan mencapai derajat ahli shaum dan ahli ibadah (sholat) yang selalu melantunkan ayat-ayat Alloh disebabkan karakternya yang mulia dan akhlaqnya yang baik” (hadits shohih riwayat Ahmad (2/17 dan 220)

6. Akhlaq yang mulia merupakan sebaik-baik amalan manusia

Rosululloh Saw bersabda yang artinya ” Wahai Abu Dzar, maukah aku tunjukkan kepadamu dua hal ; keduanya itu sangat ringan dipikul dan sangat berat dalam timbangan dibandingkan selain keduanya?” Abu Dzar menjawab, “Tentu wahai Rosululloh.”, beliau bersabda, “Engkau harus berakhlaq yang baik dan harus banyak diam, demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak ada amalan manusia yang menyamai keduanya.” (diriwatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam As Shamt (112 dan 554), Al Bazzar (Kasyful Atsar, 4/220) dan lain-lain. Hadits ini derajatnya hasan

7. Akhlaq yang mulia menambah umur

8. Akhlaq yang mulia menjadikan rumah makmur

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Akhlaq yang baik dan bertetangga yang baik, keduanya menjadikan rumah makmur dan menambah umur” (hadits shohih riwayat Ahmad, 6/159)

Dari uraian tentang definisi dan keutamaan akhlaq diatas, semoga menjadikan kita dapat mengerti tentang akhlaq menurut ahli ‘ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ‘ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan tentang hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatingg, Yang ada di atas Arsy sana, Yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya yaitu Alloh Subhanahu wa Ta’alaa, Dialah Pencipta manusia, sehingga hanya Dialah yang Mahatahu tentang apa yang terbaik buat para hamba-Nya sehingga Dia memerintahkannya melalui KalamNya yang mulia yaitu Al Quran dan melalui lisan utusannya yang mulia yaitu Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam

Sumber : www.dakwatuna.com

Rabu, 24 Maret 2010

Menggapai Kemuliaan Akhlaq

dakwatanua.com - Akhlaq menurut ahli ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatinggi, Allah swt.

I. Definisi Akhlaq

Beberapa definisi akhlaq antara lain adalah :

1. Menurut Ibnu Abbas Ra ketika menafsirkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’alaa dalam surat Al Qolam ayat 4 yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlaq yang agung”, akhlaq yang agung tersebut adalah dien yang agung (Islam).

Demikian pula pendapat Mujahid, Abu Malik, As Suddi, Rabi bin Anas, Ad Dhahak, dan Ibnu Zaid. Didalam Shohih Muslim, Aisyah ra pernah ditanya tentang akhlaq Nabi Saw, lalu beliau menjawab bahwa akhlaq Beliau Saw adalah Al Quran, karena segala perintah yang terdapat didalam Al Quran beliau laksanakan dan segala larangan yang terdapat didalamnya beliau tinggalkan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali berkata “Dengan ini menjadi jelas bahwa akhlaq yang agung dimana Nabi disifati dengannya adalah dien yang mencakup semua perintah-perintah Alloh Ta’alaa dan larangan-Nya, sehingga bersegera untuk melaksanakan segala yang dicintai Alloh dan di ridloi-Nya dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya dengan sukarela dan lapang dada” (Makarimul Akhlaq/23) .

2. Ibnul Atsir menyebutkan dalam An Nihayah (2/70) tentang “al khuluqu” dan “al khulqu” yang berarti dien, tabiat dan sifat. Syaikh ‘Utsaimin menerangkan tentang hakikatnya adalah potret batin manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya (Makarimul Akhlaq, hal 9).

3. Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah menyebutkan beberapa pendapat tentang definisi akhlaq didalam bukunya Madarijus Saalikin antara lain akhlaq yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tangguh menghadapi penderitaan. Pendapat lain menyebutkan bahwa akhlaq yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan. Ada lagi yang mengatakan, “membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia”

4. Imam Ibnu Qudamah menyebutkan dalam Mukhtashor Minhajul Qoshidiin bahwa akhlaq merupakan ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah menghasilkan perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, jika perbuatan itu baik maka disebut akhlaq yang baik, dan jika buruk maka disebut akhlaq yang buruk.

