Minggu, 11 Desember 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (4)

Terapi Psikologis

Ada tiga teori untuk menerangkan mengapa “sesuatu” berlangsung dengan baik dan di tempat lain atau pada orang lain “sesuatu” itu justru tidak dapat berlangsung dengan baik.

• Teori Transaksional

Menurut teori ini, hubungan antar manusia (interpersonal) itu berlangsung mengikuti kaidah transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntungan dalam transaksinya atau malah merugi. Jika merasa memperoleh keuntungan maka hubungan itu pasti mulus, tetapi jika merasa rugi maka hubungan itu akan terganggu , putus, atau bahkan berubah menjadi permusuhan.

Demikian juga suami, isteri, mantu, mertua, mereka berfikir; kontribusi mereka sebanding dengan keuntungan yang diperoleh atau malah rugi. Oleh karena itu seyogyanya, suami, isteri, mantu dan mertua selalu bertanya; apa yang dapat saya berikan, jangan bertanya apa yang dapat saya peroleh. Isteri pasti penuh perhatian kepada suami jika ia merasa banyak menerima dari suami, mertua juga pasti sayang mantu jika merasa banyak menerima dari menantu. Suami pun akan semakin sayang kepada isteri jika ia merasa banyak menerima dari isteri, sang mantu juga akan sangat hormat kepada mertua jika ia merasa banyak dibantu.

• Teori Peran

Menurut teori ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana semestinya peran setiap orang dalam pergaulannya . Dalam skenario itu sudah ‘tertulis” seorang Presiden harus bagaimana, seorang gubernur harus bagaimana, seorang guru harus bagaimana, murid harus bagaimana. Demikian juga sudah tertulis peran apa yang harus dilakukan oleh suami, isteri, ayah, ibu, anak, mantu , mertua dan seterusnya.

Menurut teori ini, jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh penonton dan ditegur sutradara. Wanita sudah bersuami tetapi genit di depan umum, pasti digunjing orang banyak, karena menurut skenario, seorang isteri hanya boleh genit kepada suaminya. Seorang suami tidak bekerja, isterinya bekerja membanting tulang, tetapi suami tenang-tenang saja hidup numpang isteri. Nah lelaki seperti ini pasti tidak dihormati orang karena menurut skenario, suami adalah tulang punggung keluarga.

• Teori Permainan

Menurut teori ini, klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga, yaitu anak-anak, orang dewasa dan orang tua. Anak-anak itu manja, tidak mengerti tanggung jawab, dan jika permintaanya tidak segera dipenuhi ia akan nangis terguling-guling atau ngambek.

Sedangkan orang dewasa, ia lugas dan sadar akan tanggung jawab, sadar akibat dan sadar resiko. Adapun orang tua, ia selalu memaklumi kesalahan orang lain dan menyayangi mereka. Tidak ada orang yang merasa aneh melihat anak kecil menangis terguling-guling ketika minta eskrim tidak dipenuhi, tetapi orang akan heran jika ada orang tua yang masih kekanak-kanakan.

Suasana rumah tangga juga ditentukan oleh bagaimana kesesuaian orang dewasa dan orang tua dengan sikap dan perilaku yang semestinya ditunjukkan. Sudah semestinya suami dan isteri bersikap dewasa, tetapi kepada anak-anaknya mereka harus bersikap sebagai orang tua. Mereka juga tidak kaget jika melihat sikap anak-anaknya yang kekanak-kanakan. Jika mereka tidak bisa bersikap sesuai dengan tingkatannya maka suasana pasti runyam.

Sumber : Mubarok Institute

Jumat, 25 November 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (3)



Terapi Al Qur’an

Al Qur’an memberikan panduan umum kepada pasangan keluarga agar berpegang teguh kepada taqwa ketika sedang mencari pemecahan masalah. Taqwa menjamin output berupa way out dan rizki, waman yattaqillaha jaj`al lahu makhraja wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib (Q/….) Taqwa artinya berpegang teguh kepada kebenaran ilahiyah dan konsisten menghindari larangan Allah, imtitsalu awamirihi wa ijtinabu nawahihi.
Secara psikologis takwa adalah aksi moral yang integral, yakni perilaku yang lahir dari komitmen nilai moralitas yang dianut orang beragama. Jadi, sesulit apapun problem, jika dalam pemecahanya berpijak pada komitmen taqwa maka jalan keluar maupun jalan masuknya baik, seperti semangat doa; rabbi adkhilni mudkhala shidqin wa akhrijni mukhraja shidqin wa ij`al li min ladunka sulthanan nashira.
Al Qur`an secara khusus juga memberi terapi dengan menggunakan pendekatan ishlah dan mu`asyarah bi al ma`ruf, mau`idzah dan ihsan.

