Sabtu, 16 Januari 2010

Doa. Untuk Apa ?

Sejak alam barzah, manusia sudah didesain oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang mengakui adanya Alloh SWT Yang Maha Kuasa. (Q/7:172). Oleh karena itu naluri manusia cenderung mencari perlindungan kepada Yang Maha Kuat, terutama ketika sedang merasa terancam. Bukan hanya orang beragama, orang atheis pun ketika melepas prajuritnya ke medan perang, mereka mengucapkan “Semoga kalian menang”. Kalimat semoga adalah ungkapan religius, ungkapan doa, yakni mengharap campur tangan kekuatan gaib yang diyakini lebih besar dibanding kekuatan manusia

Dalam perspektif way of life seorang muslim, kehadiran manusia di muka bumi diberi status sebagai khalifah Alloh, sebagai wakil Allah yang diberi amanat untuk menegakkan kebenaran dalam kehidupan manusia untuk mencapai ridla Allah sebagai tujuan hidupnya. Untuk mencapai tujuan itu manusia diberi alat hidup, yaitu dirinya, fisik maupun psikis, dan harta atau alam yang memang disediakan Alloh SWT sebagai fasilitas. Dengan potensi itu manusia menjadi “makhluk” yang paling besar peluangnya untuk menjadi yang “terhebat” di muka bumi.

Akan tetapi di sisi lain, manusia juga diberi status oleh Allah sebagai `abdun, sebagai hamba, yang memiliki serba keterbatasan, dan Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali agar mereka mengakui dirinya sebagai `abdun, yang harus meng abdi, atau beribadah, menyembah kepada Sang Pencipta (Q/51:56). Inilah status kembar manusia di hadapan Alloh SWT. Di satu sisi manusia adalah besar, memiliki tanggung jawab dan kewenangan yang besar, karena menjadi wakil dari Alloh SWT yang Maha Besar. Di sisi lain manusia adalah kecil, karena ia tak lebih hanyalah seorang hamba yang lemah, terbatas dan hidupnya sangat bergantung kepada berbagai faktor.

Manusia akan menjadi kuat apabila ia menempel kepada kekuasaan Alloh SWT Yang Maha Kuat. Ia selalu berkata bahwa tiada daya dan kekuatan yang efektif tanpa seizin Allah yang Maha Agung, La haula wala quwwata illa billah al `Aliyy al `Azim. Sebaliknya manusia akan diperdaya dan dipermainkan oleh perbuatan sendiri yang menipu, jika ia jauh dari ridla dan rahmat Allah. Allah akan mengangkat martabat manusia yang rendah hati, dan akan menjatuhkan ke dalam kehinaan terhadap manusia yang menyombongkan diri. Di sinilah medan seni antara usaha dan doa.

Di satu sisi, Al Qur’an banyak sekali memerintahkan manusia agar bekerja dan berusaha, tetapi di sisi lain Al Qur’an juga memerintahkan agar orang bertawakkal (berpasrah diri kepada Allah) atas hasil dari pekerjaan dan usahanya. Disamping menyuruh bekerja, Al Qur’an juga menyuruh untuk berdoa kepada Allah, disertai jaminan bahwa Allah akan mengabulkan doa manusia (Q/40:60), karena Allah memang mendengarkan doa-doa hambanya (Q/14:39). Kata Nabi, doa adalah sumsumnya ibadah.

Dalam realita kehidupan, sebagaimana yang sedang melanda bangsa Indonesia dewasa ini, bisa terjadi, banyaknya tentara tidak menjamin ketahanan nasional, banyaknya polisi tidak menjamin keamanan, banyaknya sumberdaya alam tidak menjamin kemakmuran, banyaknya orang pandai tidak menjamin keberhasilan. Dalam perspektif tasauf bahkan dikatakan, penentu keberhasilan pembangunan suatu bangsa bukan ditentukan oleh unsur-unsur bangsa tersebut diatas, tetapi oleh doa seorang hamba yang dekat dengan Alloh SWT.

Kata sebuah hadis, bahwa di muka bumi ini ada beberapa orang yang performennya “kumuh”, tidak memiliki status sosial, tetapi jika ia sudah menengadahkan tangannya kepada Alloh SWT, maka doanya itulah yang signifikan menyelesaikan masalah bangsa, bukan oleh elit-elit bangsa (in aqsama `alallah la abarrahu). Siapakah orang itu? Kata hadis tersebut, dia adalah orang baik yang takwa, tetapi ia menyembunyikan identitas sebenarnya. Jika dia berada di dekat kita, tak seorangpun yang mengenalnya, tetapi jika ia tidak ada, maka ia selalu dicari-cari.