II. Keutamaan akhlaq yang baik

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali menyebutkan keutamaan-keutamaan akhlaq yang mulia yaitu :

1. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab masuknya orang yang memiliki akhlaq yang mulia tersebut kedalam Jannah (surga)

Nabi Saw bersabda yang artinya “Saya adalah penjamin bagi orang yang meninggalkan mira (debat kusir) meskipun ia ada dipihak yang benar dengan mendapatkan rumah di jannah terendah dan bagi orang yang baik akhlaqnya akan mendapatkan rumah di jannah yang tertinggi” (hadits riwayat Abu Daud/4800, Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal, dengan sanad yang hasan)

Hadits lainnya yaitu dari Abu Huroiroh Rodliyallohu ‘anhu bahwasannya Rosululloh Saw pernah ditanya tentang perbuatan yang menyebabkan banyak manusia yang masuk Jannah, maka beliau menjawab yang artinya “Takwa kepada Alloh dan akhlaq yang baik”, beliau ditanya pula tentang penyebab yang menjadikan banyak manusia masuk neraka, maka beliau menjawab “mulut dan kemaluan” (diriwayatkan Tirmidzi (2003), Ibnu Majah (4246), Ahmad (2/291, 392, 442), Ibnu Hibban (Mawarid, 1923), Al Baghowi (Ma’alim At Tanziil, 4/377 dan Syarhu As Sunnah 13/79-80, Al Khoroithi (Makarimul Akhlaq hal. 10), dan Bukhori (Al Adab Al Mufrod, 442). Sanad hadits ini hasan

2. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Hamba-hamba Alloh yang paling dicintai-Nya adalah yang paling baik akhlaqnya diantara mereka” (hadits riwayat Thabrani (471) dan Hakim (4/399-401)

3. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai

Rosululloh Saw. Beliau Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat dengan majelisnya dariku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya diantara kalian” (hadits riwayat Tirmidzi (2018) dengan sanad yang hasan, dan memiliki penguat yang diriwayatkan Imam Ahmad (2/189) dengan sanad yang shohih, sehingga kesimpulannya hadits ini shohih lighoirihi)

4. Akhlaq yang mulia mendapatkan timbangan yang paling berat di hari kiamat.

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesuatu yang paling berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat adalah akhlaq yang baik” (hadits riwayat Abu Daud (4799), Ahmad (6/446-448), Ibnu Hibban (481) dan selain mereka)

5. Akhlaq yang mulia meninggikan derajat seseorang disisi Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya seseorang itu dengan sebab akhlaqnya yang baik, sungguh akan mencapai derajat orang yang sholat malam dan shaum di siang hari” (hadits shohih riwayat Abu Daud (4798), Hakim (1/60) dan selainnya). Beliau Saw juga bersabda yang artinya “Sesungguhnya seorang muslim yang dibimbing lurus (oleh Alloh) benar-benar akan mencapai derajat ahli shaum dan ahli ibadah (sholat) yang selalu melantunkan ayat-ayat Alloh disebabkan karakternya yang mulia dan akhlaqnya yang baik” (hadits shohih riwayat Ahmad (2/17 dan 220)

6. Akhlaq yang mulia merupakan sebaik-baik amalan manusia

Rosululloh Saw bersabda yang artinya ” Wahai Abu Dzar, maukah aku tunjukkan kepadamu dua hal ; keduanya itu sangat ringan dipikul dan sangat berat dalam timbangan dibandingkan selain keduanya?” Abu Dzar menjawab, “Tentu wahai Rosululloh.”, beliau bersabda, “Engkau harus berakhlaq yang baik dan harus banyak diam, demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak ada amalan manusia yang menyamai keduanya.” (diriwatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam As Shamt (112 dan 554), Al Bazzar (Kasyful Atsar, 4/220) dan lain-lain. Hadits ini derajatnya hasan

7. Akhlaq yang mulia menambah umur

8. Akhlaq yang mulia menjadikan rumah makmur

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Akhlaq yang baik dan bertetangga yang baik, keduanya menjadikan rumah makmur dan menambah umur” (hadits shohih riwayat Ahmad, 6/159)

Dari uraian tentang definisi dan keutamaan akhlaq diatas, semoga menjadikan kita dapat mengerti tentang akhlaq menurut ahli ‘ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ‘ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan tentang hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatingg, Yang ada di atas Arsy sana, Yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya yaitu Alloh Subhanahu wa Ta’alaa, Dialah Pencipta manusia, sehingga hanya Dialah yang Mahatahu tentang apa yang terbaik buat para hamba-Nya sehingga Dia memerintahkannya melalui KalamNya yang mulia yaitu Al Quran dan melalui lisan utusannya yang mulia yaitu Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam

Sumber : dakwatuna.com

Jumat, 12 Februari 2010

Wawasan Al-Quran

oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A.

