Jumat, 12 Februari 2010

Wawasan Al-Quran

oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A.

SYUKUR (2/3)

Al-Quran, seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar
pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi
"al-hamdulillah."

Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji,
walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun
kepada yang lain.

Kata "al" pada "al-hamdulillah" oleh pakar-pakar bahasa
disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti "keseluruhan".
Sehingga kata "al-hamdu" yang ditujukan kepada Allah
mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala
pujian adalah Allah Swt., bahkan seluruh pujian harus tertuju
dan bermuara kepada-Nya.

Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, maka itu
berarti pada saat Anda memuji seseorang karena kebaikan atau
kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus
dikembalikan kepada Allah Swt., sebab kecantikan dan kebaikan
itu bersumber dari Allah.

Di sisi lain kalau pada 1ahirnya ada
perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kacamata
manusia dinilai "kurang baik", maka harus disadari bahwa
penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam
menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada
sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga
penilaiannya menjadi demikian. Walhasil, syukur dengan lidah
adalah "al- hamdulillah" (segala puji bagi Allah).

c. Syukur dengan perbuatan

Nabi Daud a.s. beserta putranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh
aneka nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga
Allah berpesan,

Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur! (QS
Saba [34]: 13).

Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang
diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau
penganugerahannya.

Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya
agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh
Allah. Ambillah sebagai contoh lautan yang diciptakan oleh
Allah Swt. Ditemukan dalam Al-Quran penjelasan tentang tujuan
penciptaannya melalui firman-Nya:

Dialah (Allah) yang menundukkan 1autan (untuk kamu) agar
kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan
(agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang
kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya,
dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah
disebut) semoga kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 14).

Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga
mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur untuk
mencari ikan-ikannya, mutiara dan hiasan yang lain, serta
menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal yang dapat
mengarunginya, bahkan aneka pemanfaatan yang dicakup oleh
kalimat "mencari karunia-~Nya".

Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah,

Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah
(nikmat-Ku) (QS Ibrahim [14]: 7)

Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap
jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin
yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dan
langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia?

Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa "Kalau
kamu kufur (tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak
menampakkan nikmatnya yang masih terpendam di perut bumi, di
dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya siksa-Ku amat
pedih."

Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat ini
adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi
tegas dan bersumber dari-Nya langsung (QS Ibrahim [14):7)
Tetapi akibat kekufuran hanya isyarat tentang siksa; itu pun
tidak ditegaskan bahwa ia pasti akan menimpa yang tidak
bersyukur(QS Ibrahim [14]:7).

Siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan
takut.

Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya
datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru,
tetapi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak
bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah (yang
terpendam). Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka
mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan
oleh perbuatan (ulah) yang selalu mereka lakukan (QS
An-Nahl [16]: 112).

Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah terjadi
terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, antara lain, kaum
Saba --satu suku bangsa yang hidup di Yaman dan yang pernah
dipimpin oleh seorang Ratu yang amat bijaksana, yaitu Ratu
Balqis Surat Saba (34): 15-19 menguraikan kisah mereka, yakni
satu masyarakat yang terjalin persatuan dan kesatuannya,
melimpah ruah rezekinya dan subur tanah airnya. Negeri
merekalah yang dilukiskan oleh Al-Quran dengan baldatun
thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Mereka pulalah yang diperintah
dalam ayat-ayat tersebut untuk bersyukur, tetapi mereka
berpaling dan enggan sehingga akhirnya mereka
berserak-serakkan, tanahnya berubah menjadi gersang,
komunikasi dan transportasi antar kota-kotanya yang tadinya
lancar menjadi terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah
bibir orang saja. Demikian uraian Al-Quran. Dalam konteks
keadaan mereka, Allah berfirman,

Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka
disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami
tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada
orang-orang yang kufur(QS Saba [34]: 17).

Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat populer:

Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)
untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku
amat pedih (QS Ibrahim [14]: 7).