• Bagaimanapun keadaannya, meski sedang kesal, hendaknya masing-masing bertindak secara ma`ruf, bergaul secara ma`ruf (wa`asyiruhunna bi al ma`ruf/Q/4:19 imsakun bi ma`ruf/Q/2:229). Ma`ruf adalah sesuatu yang secara sosial dipandang baik dan patut. Ini artinya orang harus juga memperhatikan kebiasaan dan tata krama yang dianut masyarakat dimana seseorang berada.

• Semangat yang dicari haruslah ishlah. Jika yang dicari itu ishlah pasti Allah akan menolong; in yurida ishlahan yuwaffiqillahu bainahuma (Q/4:35). Ishlah mengandung muatan makna shulh (perdamaian) shalih (baik , patut dan layak) dan mashlahat (konstruktip). Baik suami maupun isteri harus mengedepankan niat berdamai, berpikir konstruktip dan tetap menunjukan perilaku yang patut.

• Ada tahapan-tahapan dalam mencari pemecahan masalah. Artinya masing-masing suami dan isteri harus sabar, tidak keburu nafsu dan tidak putus asa. Dalam kasus suami membimbing isteri misalnya, menurut al Qur’an, pertama harus mengedepankan nasehat, mau`idzah. Jika belum efektip, meningkat ke kesungguhan sikap-seperti berpisah tempat tidur. Jika belum efektip, baru langkah yang lebih tegas (Q/4:34)

• Seandainya harus mengambil keputusan yang pahit, perpisahan misalnya, itupun harus dengan ihsan (imsakun bima`rufin au tasrihun bi ihsan (Q/2:229). Ihsan adalah kebaikan yang murni, ihsan mahdlah, terlepas dari berbagai kepentingan, gengsi misalnya. Orang yang berbuat ihsan disebut muhsin- muhsinin.

Sumber : Mubarok Institute

Rabu, 09 November 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (2)

Pernik-Pernik Hidup

Mengarungi kehidupan tak ubahnya mengarungi samudera, terkadang lautan tenang dan angin sumilir, tetapi terkadang tanpa diduga datang ombak besar. Bagi orang yang faham sunnatullah laut, maka ia bisa berhitung kapan musim ombak dan kapan musim tenang. Tetapi kehidupan juga sering diungkapkan sebagai “tersandung di jalan rata”, terpeleset oleh “kerikil” kehidupan, dan sebagainya. Pembaca buku ini mungkin sudah banyak makan asam dan garam kehidupan. Meski begitu tetap saja anda masih dihadang oleh banyak problem.

Pernik adalah benda kecil tetapi menarik perhatian. Pernik-pernik hidup adalah sesuatu yang sebenarnya tidak prinsipil, tetapi karena menarik perhatian, maka ia bisa menyita perhatian suami dan isteri sehingga mendistorsi proporsionalitas masalah.

Manusia sebagai individu adalah unik. Rumah tangga adalah mempersatukan dua keunikan, keunikan suami dan keunikan isteri. Jika keunikan suami dan keunikan isteri menjadi sinergi maka rumah tangga itu mampu mempersepsi stimulus secara proporsional. Tetapi jika dua keunikan itu bertolak belakang, maka segala yang pernik-pernik dipersepsi menjadi prinsipil, dan meresponya juga dengan sikap prinsipil berpijak pada keunikan masing-masing.

Jika keadaan sudah demikian maka sakinah akan menjauh dari rumah tangga, dan sebagai gantinya adalah kesalahfahaman yang berkesinambungan. Rumah tangga tidak lagi menjadi “surga” (baiti jannati, my house is my castil), tetapi menjadi “neraka”.

Pernik-Pernik Sandungan
Tiap rumah tangga memiliki problem spesifik, tetapi problem yang sering berkembang menjadi batu sandungan hampir sama karakteristiknya; (a) persepsi terhadap rizki, (b) egoisme, (c) perkembangan psikologi pasangan.

a. Persepsi Terhadap Rizki Keluarga
Sebenarnya Tuhan telah menjamin rizki hambaNya, bahkan jika seseorang ingin menikah tetapi ekonominya masih berat, kata al Qur’an nikah saja, Allah yang menjamin rizkinya (in yakunu fuqara yughnihimullah Q/an Nur:32). Banyak pasangan ketika baru nikah belum memiliki harta apa-apa, tetapi kemudian mereka hidup berkecukupan.