SYUKUR (2/3)

Al-Quran, seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar
pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi
"al-hamdulillah."

Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji,
walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun
kepada yang lain.

Kata "al" pada "al-hamdulillah" oleh pakar-pakar bahasa
disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti "keseluruhan".
Sehingga kata "al-hamdu" yang ditujukan kepada Allah
mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala
pujian adalah Allah Swt., bahkan seluruh pujian harus tertuju
dan bermuara kepada-Nya.

Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, maka itu
berarti pada saat Anda memuji seseorang karena kebaikan atau
kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus
dikembalikan kepada Allah Swt., sebab kecantikan dan kebaikan
itu bersumber dari Allah.

Di sisi lain kalau pada 1ahirnya ada
perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kacamata
manusia dinilai "kurang baik", maka harus disadari bahwa
penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam
menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada
sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga
penilaiannya menjadi demikian. Walhasil, syukur dengan lidah
adalah "al- hamdulillah" (segala puji bagi Allah).

c. Syukur dengan perbuatan

Nabi Daud a.s. beserta putranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh
aneka nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga
Allah berpesan,

Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur! (QS
Saba [34]: 13).

Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang
diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau
penganugerahannya.

Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya
agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh
Allah. Ambillah sebagai contoh lautan yang diciptakan oleh
Allah Swt. Ditemukan dalam Al-Quran penjelasan tentang tujuan
penciptaannya melalui firman-Nya:

Dialah (Allah) yang menundukkan 1autan (untuk kamu) agar
kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan
(agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang
kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya,
dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah
disebut) semoga kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 14).

Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga
mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur untuk
mencari ikan-ikannya, mutiara dan hiasan yang lain, serta
menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal yang dapat
mengarunginya, bahkan aneka pemanfaatan yang dicakup oleh
kalimat "mencari karunia-~Nya".

Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah,

Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah
(nikmat-Ku) (QS Ibrahim [14]: 7)

Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap
jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin
yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dan
langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia?

Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa "Kalau
kamu kufur (tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak
menampakkan nikmatnya yang masih terpendam di perut bumi, di
dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya siksa-Ku amat
pedih."

Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat ini
adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi
tegas dan bersumber dari-Nya langsung (QS Ibrahim [14):7)
Tetapi akibat kekufuran hanya isyarat tentang siksa; itu pun
tidak ditegaskan bahwa ia pasti akan menimpa yang tidak
bersyukur(QS Ibrahim [14]:7).

Siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan
takut.

Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya
datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru,
tetapi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak
bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah (yang
terpendam). Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka
mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan
oleh perbuatan (ulah) yang selalu mereka lakukan (QS
An-Nahl [16]: 112).

Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah terjadi
terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, antara lain, kaum
Saba --satu suku bangsa yang hidup di Yaman dan yang pernah
dipimpin oleh seorang Ratu yang amat bijaksana, yaitu Ratu
Balqis Surat Saba (34): 15-19 menguraikan kisah mereka, yakni
satu masyarakat yang terjalin persatuan dan kesatuannya,
melimpah ruah rezekinya dan subur tanah airnya. Negeri
merekalah yang dilukiskan oleh Al-Quran dengan baldatun
thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Mereka pulalah yang diperintah
dalam ayat-ayat tersebut untuk bersyukur, tetapi mereka
berpaling dan enggan sehingga akhirnya mereka
berserak-serakkan, tanahnya berubah menjadi gersang,
komunikasi dan transportasi antar kota-kotanya yang tadinya
lancar menjadi terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah
bibir orang saja. Demikian uraian Al-Quran. Dalam konteks
keadaan mereka, Allah berfirman,

Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka
disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami
tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada
orang-orang yang kufur(QS Saba [34]: 17).

Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat populer:

Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)
untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku
amat pedih (QS Ibrahim [14]: 7).