KEMAMPUAN MANUSIA BERSYUKUR

Pada hakikatnya manusia tidak mampu untuk mensyukuri Allah
secara sempurna, baik dalam bentuk kalimat-kalimat pujian
apalagi dalam bentuk perbuatan. Karena itu ditemukan dua ayat
dalam Al-Quran yang menunjukkan betapa orang-orang yang dekat
kepada-Nya sekalipun, tetap bermohon agar dibimbing, diilhami
dan diberi kemampuan untuk dapat mensyukuri nikmat-Nya.

Dia berdoa, "Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk
mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan
kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku, dan untuk
mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai..." (QS
An-Nam1 [27]: 19).

Ia berdoa, "Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku
dan kepada ibu-bapakku, dan supaya aku dapat berbuat
amal saleh yang engkau ridhai" (QS Al-Ahqaf [46]: 15).

Nabi Saw. juga berdoa dan mengajarkan doa itu untuk
dipanjatkan oleh umatnya,

Wahai Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur
untuk-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu.

Permohonan tersebut sangat diperlukan, paling tidak disebabkan
oleh dua hal:

Pertama, manusia tidak mampu mengetahui bagaimana cara yang
sebaik-baiknya untuk memuji Allah, dan karena itu pula Allah
mewahyukan kepada manusia pilihan-Nya kalimat yang sewajarnya
mereka ucapkan. Tidak kurang dari lima kali ditemukan dalam
Al-Quran perintah Allah yang berbunyi. Wa qul' "Alhamdulillah"
(Katakanlah, "Alhamdulillah").

Mengapa manusia tidak mampu untuk memuji-Nya? Ini disebabkan
karena pujian yang benar menuntut pengetahuan yang benar pula
tentang siapa yang dipuji. Tetapi karena pengetahuan manusia
tidak mungkin menjangkau hakikat Allah Swt., maka tidak
mungkin pula ia akan mampu memuja dan me~nuji-Nya dengan benar
sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

Mahasuci Engkau, Kami tidak mampu melukiskan pujian
untuk-Mu, karena itu (pujian) kami sebagaimana pujian-Mu
terhadap diri-Mu.

Atas dasar ini, maka seringkali pujian yang dipersembahkan
kepada Allah, didahului oleh kata "Subhana" atau yang seakar
dengan kata itu. Perhatikanlah firman-Nya dalam surat
Asy-Syura ayat 5:

Para malaikat bertasbih sambil memuji Tuhan mereka.

Atau dalam surat Ar-Ra'd (13): 13:

Guntur bertasbih sambil memuji-Nya.

Bahkan manusia pun di dalam shalat mendahulukan "tasbih"
(pensucian Tuhan dari segala kekurangan) atas "hamd" (pujian),
karena khawatir jangan sampai pujian yang diucapkan itu tak
sesuai dengan keagungan-Nya. "Subhana Rabbiyal 'Azhim wa bi
hamdihi" ketika rukuk, dan "Subhana Rabbiyal 'Ala wa bi
hamdihi" ketika sujud.

Alasan kedua mengapa kita memohon petunjuk-Nya untuk bersyukur
adalah karena setan selalu menggoda manusia yang targetnya
antara lain adalah mengalihkan mereka dari bersyukur kepada
Allah. Surat Al-A'raf ayat 17 menguraikan sumpah setan di
hadapan Allah untuk menggoda dan merayu manusia dari arah
depan, belakang, kiri, dan kanan mereka sehingga akhirnya
seperti ucap setan yang diabadikan Al-Quran "Engkau -(Wahai
Allah)- tidak menemukan kebanyakan mereka bersyukur".

Sedikitnya makhluk Allah yang pandai bersyukur ditegaskan
berkali-kali oleh Al-Quran, secara langsung oleh Allah sendiri
seperti firman-Nya:

Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia,
tetapi kebanyakan manusia tida1k bersyukur (QS
Al-Baqarah [2]: 243).

Dalam ayat lain disebutkan:

Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada
Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
bersyukur (QS Saba' [34]: 13) .

Hakikat yang sama diakui pula oleh hamba-hamba pilihan-Nya
seperti yang diabadikan Al-Quran dari ucapan Nabi Yusuf a.s.,

Kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Yusuf [12]: 38).

