Sabtu, 21 Agustus 2010

Puasa Dan Al-Quran

Oleh :Dr.Attabiq Luthfi,MA

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)
Ayat ini adalah ayat ketiga dari rangkaian ayat puasa yang berjumlah 4 ayat dan tersusun secara runtut dalam satu surah, yaitu surah Al-Baqarah ayat 183-187 (dikurangi ayat 186). Ayat ini menjelaskan waktu kewajiban berpuasa yaitu bulan Ramadhan yang belum disebutkan pada dua ayat sebelumnya. Sekaligus ayat ini menghapus keringanan tidak berpuasa bagi orang yang muqim dan sehat yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Sehingga siapapun yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, kecuali bagi yang sakit atau dalam perjalanan ia diberi keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi harus menggantinya pada hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya itu. Namun tetap kaidah dasar syariat Islam adalah Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Makna yang patut digali dari ayat ini adalah keterkaitan yang erat antara puasa dan Al-Qur’an. Tercatat hanya ayat ini yang menggandingkan puasa dengan turunnya Al-Qur’an; Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Ibnu Katsir menyebutkan korelasi ini dalam tafsirnya: ”Allah memuji Ramadhan sebagai bulan yang dipilih untuk diturunkan kitab suciNya yang agung. Bahkan seluruh kitab-kitab samawi yang lain juga diturunkan di bulan Ramadhan seperti yang terungkap dalam riwayat imam Ahmad bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shahifah Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari (malam) keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari (malam) ketiga belas bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat bulan Ramadhan”. (Musnad Ahmad, 4/107)
Namun menurut Asy-Syaukani, dalam konteks penurunan Al-Qur’an, ayat ini masih bersifat umum karena tidak menjelaskan waktu yang pasti tentang turunnya Al-Qur’an. Surah Al-Qadar ayat 1 dan surah Ad-Dukhan ayat 3 itulah yang menjadi penjelas bagi ayat ini: “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam yang penuh dengan keberkahan, yaitu malam Lailatul Qadar”.
Penjelasan inipun sebenarnya masih memerlukan penjelasan lebih rinci, karena kepastian tanggal turunnya Al-Qur’an masih belum disebutkan. Spesifikasi yang disebutkan Al-Qur’an hanya terbatas pada bulan diturunkannya Al-Qur’an yaitu bulan Ramadhan yang dispesifikasi kembali dengan malam Lailatul Qadar. Tapi kapan itu terjadi masih menjadi perdebatan hangat diantara para ulama. Namun mereka sepakat bahwa maksud turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadhan adalah turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia. Sehingga penurunan Al-Qur’an menurut Imam Suyuthi terjadi dalam dua tahap, yaitu pertama, turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke langit dunia secara sekaligus dan kedua, turunnya Al-Qur’an kepada Rasulullah secara berperiodik. Untuk memahami kedua bentuk turunnya Al-Qur’an tersebut, Al-Qur’an menggunakan redaksi yang berbeda. Redaksi Anzala (Inzal) untuk menunjukkan turunnya Al-Qur’an secara sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Langit dunia dan redaksi Nazzala (Tanzil) untuk menunjukkan penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur.
Dalam pembahasan tanggal turunnya Al-Qur’an, terdapat beberapa riwayat yang bisa dijadikan acuan. Riwayat Ibnu Abbas seperti yang dinukil oleh Ibnu katsir menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam pertengahan bulan Ramadhan ke Baitul Izzah di Langit dunia kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad dalam kurun waktu 20 tahun. Secara lebih lengkap imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shahifah Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari (malam) keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari (malam) ketiga belas bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat bulan Ramadhan”. Dalam riwayat Jabir bin Abdullah dibedakan bahwa Zabur diturunkan pada malam kedua belas. (Musnad Ahmad, 4/107)