KEMAMPUAN MANUSIA BERSYUKUR

Pada hakikatnya manusia tidak mampu untuk mensyukuri Allah
secara sempurna, baik dalam bentuk kalimat-kalimat pujian
apalagi dalam bentuk perbuatan. Karena itu ditemukan dua ayat
dalam Al-Quran yang menunjukkan betapa orang-orang yang dekat
kepada-Nya sekalipun, tetap bermohon agar dibimbing, diilhami
dan diberi kemampuan untuk dapat mensyukuri nikmat-Nya.

Dia berdoa, "Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk
mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan
kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku, dan untuk
mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai..." (QS
An-Nam1 [27]: 19).

Ia berdoa, "Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku
dan kepada ibu-bapakku, dan supaya aku dapat berbuat
amal saleh yang engkau ridhai" (QS Al-Ahqaf [46]: 15).

Nabi Saw. juga berdoa dan mengajarkan doa itu untuk
dipanjatkan oleh umatnya,

Wahai Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur
untuk-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu.

Permohonan tersebut sangat diperlukan, paling tidak disebabkan
oleh dua hal:

Pertama, manusia tidak mampu mengetahui bagaimana cara yang
sebaik-baiknya untuk memuji Allah, dan karena itu pula Allah
mewahyukan kepada manusia pilihan-Nya kalimat yang sewajarnya
mereka ucapkan. Tidak kurang dari lima kali ditemukan dalam
Al-Quran perintah Allah yang berbunyi. Wa qul' "Alhamdulillah"
(Katakanlah, "Alhamdulillah").

Mengapa manusia tidak mampu untuk memuji-Nya? Ini disebabkan
karena pujian yang benar menuntut pengetahuan yang benar pula
tentang siapa yang dipuji. Tetapi karena pengetahuan manusia
tidak mungkin menjangkau hakikat Allah Swt., maka tidak
mungkin pula ia akan mampu memuja dan me~nuji-Nya dengan benar
sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

Mahasuci Engkau, Kami tidak mampu melukiskan pujian
untuk-Mu, karena itu (pujian) kami sebagaimana pujian-Mu
terhadap diri-Mu.

Atas dasar ini, maka seringkali pujian yang dipersembahkan
kepada Allah, didahului oleh kata "Subhana" atau yang seakar
dengan kata itu. Perhatikanlah firman-Nya dalam surat
Asy-Syura ayat 5:

Para malaikat bertasbih sambil memuji Tuhan mereka.

Atau dalam surat Ar-Ra'd (13): 13:

Guntur bertasbih sambil memuji-Nya.

Bahkan manusia pun di dalam shalat mendahulukan "tasbih"
(pensucian Tuhan dari segala kekurangan) atas "hamd" (pujian),
karena khawatir jangan sampai pujian yang diucapkan itu tak
sesuai dengan keagungan-Nya. "Subhana Rabbiyal 'Azhim wa bi
hamdihi" ketika rukuk, dan "Subhana Rabbiyal 'Ala wa bi
hamdihi" ketika sujud.

Alasan kedua mengapa kita memohon petunjuk-Nya untuk bersyukur
adalah karena setan selalu menggoda manusia yang targetnya
antara lain adalah mengalihkan mereka dari bersyukur kepada
Allah. Surat Al-A'raf ayat 17 menguraikan sumpah setan di
hadapan Allah untuk menggoda dan merayu manusia dari arah
depan, belakang, kiri, dan kanan mereka sehingga akhirnya
seperti ucap setan yang diabadikan Al-Quran "Engkau -(Wahai
Allah)- tidak menemukan kebanyakan mereka bersyukur".

Sedikitnya makhluk Allah yang pandai bersyukur ditegaskan
berkali-kali oleh Al-Quran, secara langsung oleh Allah sendiri
seperti firman-Nya:

Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia,
tetapi kebanyakan manusia tida1k bersyukur (QS
Al-Baqarah [2]: 243).

Dalam ayat lain disebutkan:

Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada
Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
bersyukur (QS Saba' [34]: 13) .

Hakikat yang sama diakui pula oleh hamba-hamba pilihan-Nya
seperti yang diabadikan Al-Quran dari ucapan Nabi Yusuf a.s.,

Kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Yusuf [12]: 38).