Hakikat di atas tercermin juga dari penggunaan kata syukur
sebagai sifat dari hamba Allah. Hanya dua orang dari mereka
yang disebut oleh Al-Quran sebagai hamba Allah yang telah
membudaya dalam dirinya sifat syukur, yaitu Nabi Nuh a.s. yang
dinyatakan-Nya sebagai "Innahu kanna 'abdan syakura"
(Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur)
(QS Al-Isra' [17]: 3), dan Nabi Ibrahim a.s. dengan
firman-Nya, "Syakiran li an'umihi" (yang mensyukuri
nikmat-nikmat Allah) (QS An-Nahl [16): 12l).

Al-Quran menggarisbawahi bahwa biasanya kebanyakan manusia
hanya berjanji untuk bersyukur saat mereka menghadapi
kesulitan. Al-Quran menjelaskan sikap sementara orang yang
menghadapi gelombang yang dahsyat di laut:.

Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengihlaskan
ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata),
"Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari
bencana ini, maka pastilah kami akan termasuk
orang-orang yang bersyukur" (QS Yunus 110]: 22).

Demikian juga dalam surat Al-An'am (6): 63.

Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari
bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa
kepada-Nya dengan berendah dri dengan suara yang lembut
(dengan mengatakan): Sesungguhnya, jika Dia
menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami
menjadi bagian orang-orang yang bersyukur" (QS Al-An'am
[6]: 63).

APA YANG HARUS DISYUKURI?

Pada dasarnya segala nikmat yang diperoleh manusia harus
disyukurinya. Nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai
"segala sesuatu yang berlebih dari modal Anda". Adakah manusia
memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabannya, "Tidak". Bukankah
hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah?

Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa,
sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat
disebut? (QS Al-Insan [76]: 1).

Nikmat Allah demikian berlimpah ruah, sehingga Al-Quran
menyatakan,

Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya
kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS Ibrahim [14]:
34).

Al-Biqa'i dalam tafsirnya terhadap surat Al-Fatihah
mengemukakan bahwa "al-hamdulillah" dalam surat Al-Fatihah
menggambarkan segala anugerah Tuhan yang dapat dinikmati oleh
makhluk, khususnya manusia. Itulah sebabnya --tulisnya lebih
jauh-- empat surat lain yang juga dimulai dengan
al-hamdulillah masing-masing menggambarkan kelompok nikmat
Tuhan, sekaligus merupakan perincian dari kandungan nikmat
yang dicakup oleh kalimat al-hamdulillah dalam surat
Al-Fatihah itu. Karena Al-Fatihah adalah induk Al-Quran dan
kandungan ayat-ayatnya dirinci oleh ayat-ayat lain.

Keempat surat yang dimaksud adalah:

1. Al-An'am (surat ke-6) yang dimulai dengan,

Segala puji bagi Allah Yang te1ah menciptakan langit dan
bumi, dan mengadakan gelap dan terang.

Ayat ini mengisyaratkan nikmat wujud di dunia ini dengan
segala potensi yang dianugerahkan Allah baik di darat, laut,
maupun udara, serta gelap dan terang.

2. Al-Kahf (surat ke-18), yang dimulai dengan,

Segala puji bagi Allah yang te1ah menurunkan kepada
hamba-Nya Al-Kitab (Al-Quran), dan tidak membuat
kebengkokan (kekurangan) di dalamnya.

Di sini diisyaratkan nikmat-nikmat pemeliharaan Tuhan yang
dianugerahkannya secara aktual di dunia ini. Disebut pula
nikmat-Nya yang terbesar yaitu kehadiran Al-Quran di
tengah-tengah umat manusia, untuk "mewakili" nikmat-nikmat
pemeliharaan lainnya.

3. Saba' (surat ke-34), yang dimulai dengan,

Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya pula
segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetabui.

Ayat ini mengisyaratkan nikmat Tuhan di akhirat kelak, yakni
kehidupan baru setelah mengalami kematian di dunia, di mana
dengan kehadirannya di sana manusia dapat memperoleh
kenikmatan abadi.

4. Fathir (surat ke-35), yang dimulai dengan,

Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan untuk mengurus
berbagai macam urusan (di dunia dan di akhirat), yang
mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan
empat.

