Selasa, 27 Juli 2010

Jangan Lari dari Ujian Hidup

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
dakwatuna.com – “Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah; namun barangsiapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.”
Sabda Rasulullah saw. ini ada dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap Bencana”

Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.
Perlu Kacamata Positif
Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu kapan pun tidak bisa mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit karena himpitan ekonomi. Pahit karena suami/istri selingkuh. Pahit karena anak tidak saleh. Pahit karena sakit yang menahun. Pahit karena belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda lagi.
Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. Kegetiran selalu dipahami sebagai siksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai buah dari kelemahan diri. Tak heran jika satu per satu jatuh pada keputusasaan. Dan ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. Atau, bahkan mengacungkan telunjuk ke langit sembari berkata, “Allah tidak adil!”
Begitulah kondisi jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan berbuat seperti itu. Sebab, ia paham betul bahwa itulah konsekuensi hidup. Semua kegetiran yang terasa ya harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. Sebab, ia tahu betul bahwa kegetiran hidup itu adalah cobaan dari Allah swt. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Hadits di atas mengabarkan bahwa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan menguji kita. Ketika kita ridha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, Allah pun ridha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? Mardhotillah. Keridhaan Allah swt. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat Rasulullah saw. Mereka ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepada mereka.
Yang Manis Terasa Lebih Manis
Kepahitan hidup yang dicobakan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, yaitu ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cobaan yang dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi makin gigih. Orang bilang, jika kepepet, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih gigih, dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.
Kehilangan, kegagalan, ketidakberdayaan memang pahit. Menyakitkan. Tidak menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahwa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahwa kesuksesan yang bisa diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.
Itulah salah satu rahasia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)
Begitulah kita diajarkan oleh Allah swt. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan mengenal arti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu manis karena tidak pernah merasakan pahit.
Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan halus. Sensitif. Kita akan punya empati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah dipergilirkan dalam situasi yang tidak enak. Ada keinginan untuk menolong. Itulah rasa cinta kepada sesama. Selain itu, kita juga akan bisa berpartisipasi secara wajar saat bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.
Bersama Kesukaran Selalu Ada Kemudahan
Hadits di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak dikit orang yang menutup nalar sehatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah irisan pisau yang memotong syaraf berpikirnya. Kenestapaan hidup dianggap sebagai stempel hidupnya yang tidak mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin berubah buat selama-lamanya.
Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu stabilitas hati. Hati yang dalam kondisi jatuh di titik nadir, akan berdampat pada voltase getaran iman. Biasanya perasaan tidak berdaya membutuhkan pelampiasan. Bentuk bisa kemarahan dan berburuk sangka. Di hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cobaan yang diberikan Allah swt. dan marah kepada Allah swt. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan hidup, ia justru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah swt.
Karena itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cobaan. Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar keterpurukan mereka tidak sampai membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita bisa memaknai hadits singkat Rasulullah saw. ini, “Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. Athabrani)
Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cobaan datang bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Setelah hujan akan muncul pelangi. Itu janji Allah swt. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Jadi, jangan lari dari ujian hidup!

Sumber : dakwatuna.com

Jumat, 16 Juli 2010

Silaturahmi dalam Pandangan Islam

Kalimat silaturahmi berasal dari bahasa Arab, tersusun dari dua kata silah yaitu, alaqah (hubungan) dan kata al-rahmi yaitu, Al-Qarabah (kerabat) atau mustauda Al-Janin artinya “rahim atau peranakan”. (Al-Munawwir, 1638, 1668) kata Al-Rahim seakar dengan kata Al-Rahmah dari kata rahima “menyayangi-mengasihi”. Jadi secara harfiyah Silaturahmi artinya “Menghubungkan tali kekerabatan, menghubungkan kasih sayang”.


Al-Raghib (ayat 191) mengkaitkan kata rahim dengan rahim Al-marah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama.

Al-Raghib juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah SWT menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau Al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”.

Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna Al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati).

Ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman Faudah (13) yang menyebutkan, “Rahmah adalah belas kasihan dalam hati yang menghendaki keutamaan dan kebaikan”.

Dengan makna di atas, secara harfiyah arti silaturahmi dapat dikatakan pula, menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Dan secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi (1971, V:93) yang menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”.

Selain itu kalimat silaturahmi merupakan uslub Qur’ani, bahasa Al-Qur’ân, bahasa yang digunakan oleh Rasul Saw. Tentu tidak ada bahasa Arab yang lebih baik kecuali bahasanya Al Quran, bahasanya yang digunakan oleh Nabi, bukan bahasa Arab Ashriyah (modern) bukan pula bahasa Arab Amiyah (bahasa Arab pasar) Alquran telah mengisyaratkan tentang hal itu, antara lain firman Allah SWT, dalam Al-Ra’du 21.
Terhadap lafadz Yashiluna para mufashir, seperti Al-Maraghi (V:93) Mahmud Hijazi (II:228) dan Shawi (II:336) Jalaludin al-Syuyuthi (IV:637) tidak berbeda pendapat, bahwa yang dimaksud adalah yashiluuna arrahmi menyambungkan kekerabatan, kasih sayang yang merupakan haq semua hamba.