Hakikat di atas tercermin juga dari penggunaan kata syukur
sebagai sifat dari hamba Allah. Hanya dua orang dari mereka
yang disebut oleh Al-Quran sebagai hamba Allah yang telah
membudaya dalam dirinya sifat syukur, yaitu Nabi Nuh a.s. yang
dinyatakan-Nya sebagai "Innahu kanna 'abdan syakura"
(Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur)
(QS Al-Isra' [17]: 3), dan Nabi Ibrahim a.s. dengan
firman-Nya, "Syakiran li an'umihi" (yang mensyukuri
nikmat-nikmat Allah) (QS An-Nahl [16): 12l).

Al-Quran menggarisbawahi bahwa biasanya kebanyakan manusia
hanya berjanji untuk bersyukur saat mereka menghadapi
kesulitan. Al-Quran menjelaskan sikap sementara orang yang
menghadapi gelombang yang dahsyat di laut:.

Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengihlaskan
ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata),
"Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari
bencana ini, maka pastilah kami akan termasuk
orang-orang yang bersyukur" (QS Yunus 110]: 22).

Demikian juga dalam surat Al-An'am (6): 63.

Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari
bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa
kepada-Nya dengan berendah dri dengan suara yang lembut
(dengan mengatakan): Sesungguhnya, jika Dia
menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami
menjadi bagian orang-orang yang bersyukur" (QS Al-An'am
[6]: 63).

APA YANG HARUS DISYUKURI?

Pada dasarnya segala nikmat yang diperoleh manusia harus
disyukurinya. Nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai
"segala sesuatu yang berlebih dari modal Anda". Adakah manusia
memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabannya, "Tidak". Bukankah
hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah?

Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa,
sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat
disebut? (QS Al-Insan [76]: 1).

Nikmat Allah demikian berlimpah ruah, sehingga Al-Quran
menyatakan,

Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya
kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS Ibrahim [14]:
34).

Al-Biqa'i dalam tafsirnya terhadap surat Al-Fatihah
mengemukakan bahwa "al-hamdulillah" dalam surat Al-Fatihah
menggambarkan segala anugerah Tuhan yang dapat dinikmati oleh
makhluk, khususnya manusia. Itulah sebabnya --tulisnya lebih
jauh-- empat surat lain yang juga dimulai dengan
al-hamdulillah masing-masing menggambarkan kelompok nikmat
Tuhan, sekaligus merupakan perincian dari kandungan nikmat
yang dicakup oleh kalimat al-hamdulillah dalam surat
Al-Fatihah itu. Karena Al-Fatihah adalah induk Al-Quran dan
kandungan ayat-ayatnya dirinci oleh ayat-ayat lain.

Keempat surat yang dimaksud adalah:

1. Al-An'am (surat ke-6) yang dimulai dengan,

Segala puji bagi Allah Yang te1ah menciptakan langit dan
bumi, dan mengadakan gelap dan terang.

Ayat ini mengisyaratkan nikmat wujud di dunia ini dengan
segala potensi yang dianugerahkan Allah baik di darat, laut,
maupun udara, serta gelap dan terang.

2. Al-Kahf (surat ke-18), yang dimulai dengan,

Segala puji bagi Allah yang te1ah menurunkan kepada
hamba-Nya Al-Kitab (Al-Quran), dan tidak membuat
kebengkokan (kekurangan) di dalamnya.

Di sini diisyaratkan nikmat-nikmat pemeliharaan Tuhan yang
dianugerahkannya secara aktual di dunia ini. Disebut pula
nikmat-Nya yang terbesar yaitu kehadiran Al-Quran di
tengah-tengah umat manusia, untuk "mewakili" nikmat-nikmat
pemeliharaan lainnya.

3. Saba' (surat ke-34), yang dimulai dengan,

Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya pula
segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetabui.

Ayat ini mengisyaratkan nikmat Tuhan di akhirat kelak, yakni
kehidupan baru setelah mengalami kematian di dunia, di mana
dengan kehadirannya di sana manusia dapat memperoleh
kenikmatan abadi.

4. Fathir (surat ke-35), yang dimulai dengan,

Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan untuk mengurus
berbagai macam urusan (di dunia dan di akhirat), yang
mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan
empat.

Ayat ini adalah isyarat tentang nikmat-nikmat abadi yang akan
dianugerahkan Allah kelak setelah mengalami hidup baru di
akhirat.

Setiap rincian yang terdapat dalam keempat kelompok nikmat
yang dicakup oleh keempat surat di atas, menuntut syukur
hamba-Nya baik dalam bentuk ucapan al-hamdulillah, maupun
pengakuan secara tulus dari lubuk hati, serta mengamalkan
perbuatan yang diridhai-Nya.