Sebaliknya ada yang ketika menikah sengaja mencari pasangan atau mertua orang kaya, ternyata tak terlalu lama sudah jatuh menjadi orang miskin. Ada yang semula suami lancar sebagai pencari nafkah, tetapi kemudian jatuh sakit berkepanjangan sehingga tak lagi produktip, kemudian sumber rizki berpindah melalui isteri.

Persoalan saluran rizki bisa menjadi problem ketika orang memandang bahwa rizki itu hanya rizkinya, bukan rizki keluarga. Suami yang sukses kemudian menjadi GR(gede rumongso-bahasa Jawa, maksudnya merasa dirinya sangat penting) memandang rendah isterinya yang cuma nyadong. Ketika saluran rizki pindah lewat isteri, sang isteri juga kemudian menjadi GR, memandang sebelah mata suami. Inilah yang sering menjadi kerikil tajam, meski rizki melimpah, padahal sebenarnya rizki itu adalah rizki bersama sekeluarga.

b. Sifat Egois dan Tinggi Harga diri
Sifat egois dan tinggi harga diri sering mendistorsi persepsi. Ada ungkapan dalam psikologi komunikasi yang berbunyi “world don’t mean, people mean”, bahwa kata-kata itu tidak punya arti apa-apa, oranglah yang memberi arti. Ada orang tanpa beban apa-apa membeli mobil baru karena memang membutuhkan, tetapi tetangganya ada yang memberi arti sombong, sok, mentang-mentang, tak menenggang perasaan dan sebagainya. Dalam rumah tangga , sifat egois dan tinggi harga diri sering mengubah keadaan yang normal menjadi tidak normal, apa yang sebenarnya biasa-biasa saja, proporsional, dipersepsi sebagai tidak menghargai, menyakiti dan sebagainya, sehingga apa yang semestinya seiring sejalan berubah menjadi ada yang ngerjain dan ada yang merasa menjadi korban. Ada isteri atau suami yang merasa selalu disakiti, padahal tidak ada yang menyakitinya, merasa tidak dihargai, padahal harga seseorang itu sudah nempel pada dirinya.

c. Perkembangan Psikologi Pasangan
Jiwa manusia itu tak bisa menghindar dari hukum SR, Stimulus & Respond. Setiap hari ia melihat, mendengar dan merasakan sesuatu, kemudian mempersepsinya dan meresponnya. Proses SR yang dinamis , bisa mendewasakan seseorang, bisa juga membuatnya menjadi terganggu kejiwaannya. Hubungan interpersonal suami dan isteri berlangsung sangat intens, lama dan peka. Hubungan itu kemudian bisa menumbuhkan kejiwaan mereka secara seimbang, menjadi sinergi, bisa juga jomplang. Hubungan interpersonal suami isteri itu mengandung muatan; partner seksual, partner sosial, dan persahabatan.

Pada laki-laki muatan partner seksualnya itu pada umumnya stabil, partner sosialnya pasang surut dan partner persahabatanya berjalan lambat. Sedangkan bagi wanita, muatan partner seksualnya mulai menurun setelah monopouse, yang meningkat justeru partner sosial dan persahabatan. Pada pasangan paruh umur (yang normal) gairah seksual suami tetap stabil, sementara isteri lebih merasa bersahabat dengan suami.

Menurut dokter ahli seksologi, pada wanita, gairah seks (libido) meningkat sejak haid sampai mencapai puncaknya di usia 35 (tigapuluh lima) tahun dan terus menetap sampai usia 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat bertahan terus sampai setelah menopause, terutama pada wanita yang rajin memelihara kesehatan secara tradisionil, minum jamu misalnya . Pada pria, puncak gairah seks dicapai pada umur 20-30 tahun dan bertahan sampai umur 50 tahun, kemudian berkurang dan menetap sampai umur lanjut. Pusat libido letaknya di dalam otak, oleh karena itu keadaan jiwa yang positip dapat menahan libido, sebaliknya keadaan jiwa yang tidak tenang dapat merusak libido.

Pada kasus tertentu, jika suami merasa tidak lagi stabil gairahnya apa lagi jika merasa gagal menunjukkan kejantanannya (impoten atau ejakulasi dini), muatan persahabatan bisa berubah menjadi permusuhan (untuk menutupi kelemahannya). Setiap hari suami uring-uringan dan memandang keliru apa saja yang dilakukan isterinya sehingga isteri yang ingin tetap bersahabat menjadi bingung.