Fenomena politik Indonesia mengenal ada doa politik, ada istighotsah kubra dan doa-doa massal lainnya, yang tujuannya mencari solusi spiritual atas problem bangsa yang rumit. Mengapa doa-doa tersebut sepertinya tak didengar Alloh SWT? Inilah yang harus menjadi renungan kita bersama-sama, jangan-jangan doa yang kita panjatkan tidak ikhlas, atau melanggar koridor sunnatullah, atau tidak memenuhi adabnya? Wallohu a‘lam

Sumber : Mubarok Institute

Sabtu, 02 Januari 2010

Hijrah dan Membangun Peradaban Islam

Oleh: Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM.


Awal kejayaan umat Islam sebagai titik balik sejarah dimulai sejak generasi pertama dibawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad Saw terutama setelah melakukan hijrah dari Makkah ke Madienah.

Pelajaran utama dari perjalanan Hijrah Rasulullah Saw dan para sahabatnya yaitu adanya proses peletakan cikal bakal sebuah entitas peradaban. Hal ini dapat kita lihat dengan dilakukannya tiga langkah strategis sebagai pondasi utama yang kemudian menjadi asas dalam pembentukan prototype masyarakat Islam. Tiga langkah strategis tersebut yaitu:

Pertama :Membangun Masjid (Pertama membangun Masjid Quba’, selanjutnya membangun Masjid Nabawi Al-Syarif) di Madienah sebagai bangunan pertama dalam risalah kenabian. Rasulullah Saw mengoptimalkan fungsi masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah mahdah saja (sholat, membaca Al Quran, berzikir, i’tikaf), tetapi juga sebagai tempat berbagai aktivitas keumatan/ghairu mahdah yaitu difungsikan sebagai ma’had: pusat dakwah, pusat pendidikan dan pengajaran; sebagai mahkamah: tempat mengadili para pihak yang bersengketa dan tempat penyelesaian masalah; tempat prajurit muslim berkumpul sebelum memulai perjuangan, tempat mengatur strategi peperangan; pusat penerangan dan informasi kepada masyarakat; pusat kegiatan sosial, ekonomi dan politik; tempat bermusyawarah. Hal ini memperlihatkan bahwa masjid dalam Islam mempunyai misi yang dapat diwujudkan dalam berbagai aspek guna membentuk kehidupan yang Islami.

Kedua: Membangun persaudaraan (ukhuwwah) antara Muhajirin dan Anshar sehingga terjadilah takaful ijtima’i (jaminan sosial, solidaritas, sepenanggungan, saling tolong-menolong). Persaudaraan yang dibangun Rasululah Saw adalah persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan kesukuan yang berjalan sebelum itu. Melalui semangat persaudaraan, Rasulullah Saw berhasil membangun kota Madienah dalam sebuah entitas yang penuh kedamaian, keamanan, adil dan sejahtera, padahal sebelumnya telah terjadi konflik sangat sengit yang berlangsung sangat lama (sekira 120 tahun) antara dua suku (qabilah) besar di Madienah yaitu qabilah Aus dan Khazraj. Adanya kepercayaan sosial dari masyarakat Madienah kepada Muhammad Saw saat itu, telah berhasil mengantarkan pada upaya membangun loyalitas publik;

Ketiga: Menyusun suatu perjanjian (dustur) dengan ditandatanganinya Piagam Madienah sebagai regulasi tata kehidupan yang plural baik antara kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) di satu pihak maupun antara kaum muslimin dengan umat-umat lainnya (termasuk Yahudi) di pihak lain yang menjelaskan berbagai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dalam konteks ketatanegaraan sekarang ini, Piagam Madienah tersebut merupakan sebuah dokumen politik berupa konstitusi. Pengakuan atas keberagaman berbagai golongan dan komponen masyarakat sangat terlihat dalam konstitusi tersebut. Penyebutan secara eksplisit golongan Yahudi serta berbagai kabilah lainnya yang memiliki kewajiban mempertahankan keamanan Madienah dari serangan luar, telah membawa pada perwujudan stabilitas politik dan keamanan Madienah. Kita dapat menyimak bahwa secara substansial, Piagam Madienah telah merangkum berbagai prinsip dan nilai moral yang tinggi berupa keadilan, kepemimpinan, musyawarah; persamaan; persaudaraan; persatuan; kemerdekaan dan toleransi beragama; perdamaian; tolong-menolong dan membela terhadap para pihak yang teraniaya. Konstitusi tersebut merupakan proklamasi bagi kelahiran sebuah Negara dan Pemerintahan, dimana disebutkan bahwa hak otoritas kepemimpinan diberikan kepada Rasulullah Muhammad Saw.