---------------- (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan

Sumber:via media.isnet.org


Selasa, 02 Februari 2010

Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A.

SYUKUR (1/3)

Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata
ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1)
rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan
lega, senang, dan sebagainya).

Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan
pengertiannya menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut
penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.

Dalam Al-Quran kata "syukur" dengan berbagai bentuknya
ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris
dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar
dari kata tersebut yaitu,

a. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh.
Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit
sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini
(syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan
sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan
Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan
barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh
subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.

b. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur
dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.

c. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).

d. Pernikahan, atau alat kelamin.



Agaknya kedua makna terakhir ini dapat dikembalikan dasar
pengertiannya kepada kedua makna terdahulu. Makna ketiga
sejalan dengan makna pertama yang mengambarkan kepuasan dengan
yang sedikit sekalipun, sedang makna keempat dengan makna
kedua, karena dengan pernikahan (alat kelamin) dapat
melahirkan banyak anak.

Makna-makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai
penyebab dan dampaknya, sehingga kata "syukur" mengisyaratkan
"Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, maka ia akan
memperoleh banyak, lebat, dan subur."

Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar
bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran,
bahwa kata "syukur" mengandung arti "gambaran dalam benak
tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan." Kata ini
--tulis Ar-Raghib-- menurut sementara ulama berasal dari kata
"syakara" yang berarti "membuka", sehingga ia merupakan lawan
dari kata "kafara" (kufur) yang berarti menutup --(salah satu
artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.

Makna yang dikemukakan pakar di atas dapat diperkuat dengan
beberapa ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan
kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim (14): 7:

Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)
untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku
amat pedih.

Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang
diabadikan Al-Quran:

Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku
apakah aku bersyukur atau kufur (QS An-Naml [27]: 40).

Hakikat syukur adalah "menampakkan nikmat," dan hakikat
kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara
lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang
dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan
pemberinya dengan lidah:

Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau
menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: ll).

Nabi Muhammad Saw. pun bersabda,

Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam
penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).

Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah, "Bersyukurlah
kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (QS
Al-Baqarah [2]: 152), menjelaskan bahwa ayat ini mengandung
perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh
kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Syukur orang
demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu,
ketika setan menyatakan bahwa, "Demi kemuliaan-Mu, Aku akan
menyesatkan mereka manusia) semuanya" (QS Shad [38]: 82),
dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, "kecuali
hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka" (QS Shad [38]:
83). Dalam QS Al-A'raf (7): 17 Iblis menyatakan, "Dan Engkau
tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka {manusia)
bersyukur." Kalimat "tidak akan menemukan" di sini serupa
maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti
bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang
mukhlish (tulus hatinya).

Dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:

a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas
anugerah.

b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan
memuji pemberinya.

c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah
yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.

Uraian Al-Quran tentang syukur mencakup sekian banyak aspek.
Berikut akan dikemukakan sebagian di antaranya.

SIAPA YANG HARUS DISYUKURI

Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan
kepada Allah Swt. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk
bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya,

Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).

Dalam QS Luqman (31): 12 dinyatakan:

Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada
Luqman hikmah, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan
barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk (manfaat) dirinya
sendiri."

Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada
Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah "alhamdulillah"
dalam arti "segala puji (hanya) tertuju kepada Allah," namun
ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka
yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah. Al-Quran secara
tegas memerintahkan agar mensyukuri Allah dan mensyukuri kedua
orang tua (yang menjadi perantara kehadiran kita di pentas
dunia ini.) Surat Luqman (31): 14 menjelaskan hal ini, yaitu
dengan firman-Nya:

Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada dua orang ibu
bapakmu; hanya kepada-Kulah kembalimu.

Walaupun Al-Quran hanya menyebut kedua orangtua --selain
Allah-- yang harus disyukuri, namun ini bukan berarti bahwa
selain mereka tidak boleh disyukuri.

Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak
mensyukuri Allah (Begitu bunyi suatu rtwayat yang
disandarkan kepada Rasul Saw).

MANFAAT SYUKUR BUKAN UNTUK TUHAN

Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur kembali
kepada orang yang bersyukur, sedang Allah Swt. sama sekali
tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikit pun dari
syukur makhluk-Nya.

Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan
barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka
sesungguhnya Tuhanku Mahakaya (tidak membutuhkan
sesuatu) lagi Mahamulia (QS An-Naml [27]: 40)

Karena itu pula, manusia yang meneladani Tuhan dalam
sifat-sifat-Nya, dan mencapai peringkat terpuji, adalah yang
memberi tanpa menanti syukur (balasan dari yang diberi) atau
ucapan terima kasih.

Al-Quran melukiskan bagaimana satu keluarga (menurut riwayat
adalah Ali bin Abi Thalib dan istrinya Fathimah putri
Rasulullah Saw.) memberikan makanan yang mereka rencanakan
menjadi makanan berbuka puasa mereka, kepada tiga orang yang
membutuhkan dan ketika itu mereka menyatakan bahwa,

Sesungguhnya kami memberi makanan untukmu hanyalah
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki
balasan darimu, dan tidak pula pujian (ucapan terima
kasih) (QS Al-Insan [76]: 9).

Walaupun manfaat syukur tidak sedikit pun tertuju kepada
Allah, namun karena kemurahan-Nya, Dia menyatakan diri-Nya
sebagai Syakirun 'Alim (QS Al-Baqarah [2]: 158), dan Syakiran
Alima (QS An-Nisa' [4]: 147), yang keduanya berarti, Maha
Bersyukur lagi Maha Mengetahui, dalam arti Allah akan
menganugerahkan tambahan nikmat berlipat ganda kepada makhluk
yang bersyukur. Syukur Allah ini antara lain dijelaskan oleh
firman-Nya dalam surat Ibrahim (14): 7 yang dikutip di atas.

BAGAIMANA CARA BERSYUKUR?

Di atas telah dijelaskan bahwa ada tiga sisi dari syukur,
yaitu dengan hati, lidah, dan anggota tubuh lainnya. Berikut
akan dirinci penjelasan tentang masing-masing sisi tersebut.

a. Syukur dengan hati

Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa
nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan
kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk
menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan
keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga
mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan,
dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahuya pujian
kepada-Nya. Qarun yang mengingkari keberhasilannya atas
bantuan Ilahi, dan menegaskan bahwa itu diperolehnya
semata-mata karena kemampuannya, dinilai oleh Al-Quran sebagai
kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya (Baca kisahnya dalam
surat Al-Qashash (28): 76-82).

Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa mala petaka
pun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu,
tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti
lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dari
sini syukur --seperti makna yang dikemukakan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang dikutip di atas-- diartikan oleh orang
yang bersyukur dengan "untung" (merasa lega, karena yang
dialami lebih ringan dari yang dapat terjadi).

Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan
tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada
Allah.

Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati,
yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar
nikmat yang dianugerahkan Allah. Bahkan sujud syukur dapat
dilakukan saat melihat penderitaan orang lain dengan
membandingkan keadaannya dengan keadaan orang yang sujud.
(Tentu saja sujud tersebut tidak dilakukan dihadapan si
penderita itu).

Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua anggota sujud
di lantai yakni dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan
kedua ujung jari kaki)--seperti melakukan sujud dalam shalat.
Hanya saja sujud syukur cukup dengan sekali sujud, bukan dua
kali sebagaimana dalam shalat. Karena sujud itu bukan bagian
dan shalat, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa sujud sah
walaupun dilakukan tanpa berwudu, karena sujud dapat dilakukan
sewaktu-waktu dan secara spontanitas. Namun tentunya akan
sangat baik bila melakukan sujud disertai dengan wudu.

b. Syukur dengan lidah

Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber
nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya.

---------------- (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan

Sumber : Media Isnet

Sabtu, 16 Januari 2010

Doa. Untuk Apa ?

Sejak alam barzah, manusia sudah didesain oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang mengakui adanya Alloh SWT Yang Maha Kuasa. (Q/7:172). Oleh karena itu naluri manusia cenderung mencari perlindungan kepada Yang Maha Kuat, terutama ketika sedang merasa terancam. Bukan hanya orang beragama, orang atheis pun ketika melepas prajuritnya ke medan perang, mereka mengucapkan “Semoga kalian menang”. Kalimat semoga adalah ungkapan religius, ungkapan doa, yakni mengharap campur tangan kekuatan gaib yang diyakini lebih besar dibanding kekuatan manusia

Dalam perspektif way of life seorang muslim, kehadiran manusia di muka bumi diberi status sebagai khalifah Alloh, sebagai wakil Allah yang diberi amanat untuk menegakkan kebenaran dalam kehidupan manusia untuk mencapai ridla Allah sebagai tujuan hidupnya. Untuk mencapai tujuan itu manusia diberi alat hidup, yaitu dirinya, fisik maupun psikis, dan harta atau alam yang memang disediakan Alloh SWT sebagai fasilitas. Dengan potensi itu manusia menjadi “makhluk” yang paling besar peluangnya untuk menjadi yang “terhebat” di muka bumi.