Pada usia paruh baya, ada suami yang padanya muncul apa yang disebut sebagai puber kedua dan puber ketiga. Pada masa puber kedua (usia sekitar 40 tahun) ada kecenderungan lelaki senang berdekatan dengan gadis belasan tahun, sedang pada puber ketiga (antara usia 50-60 th) lelaki tidak lagi tertarik dengan gadis belia, tetapi lebih suka berakrab-akrab dengan wanita paruh baya, yakni wanita yang sudah menunjukkan keberhasilannya sebagai wanita dewasa yang anggun.

Gejala ini sebenarnya normal dan akan reda dengan sendirinya jika direspond secara proporsional. Tetapi jika oleh isterinya disalahfahami atau dicaci maki, gejala “pubertas” ini justeru menuntut aktualisasi.


Atikel dari : Mubarok Institute

Senin, 24 Oktober 2011

Mitsaqon Gholidza dan Hubungannya dengan Membangun Ketahanan Keluarga (1)

Pendahuluan

Akad nikah itu bersifat suci dan mengandung dimensi vertikal disamping horizontal, oleh karena itu meski akad nikah juga merupakan kotrak antara dua pihak, tetapi ia bersifat suci, ilahiyah, dan spiritual. Oleh karena itu tidak dibolehkan adanya nikah muaqqot yang dibatasi oleh waktu sesuai dengan perjanjian. Akad nikah harus berdimensi selama hayat dikandung badan , meski di tengah jalan, agama membolehkan adanya perceraian jika keadaan tidak lagi kondusip untuk meneruskan akad itu. Dari beratnya bobot akad nikah itu maka sebagian ulama menyebutnya sebagai mitsaqon gholidzo, sebagai perjanjian yang dimensinya sangat berbobot. Dari sisi itu maka jika nikah dipandang sebagai ibadah dan mengikuti sunah Rasul maka orang yang menikah dengan niat negatip dihukumi sebagai perbuatan haram.


Problem Mengemudi Bahtera Rumah Tangga
Hidup berumah tangga bagaikan mengemudi bahtera di tengah samudera luas. Lautan kehidupan seperti tak bertepi, dan medan hamparan kehidupan sering tiba-tiba berubah. Memasuki lembaran baru hidup berkeluarga biasanya dipandang sebagai pintu kebahagiaan. Segala macam harapan kebahagiaan ditumpahkan pada lembaga keluarga. Akan tetapi setelah periode “impian indah” terlampaui orang harus menghadapi realita kehidupan. Sunnah kehidupan ternyata adalah “problem”. Kehidupan manusia, tak terkecuali dalam lingkup keluarga adalah problem, problem sepanjang masa. Tidak ada seorangpun yang hidupnya terbebas dari problem, tetapi ukuran keberhasilan hidup justeru terletak pada kemampuan seseorang mengatasi problem. Sebaik-baik mukmin adalah orang yang selalu diuji tetapi lulus terus, khiyar al mu’min mufattanun tawwabun.(hadis). Problem itu sendiri juga merupakan ujian dari Tuhan, siapa diantara ,mereka yang berfikir positip, sehingga dari problem itu justeru lahir nilai kebaikan, liyabluwakum ayyukum ahsanu `amala (Q/67:2) liyabluwakum fi ma a ta kum (Q/6:165)

Awal Akhir Problem Hidup Berumah Tangga
Menurut hadis Nabi, menemukan pasangan yang cocok (saleh/salihah) dalam hidup berumah tangga berarti sudah meraih separoh urusan agama, separoh yang lain tersebar di berbagai bidang kehidupan. Hadits ini mengambarkan bahwa “rumah tangga” itu serius dan strategis. Kekeliruan orientasi, keliru jalan masuk, keliru persepsi, keliru problem solving dalam hidup rumah tangga akan membawa implikasi yang sangat luas. Oleh karena itu problem hidup berumah tanga adalah problem sepanjang zaman, dari sejak problem penyesuaian diri, problem aktualisasi diri, nanti meluas ke problem anak, problem mantu, cucu dan bahkan tak jarang suami isteri yang sudah berusia di atas 60 masih juga disibukkan oleh problem komunikasi suami isteri, hingga kakek dan nenek itu pisah ranjang.

Artikel dari : Mubarok Institute


Minggu, 09 Oktober 2011

Melebur Dosa

Oleh Ustadz Samson Rahman


Suatu saat seorang ulama garda depan Bashrah mendapatkan seorang pemuda meminta resep mujarab pelebur dosa pada seorang dokter. Dan, dokter memerintahkannya untuk melakukan hal-hal berikut.