Dengan demikian Rasulullah Saw berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tidak semua Nabi dan Rasul yang diutus Alloh Swt langsung memerintah dan menjadi Kepala Negara, tetapi Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin pergerakan dan pemimpin politik berdasarkan Nubuwah dan Risalah. Ajaran yang diterimanya dari Alloh Swt ditujukan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Pemerintahan yang berdiri di Madienah jika dibandingkan dengan yang dianut oleh Persia, Romawi, Ethiopia (Habsyah) maupun yang lainnya pada masa itu merupakan kepemerintahan termodern baik dalam Undang-undang, sistem sosial dan kemasyarakatan serta dalam bentuk maupun susunannya.

Dibawah kepemimpinan dan suri tauladan agung Rasulullah Muhammad Saw, walaupun beliau bukan orang asli Madienah, akan tetapi karena secara pribadi beliau memiliki kredibilitas serta komitmen yang kuat untuk melakukan suatu perubahan dan pembaharuan, sehingga beliau berhasil melakukan sebuah transformasi struktural maupun kultural dalam membangun Madienah ke arah yang lebih mengedepankan nilai-nilai akhlak; menegakkan supremasi hukum serta lebih terbuka melalui kesantunan berpolitik. Upaya sinergitas dalam membangun juga berhasil beliau lakukan, sehingga terjalinlah kebersamaan dalam mewujudkan persatuan antar stakeholder. Kita dapat melihat dalam sejarah, bahwa komitmen kuat dari Rasulullah Muhammad Saw selanjutnya mendapatkan dukungan yang kuat pula dari publik. Pondasi ketiga yang dibangun ini memperlihatkan kepada kita bahwa Rasulullah Saw sangatlah peduli pada semangat membangun kebersamaan dari berbagai komponen masyarakat yang majemuk (plural) dalam membangun kota Madienah.

Demikian besarnya perhatian Islam terhadap peradaban, dapat kita simak pula dari korelasi yang kuat antara terminologi peradaban dengan akhlaq, dimana akhlak merupakan misi utama diutusnya Rasulullah Muhammad Saw ke muka bumi. Hal ini sebagaimana yang disabdakannya melalui beberapa hadits diantaranya Riwayat Bukhari, Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah bahwa : “Innama bu’itstu li utami-ma makarimal akhlaq, ("Sesungguhnya aku (Muhammad Saw) diutus Alloh Swt untuk menyempurnakan akhlaq”). Dengan demikian, menyempurnakan akhlak berarti pula membangun sebuah peradaban Islam.

Peradaban Islam yang dibangun Rasulullah Saw adalah suatu peradaban yang memberikan rahmat, kasih sayang, kedamaian kepada semua alam, bukan hanya manusia saja akan tetapi seluruh makhluk ciptaan Alloh Swt selain manusia juga merasakan kasih-sayangnya. Hal ini sangat berkesesuaian dengan salah satu pengertian Islam yaitu Silmun (kedamaian).

Rahmat dan kasih sayang yang dibangun oleh Islam, sebagaimana ditegaskan Al Quran Surat Al Anbiya ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.


KORELASI MAKNA : DIEN, MADIENAH DAN TAMADDUN
Kita akan menemukan tiga terminologi yang sangat mengagumkan, ketika suatu peradaban dikonstelasikan dalam bingkai sistem Islam, dimana ketiga terminologi tersebut memiliki korelasi yang sangat kuat antara satu dengan lainnya. Ketiga terminologi tersebut adalah Dien, Madienah dan Tamaddun.

Secara ethimologis, dien menurut Munawar Kholil merupakan mashdar dari kata kerja Dana-Yadiinu, yang berarti Cara; Adat kebiasaan; Budaya; Peraturan; Undang-undang; Ketaatan atau kepatuhan; Meng-esakan Alloh; Pembalasan; Perhitungan; Pengadilan; Hari kiamat; Hari menegakkan keadilan; Nasihat, Kecintaan; Ketaatan; Agama. Sedangkan menurut Al-Attas, dien bermakna keberhutangan; susunan kekuasaan; struktur hukum dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Artinya, dalam istilah dien itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika dien Alloh yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madienah. Dari akar kata dien dan Madienah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.