Akan tetapi di sisi lain, manusia juga diberi status oleh Allah sebagai `abdun, sebagai hamba, yang memiliki serba keterbatasan, dan Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali agar mereka mengakui dirinya sebagai `abdun, yang harus meng abdi, atau beribadah, menyembah kepada Sang Pencipta (Q/51:56). Inilah status kembar manusia di hadapan Alloh SWT. Di satu sisi manusia adalah besar, memiliki tanggung jawab dan kewenangan yang besar, karena menjadi wakil dari Alloh SWT yang Maha Besar. Di sisi lain manusia adalah kecil, karena ia tak lebih hanyalah seorang hamba yang lemah, terbatas dan hidupnya sangat bergantung kepada berbagai faktor.

Manusia akan menjadi kuat apabila ia menempel kepada kekuasaan Alloh SWT Yang Maha Kuat. Ia selalu berkata bahwa tiada daya dan kekuatan yang efektif tanpa seizin Allah yang Maha Agung, La haula wala quwwata illa billah al `Aliyy al `Azim. Sebaliknya manusia akan diperdaya dan dipermainkan oleh perbuatan sendiri yang menipu, jika ia jauh dari ridla dan rahmat Allah. Allah akan mengangkat martabat manusia yang rendah hati, dan akan menjatuhkan ke dalam kehinaan terhadap manusia yang menyombongkan diri. Di sinilah medan seni antara usaha dan doa.

Di satu sisi, Al Qur’an banyak sekali memerintahkan manusia agar bekerja dan berusaha, tetapi di sisi lain Al Qur’an juga memerintahkan agar orang bertawakkal (berpasrah diri kepada Allah) atas hasil dari pekerjaan dan usahanya. Disamping menyuruh bekerja, Al Qur’an juga menyuruh untuk berdoa kepada Allah, disertai jaminan bahwa Allah akan mengabulkan doa manusia (Q/40:60), karena Allah memang mendengarkan doa-doa hambanya (Q/14:39). Kata Nabi, doa adalah sumsumnya ibadah.

Dalam realita kehidupan, sebagaimana yang sedang melanda bangsa Indonesia dewasa ini, bisa terjadi, banyaknya tentara tidak menjamin ketahanan nasional, banyaknya polisi tidak menjamin keamanan, banyaknya sumberdaya alam tidak menjamin kemakmuran, banyaknya orang pandai tidak menjamin keberhasilan. Dalam perspektif tasauf bahkan dikatakan, penentu keberhasilan pembangunan suatu bangsa bukan ditentukan oleh unsur-unsur bangsa tersebut diatas, tetapi oleh doa seorang hamba yang dekat dengan Alloh SWT.

Kata sebuah hadis, bahwa di muka bumi ini ada beberapa orang yang performennya “kumuh”, tidak memiliki status sosial, tetapi jika ia sudah menengadahkan tangannya kepada Alloh SWT, maka doanya itulah yang signifikan menyelesaikan masalah bangsa, bukan oleh elit-elit bangsa (in aqsama `alallah la abarrahu). Siapakah orang itu? Kata hadis tersebut, dia adalah orang baik yang takwa, tetapi ia menyembunyikan identitas sebenarnya. Jika dia berada di dekat kita, tak seorangpun yang mengenalnya, tetapi jika ia tidak ada, maka ia selalu dicari-cari.

Fenomena politik Indonesia mengenal ada doa politik, ada istighotsah kubra dan doa-doa massal lainnya, yang tujuannya mencari solusi spiritual atas problem bangsa yang rumit. Mengapa doa-doa tersebut sepertinya tak didengar Alloh SWT? Inilah yang harus menjadi renungan kita bersama-sama, jangan-jangan doa yang kita panjatkan tidak ikhlas, atau melanggar koridor sunnatullah, atau tidak memenuhi adabnya? Wallohu a‘lam

Sumber : Mubarok Institute