Ayat ini adalah isyarat tentang nikmat-nikmat abadi yang akan
dianugerahkan Allah kelak setelah mengalami hidup baru di
akhirat.

Setiap rincian yang terdapat dalam keempat kelompok nikmat
yang dicakup oleh keempat surat di atas, menuntut syukur
hamba-Nya baik dalam bentuk ucapan al-hamdulillah, maupun
pengakuan secara tulus dari lubuk hati, serta mengamalkan
perbuatan yang diridhai-Nya.

---------------- (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan

Sumber:via media.isnet.org


Selasa, 02 Februari 2010

Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A.

SYUKUR (1/3)

Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata
ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1)
rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan
lega, senang, dan sebagainya).

Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan
pengertiannya menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut
penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.

Dalam Al-Quran kata "syukur" dengan berbagai bentuknya
ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris
dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar
dari kata tersebut yaitu,

a. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh.
Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit
sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini
(syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan
sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan
Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan
barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh
subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.

b. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur
dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.

c. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).

d. Pernikahan, atau alat kelamin.



Agaknya kedua makna terakhir ini dapat dikembalikan dasar
pengertiannya kepada kedua makna terdahulu. Makna ketiga
sejalan dengan makna pertama yang mengambarkan kepuasan dengan
yang sedikit sekalipun, sedang makna keempat dengan makna
kedua, karena dengan pernikahan (alat kelamin) dapat
melahirkan banyak anak.

Makna-makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai
penyebab dan dampaknya, sehingga kata "syukur" mengisyaratkan
"Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, maka ia akan
memperoleh banyak, lebat, dan subur."

Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar
bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran,
bahwa kata "syukur" mengandung arti "gambaran dalam benak
tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan." Kata ini
--tulis Ar-Raghib-- menurut sementara ulama berasal dari kata
"syakara" yang berarti "membuka", sehingga ia merupakan lawan
dari kata "kafara" (kufur) yang berarti menutup --(salah satu
artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.

Makna yang dikemukakan pakar di atas dapat diperkuat dengan
beberapa ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan
kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim (14): 7:

Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)
untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku
amat pedih.

Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang
diabadikan Al-Quran:

Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku
apakah aku bersyukur atau kufur (QS An-Naml [27]: 40).

Hakikat syukur adalah "menampakkan nikmat," dan hakikat
kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara
lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang
dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan
pemberinya dengan lidah:

Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau
menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: ll).

Nabi Muhammad Saw. pun bersabda,

Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam
penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).

Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah, "Bersyukurlah
kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (QS
Al-Baqarah [2]: 152), menjelaskan bahwa ayat ini mengandung
perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh
kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Syukur orang
demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu,
ketika setan menyatakan bahwa, "Demi kemuliaan-Mu, Aku akan
menyesatkan mereka manusia) semuanya" (QS Shad [38]: 82),
dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, "kecuali
hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka" (QS Shad [38]:
83). Dalam QS Al-A'raf (7): 17 Iblis menyatakan, "Dan Engkau
tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka {manusia)
bersyukur." Kalimat "tidak akan menemukan" di sini serupa
maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti
bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang
mukhlish (tulus hatinya).

Dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:

a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas
anugerah.

b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan
memuji pemberinya.

c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah
yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.

Uraian Al-Quran tentang syukur mencakup sekian banyak aspek.
Berikut akan dikemukakan sebagian di antaranya.

SIAPA YANG HARUS DISYUKURI

Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan
kepada Allah Swt. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk
bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya,

Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).

Dalam QS Luqman (31): 12 dinyatakan:

Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada
Luqman hikmah, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan
barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk (manfaat) dirinya
sendiri."

Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada
Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah "alhamdulillah"
dalam arti "segala puji (hanya) tertuju kepada Allah," namun
ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka
yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah. Al-Quran secara
tegas memerintahkan agar mensyukuri Allah dan mensyukuri kedua
orang tua (yang menjadi perantara kehadiran kita di pentas
dunia ini.) Surat Luqman (31): 14 menjelaskan hal ini, yaitu
dengan firman-Nya:

Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada dua orang ibu
bapakmu; hanya kepada-Kulah kembalimu.