Jika riwayat Imam Ahmad dijadikan acuan, maka akan lebih menepati dengan kemungkinan besar terjadinya malam Lailatul Qadar yang banyak disebutkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya. Misalnya: ”Carilah malam Lailatul Qadar itu di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”. Atau ”Carilah malam Lailatul Qadar itu di tanggal ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”. (H.R. Bukhari).
Korelasi kedua yang bisa ditemukan antara Al-Qur’an dan puasa adalah bahwa keduanya merupakan sarana (wasilah) mendapatkan syafaat kubro di hari kiamat nanti. Tersebut dalam hadits Abdullah bin Umar yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad (13/375) bahwa Rasulullah saw bersabda: “Puasa dan Al-Qur’an keduanya akan memberi syafaat kepada hamba Allah pada hari kiamat. Puasa berkata: ya Allah, aku menghalanginya dari makan, minum dan syahwat di siang hari, maka berilah syafaat untuknya karena aku. Al-Qur’an pun berkata: ya Rabbi, aku telah telah menahannya dari tidur di malam hari (karena membaca aku), maka berilah ia syafaat karena aku”. Maka akhirnya keduanya menjadi wasilah untuk medapatkan syafaat Allah swt.
Jika korelasi ini difahami dengan baik, maka pemaknaan yang luhur dari bulan Ramadhan adalah Syahrul Qur’an; bulan berinteraksi dan bergaul dengan Al-Qur’an sebaik dan seintens mungkin selain dari makna syahrus shobr (bulan melatih bersabar), syahrul infaq (bulan berinfak), syahrul maghfiroh (bulan ampunan), syahrut tarbiyah (bulan pembinaan), syahrul ibadah (bulan peningkatan ibadah), syahrul jihad (bulan perjuangan) dan lain sebagainya. Namun kenyataannya, makna Ramadhan sebagai syahrul Qur’an masih belum teraplikasikan dengan baik. Padahal pilihan Allah tentang Ramadhan sebagai bulan kewajiban puasa dan bulan penurunan Al-Qur’an tentu tidak lepas dari makna ini. Justru keberkahan Al-Qur’an yang dijanjikan oleh Allah akan lebih terasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini (syahrun mubarak). “Inilah kitab penuh berkah yang Kami turunkan kepada engkau (Muhammad) agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan menjadikannya sebagai bahan peringatan bagi orang-orang yang berakal”. (Shad:29)
Saatnya momentum Ramadhan dijadikan momentum untuk memperbaiki dan meningkatkan keberAl-Qur’anan kita. Bukankah ukuran kebaikan seseorang tergantung dengan tingkat interaksinya dengan Al-Qur’an seperti yang dinyatakan dalam hadits Ibnu Mas’ud, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. Mempelajari dan mengajarkan disini tidak terbatas dalam konteks bacaan, tetapi lebih dari itu: mempelajari dan mengajarkan nilai dan ajaran Al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh. Bahkan posisi dan kedudukan seseorang di dalam syurga juga terkait erat dengan tingkat keberAl-Qur’anannya. Karena pada hari kiamat nanti setiap orang akan diminta untuk membacakan Al-Qur’an: “Bacalah dan terus tingkatkan seperti kamu membaca di dunia, karena tingkat dan kedudukanmu di syurga ditentukan oleh kualitas dan kuantitas interaksi kamu dengan Al-Qur’an.
Tidak berlebihan untuk kita mulai membangun pribadi qur’ani yang akan berlanjut kepada membangun keluarga qur’ani yang mudah-mudahan dari sini akan lahir masyarakat qur’ani dan jayl qur’an (generasi qur’an) yang mutamayyiz dan farid “unik dan berbeda” karena mereka adalah kekasih Allah dan orang pilihannya. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bagi Allah kekasihnya dari manusia. Mereka adalah para pembawa Al-Qur’an. Merekalah kekasih Allah dan orang pilihannNya”. (H.R. Al-Hakim)