Peradaban yang dibangun Rasulullah Saw di Madienah dapat kita simak dari sikap visioner beliau yang memiliki pandangan jauh ke depan terhadap pembentukan peradaban Islam yakni dilakukannya perubahan nomenclature Yatsrib menjadi Madienah oleh Muhammad Saw dengan konsep pembangunan dan nilai yang jelas.

Kalau kita simak, bahwa secara ethimologis Madienah merupakan derivat dari kata dalam Bahasa Arab yang berarti: (a) Kota yang dalam bahasa Yunani disebut polis dan politica yang kemudian menjadi dasar kata policy atau politic dalam Bahasa Inggeris; (b) Madienah juga merupakan derivat dari kata tamaddun dan madaniyah yang berarti civility dan civilization atau peradaban. Kata sifat dari Madienah adalah Madani, maka sivilized sociaty atau civil society dalam bahasa Arab bisa disebut Mujtama’ Madani (masyarakat berperadaban). Dengan demikian, Madienah merupakan state yang didirikan untuk membangun peradaban baru yaitu peradaban tauhid. Sejarah telah mencatat, bahwa Madienah berdiri di atas pondasi sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi, dimana dua hal ini merupakan esensi penting dalam membentuk suatu peradaban yang kemudian telah dibuktikan oleh sejarah perjuangan umat Islam. Dengan demikian, tamaddun merupakan kata benda yang berasal dari akar kata madana yang secara literal berarti peradaban (civilization).

Dalam kontek hijrah, peradaban juga memiliki korelasi yang kuat dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Menurut Ali Shariati, perkataan hijrah bersumber dari perkataan Hajar demikian pula halnya dengan Muhajir yaitu orang yang melakukan hijrah, dimana hijrah memiliki pengertian peralihan dari hidup biadab menjadi beradab dan dari kekafiran menjadi Islam. Didalam bahasa ibunya sendiri, nama Hajar berarti “kota”, yang melambangkan peradaban. Pada konteks ini, kita dapat melihat sebuah korelasi sejarah yang sangat kuat antara peradaban yang pernah dibangun Nabi Ibrahim As (suami Hajar, dan Bapaknya para Nabi) serta keturunannya, baik di Makkah (Bani Isma’il) maupun di Palestina (Bani Ishak) dengan peradaban yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw di Madienah yang kemudian memancar ke seluruh dunia.

Ketiga kota suci tersebut memiliki kaitan akar sejarah yang sangat kuat atas nilai-nilai Rabbani yang telah diusung oleh para Nabi dan Rasul mulia, dimana setiap hijrah yang pernah dilakukannya merupakan sebuah gerakan dari kejahatan menuju kebaikan dari keterbelakangan menuju sebuah peradaban.

Dengan menyimak makna dari ketiga terminologi di atas, maka kita dapat melihat sebuah rangkaian yang utuh antara input, proses, output, impact sampai benefit dimana Islam yang dipilih Alloh Swt sebagai dien merupakan input yang luar biasa agungnya bagi tatanan kehidupan hamba-Nya. Input itu kemudian mengejawantah ketika sistem Islam membumi di Madienah dibawah kepemimpinan Rasulullah Saw yang pada tahapan selanjutnya telah berhasil membuahkan (output) sebuah peradaban (tamaddun) Islam yang agung dimana dampaknya (impact) mampu menyinari negeri-negeri pada hampir semua belahan dunia, dimana para pihak yang bukan hanya kalangan muslim saja akan tetapi non muslim sekalipun dapat mengambil nilai manfaatnya (benefit) dari tegaknya sistem Islam di muka bumi ini.

Sejarah membuktikan bahwa dengan datangnya gelombang peradaban Islam benar-benar telah menjadi faktor penyebab kejatuhan berbagai peradaban yang ada pada saat itu diantaranya Romawi. Hal tersebut merupakan bukti kuat bahwa Islam sebagai dien yang menghasilkan tamaddun dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Diantara faktor penyebab utamanya adalah bahwa Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat, yang ajarannya universal serta mengajarkan persamaan kedudukan (egalitarian) antar manusia, yang mana hal ini telah mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Wallohu a'lam

Sumber : dudung.net