Walaupun Al-Quran hanya menyebut kedua orangtua --selain
Allah-- yang harus disyukuri, namun ini bukan berarti bahwa
selain mereka tidak boleh disyukuri.

Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak
mensyukuri Allah (Begitu bunyi suatu rtwayat yang
disandarkan kepada Rasul Saw).

MANFAAT SYUKUR BUKAN UNTUK TUHAN

Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur kembali
kepada orang yang bersyukur, sedang Allah Swt. sama sekali
tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikit pun dari
syukur makhluk-Nya.

Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan
barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka
sesungguhnya Tuhanku Mahakaya (tidak membutuhkan
sesuatu) lagi Mahamulia (QS An-Naml [27]: 40)

Karena itu pula, manusia yang meneladani Tuhan dalam
sifat-sifat-Nya, dan mencapai peringkat terpuji, adalah yang
memberi tanpa menanti syukur (balasan dari yang diberi) atau
ucapan terima kasih.

Al-Quran melukiskan bagaimana satu keluarga (menurut riwayat
adalah Ali bin Abi Thalib dan istrinya Fathimah putri
Rasulullah Saw.) memberikan makanan yang mereka rencanakan
menjadi makanan berbuka puasa mereka, kepada tiga orang yang
membutuhkan dan ketika itu mereka menyatakan bahwa,

Sesungguhnya kami memberi makanan untukmu hanyalah
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki
balasan darimu, dan tidak pula pujian (ucapan terima
kasih) (QS Al-Insan [76]: 9).

Walaupun manfaat syukur tidak sedikit pun tertuju kepada
Allah, namun karena kemurahan-Nya, Dia menyatakan diri-Nya
sebagai Syakirun 'Alim (QS Al-Baqarah [2]: 158), dan Syakiran
Alima (QS An-Nisa' [4]: 147), yang keduanya berarti, Maha
Bersyukur lagi Maha Mengetahui, dalam arti Allah akan
menganugerahkan tambahan nikmat berlipat ganda kepada makhluk
yang bersyukur. Syukur Allah ini antara lain dijelaskan oleh
firman-Nya dalam surat Ibrahim (14): 7 yang dikutip di atas.

BAGAIMANA CARA BERSYUKUR?

Di atas telah dijelaskan bahwa ada tiga sisi dari syukur,
yaitu dengan hati, lidah, dan anggota tubuh lainnya. Berikut
akan dirinci penjelasan tentang masing-masing sisi tersebut.

a. Syukur dengan hati

Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa
nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan
kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk
menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan
keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga
mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan,
dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahuya pujian
kepada-Nya. Qarun yang mengingkari keberhasilannya atas
bantuan Ilahi, dan menegaskan bahwa itu diperolehnya
semata-mata karena kemampuannya, dinilai oleh Al-Quran sebagai
kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya (Baca kisahnya dalam
surat Al-Qashash (28): 76-82).

Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa mala petaka
pun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu,
tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti
lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dari
sini syukur --seperti makna yang dikemukakan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang dikutip di atas-- diartikan oleh orang
yang bersyukur dengan "untung" (merasa lega, karena yang
dialami lebih ringan dari yang dapat terjadi).

Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan
tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada
Allah.

Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati,
yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar
nikmat yang dianugerahkan Allah. Bahkan sujud syukur dapat
dilakukan saat melihat penderitaan orang lain dengan
membandingkan keadaannya dengan keadaan orang yang sujud.
(Tentu saja sujud tersebut tidak dilakukan dihadapan si
penderita itu).

Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua anggota sujud
di lantai yakni dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan
kedua ujung jari kaki)--seperti melakukan sujud dalam shalat.
Hanya saja sujud syukur cukup dengan sekali sujud, bukan dua
kali sebagaimana dalam shalat. Karena sujud itu bukan bagian
dan shalat, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa sujud sah
walaupun dilakukan tanpa berwudu, karena sujud dapat dilakukan
sewaktu-waktu dan secara spontanitas. Namun tentunya akan
sangat baik bila melakukan sujud disertai dengan wudu.

b. Syukur dengan lidah

Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber
nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya.

---------------- (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan

Sumber : Media Isnet