Sumber : dakawatuna.com

Sabtu, 14 Agustus 2010

Piala Ramadhan,Siapa Merebutkan ?

dakwatuna.com – Apa yang dirasakan oleh juara Euro 2008, Tim Spanyol, ketika ia dipastikan menjadi juara dalam event besar itu? Tentu luapan kegembiraan dan suka cita menyatu dalam diri mereka. Tidak hanya pemain, pelatih, dan tim saja, bahkan semua warga negara Spanyol menyatu dalam kegembiraan itu. Dunia memujinya, publik menyanjungnya. Spanyol jadi buah bibir.
Keberhasilan itu hasil jerih perjuangan panjang dan melelahkan. Penantian selama empat puluh tiga tahun untuk merebut kembali predikat sang juara. Penuh kesungguhan dan kedisiplinan.
Bagaimana jika piala itu datangnya dari Tuhannya manusia?. Bagaimana jika predikat juara itu disematkan oleh Pemilik alam raya ini?. Bagaimana jika yang menyanjung itu adalah Penentu kehidupan semua makhluk?.
Secara fitriyah dan imaniyah, pasti orang akan berebut piala dan predikat juara dari Tuhannya. Tentu jauh lebih mulia, istimewa dibandingkan dengan sanjungan manusia.
Ya, itulah peraih sukses Ramadhan. Orang yang mampu melewati event besar ini sampai finish dengan kesungguhan. Ia meraih predikat taqwa, sebagai identitas tertinggi manusia. Ia meraih piala Ar Royyan, surga spesial bagi shaaimin dan shaaimat.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
“Sesungguhnya didalam surga ada pintu bernama Royyan, tidak ada yang memasukinya kecuali mereka yang shaum Ramadhan.” (Muttafaq alaih)
Bahkan tidak hanya itu, orang yang sukses Ramadhan, mengisinya dengan kesungguhan, akan meraih berbagai keistimewaan dan kemuliaan.
Karena Ramadhan menjanjikan: Kelipatan pahala, pengkabulan do’a, pemudahan amal shaleh, penghapusan dosa, surga dibuka lebar-lebar, neraka ditutup rapat-rapat, setan-setan dibelenggu. Dan di dalamnya ada malam lailatul qadar, malam lebih baik dari seribu bulan. Kebaikan senilai usia rata-rata manusia, bagi yang meraihnya. Subhanallah!
Nabi saw. bersabda: “Bila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, sementara setan-setan diikat.” (HR. Bukhari-Muslim).
“Setiap amal anak Adam -selama Ramadhan- dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, Allah swt. berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku langsung yang akan memberikan pahala untuknya.” (HR. Muslim).
“Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim).
“Orang yang berpuasa doanya tidak ditolak, terutama menjelang berbuka.” (HR. Ibn Majah, sanad hadits ini sahih).
Yang lebih penting untuk diperhatikan di sini adalah, persiapan dan pengkondisian sebelum Ramadhan datang.
Seperti Tim Spanyol, yang harus berjibaku sepanjang waktu mempersiapkan diri menghadapi musim pertandingan.
Begitu juga dengan persiapan Ramadhan. Apa yang perlu dipersiapkan?
Persiapan fikriyah atau pemahaman tentang Ramadhan. Persiapan ruhiyah atau ibadah ritual. Persiapan maddiyah atau fisik dan material.
Bulan Sya’ban telah menjelang. Bulan di mana Rasulullah saw. meningkatkan aktivitas ibadah. Bahkan diriwayatkan beliau hampir-hampir shaum sunnah sebulan penuh.
Imam al-Nasa’i dan Abu Dawud meriwayatkan, disahihkan oleh Ibnu Huzaimah. Usamah berkata pada Nabi saw.
“Wahai Rasulullah, saya tidak melihat Engkau melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Engkau lakukan dalam bulan Sya’ban.’ Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang. Di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa.”
Dari Aisyah r.a. beliau berkata: “Rasulullah s.a.w. berpuasa hingga kita mengatakan tidak pernah tidak puasa, dan beliau berbuka (tidak puasa) hingga kita mengatakan tidak puasa, tapi aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa selain bulan Ramadhan kecuali pada bulan Sya’ban.” Imam Bukhari.
Subhanallah, kondisi ruhiyah, fikriyah dan maddiyah sudah dipersiapkan sebulan, bahkan dua bulan sebelum Ramadhan menjelang. Sehingga ketika Ramadhan datang, kita sudah terbiasa, terkondisikan dengan kesungguhan dan ketaatan. Dan karena itu kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan Ramadhan akan dapat diraih. Keluar Ramadhan meraih predikat muttaqin dan piala Jannatur Rayyan, insya Allah. Allahu a’lam

Sumber : dakwatuna.com