Dan kata Arrahmi ditunjukan pula oleh al-Kahfi dalam ayat 81 dengan kalimat Aqrabu rahman lebih dalam kasih sayangnya) Jadi silaturahmi itu bahasa Al Quran. Sementara kalimat silaturahmi yang disabdakan oleh Nabi dan sebagai bahasanya Nabi, banyak kita jumpai dalam hadits-hadits, antara lain: “Asra’ul khaira tsawaaban albirra wa shilatur rahmi.” kebaikan yang paling cepat balasannya, yaitu berbuat kebaikan dan silaturahmi.

Seperti telah disebutkan di atas, kata al-rahmi erat kaitannya dengan wanita, yaitu, rahimnya seorang ibu, tempat janin dalam perut seorang wanita. Wanita pada masa Arab Jahili dipandang rendah tidak bernilai, karena itu bayi wanita yang baru lahir dari perut seorang ibu, mereka bunuh. Dan seorang ibu yang ditinggal mati oleh suaminya, dipandang harta pusaka yang dapat diwariskan kepada ahli warisnya.

Silaturahmi yang diperintahkan Allah Swt, tidak dapat dilepaskan dari tugas Rasul untuk melakukan (tazkiyah) pembersihan, yaitu dalam hal ini tazkiyah al-akhlak (Pembersihan prilaku) yang kotor yang dilakukan Arab Jahili, yang memandang wanita tidak benilai Maka untuk itu, Allah dan Rasulnya melarang membunuh anak wanita atau laki-laki, dalam firmannya Al-Anam: 151, dan melarang menjadikan wanita sebagai harta pusaka, dalam firmannya An-Nisa: 19.
Dalam hal berbakti, berbuat kebaikan, menghubungkan tali kekerabatan/silaturahmi, Islam memperhatikan terlebih dahulu kepada wanita. Dengan kata lain silaturahmi mengandung makna “Mengangkat derajat wanita” yang dulu direndahkan oleh orang Arab Jahili.

Hal ini sebagaimana terungkap dalam beberapa hadits Nabi, antara lain, Khalid bin Ma’dan berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya Allah mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada ibumu (3X) Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada bapakmu (2X) kemudian bersabda, Ia wasiatkan kepadamu (berbuat baik) kepada yang lebih dekat lalu pada yang lebih dekat. (Ibnu Majah)

Dan dalam keterangan lain dari Abi Ramtsah ia berkata: Aku sampai pada Rasulullah, lalu aku mendengar ia bersabda: Berbuat baiklah kepada ibumu, dan bapakmu dan saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu kemudian kepada yang lebih dekat padamu lalu kepada yang lebih dekat padamu (Shahihain).

Dalam Islam, diajarkan pula silaturahmi kepada orang yang telah meninggal, yaitu dengan cara menghubungkan kasih sayang kepada saudara orang yang telah mati yang masih hidup. Dalam sebuah hadits Ibnu Hibban dari Abi Burdah dijelaskan, Ash-Shiddiqi (1977, Al-Islam, II:374) membagi silaturahmi kepada dua bagian, silaturahmi umum dan silaturahmi khusus Silaturahmi umum yaitu, silaturahmi kepada siapa saja; seagama datidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan diantaranya menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur dan berbuat baik dan lain sebagainya yang bersifat kemanusiaan. Silaturahmi ini disebut silaturahmi kemanusiaan.

Silaturahmi khusus yaitu, silaturahmi kepada kerabat, kepada yang seagama, yaitu dengan cara membantunya dengan harta, dengan tenaga, menolong, menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemadharatan yang menimpanya, dan berdo’a, dan membimbing agamanya karena takut adzab Allah. Al-Maraghi (V:93) menyebutkan silaturahmi kepada kerabat mu’min, yaitu menghubungkan karena imannya, ihsan, memberi pertolongan, mengasihi, menyampaikan salam, menengok yang sakit, membantu dan memperhatikan haknya.

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. 17:26)

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk”. (QS. 13:21)
Dengan memperhatikan dan membandingkan dua hal di atas (Silaturahmi dan Halal bi halal) Silaturahmi lebih bermakna dari pada halal bi halal. Suatu kegiatan yang mengandung nilai baik, alangkah baiknya jika diberi nama yang baik pula. Tradisi berkumpul, bersalaman, saling memaafkan yang dilakukan sebagian orang di Indonesia setelah Idul Fitri yang suka disebut halal bi halal.(net/jpnn)

Sumber : Sumut Pos