Ambillah akar pohon kefakiran pada Allah berikut akar tawadhu yang tulus dan ikhlas kepada Allah. Jadikan taubat sebagai campurannya, celupkan dalam wadah rida atas semua takdir Allah. Aduklah dengan adukan qanaah terhadap apa yang Allah berikan kepada kita. Masukkan dalam kuali takwa. Tuangkan ke dalamnya air rasa malu lalu didihkanlah dengan api cinta dan masukkan dalam adonan syukur serta keringkan dengan kipasan harap lalu minumlah dengan sendok pujian (hamdalah).


Banyak orang berlaku dosa dan durjana kepada Allah karena merasa cukup pada kemampuan dirinya seakan tak lagi butuh pada siapa pun, termasuk pada Sang Mahakaya. Dia beranggapan bahwa semua yang dia dapatkan adalah berkat hasil dari kekuatan pikirannya, kemumpunian ilmunya, dan kejernihan kalkulasinya. Inilah yang menimpa Qarun yang angkuh dengan harta yang dimilikinya yang kemudian Allah turunkan azab padanya dengan ditelannya dia oleh bumi yang tidak lagi suka pada kecongkakan yang dia pamerkan sehingga membuat bumi gerah.

Sumber dosa lainnya adalah ketidakridaan dengan apa yang Allah tetapkan pada dirinya. Bibirnya belepotan keluhan, bahkan gugatan kepada Allah mengapa Dia tidak memberikan yang "terbaik" menurut pandangan dan persepsinya.

Dia menyangka bahwa apa yang dia alami saat ini tidaklah tepat bagi dirinya. Lambat kembali kepada Allah adalah dosa kronis lainnya. Dosa mengendap karena kita suka menunda taubat yang seharusnya dipercepat.

Padahal Allah berfirman, "Tidakkah mereka mengetahui bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?" (QS at-Taubah : 104).

Rasa tidak puas dengan apa yang Allah karuniakan pada kita adalah penyakit jiwa kronis lain yang melahirkan buruk sangka kepada Allah. Volume syukur mengecil yang kemudian membuahkan ketamakan.

Ketakwaan akan semakin sarat makna saat pendorongnya adalah mahabbah cinta pada Allah dengan sepenuh jiwa yang tidak lagi berpikir untung rugi dalam menjalankan perintah-Nya. Semangat cinta yang membakar hatinya akan senantiasa menggerakkannya untuk senantiasa dekat merapat dan bergiat untuk merengkuh rida kasih-Nya, mereguk cawan rahmat-Nya. Rasa cintanya yang menggelegak pada Allah akan senantiasa membuat hidup lebih terasa dengan langkah pasti menuju Sang Kekasih. Cawan cintanya senantiasa tumpah ruah dengan air mata takwa, rida, qanaah, taubat, syukur, tawakal, dan sabar.

Ramuan mujarab ini selain menghapuskan dosa juga akan melonjakkan vitalitas keimanan dan akan meledakkan energi keislaman yang akhirnya mengokohkan akar ihsan kita. Selamat mencicipi ramuan mujarab pelebur dosa. Anda akan merasakan khasiatnya yang luar biasa.

Artikel dari : Republika.co.id

Selasa, 06 September 2011

Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A

HALAL BIHALAL
(2/2)

a. Taubat (Tobat)

Terdahulu telah dikemukakan bahwa Al-Quran mengisyaratkan
adanya dua pelaku tobat, yakni Allah dan manusia. Di sini
dapat ditambahkan bahwa ada dua macam tobat (kembalinya)
Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya tobat manusia secara
aktual. Ketika itu ia baru dalam bentuk keinginan dan
kesadaran tentang dosa-dosanya. Tobat pertama Tuhan ini antara
lain tercermin dari firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 186,

Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka sesungguhnya Aku dekat...

Kata 'ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan memakai
huruf Ya' (sebanyak 17 kali) maupun tidak (4 kali), semuanya
digunakan untuk menunjukkan hamba Allah yang taat atau yang
bergelimang di dalam dosa tetapi berkeinginan kembali
kepada-Nya.

Perhatikan firman-Nya:

Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah
ke dalam surga-Ku (QS Al-Fajr [89]: 29-30).

Dan firman-Nya:

Wahai hamba-hamba-Ku yang bergelimang dalam dosa (dan
telah menyadari dosanya sehingga ingin kembali),
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah (QS
Al-Zumar [39]: 53)

Surat Al-Baqarah ayat 186 di atas menjelaskan bahwa Allah
dekat dengan hamba-hamba-Nya, walaupun mereka masih
bergelimang dalam dosa dan maksiat tetapi telah memiliki
kesadaran untuk bertobat.

Tobat Allah (kembalinya Allah) terhadap yang berkeinginan
dekat kepada-Nya, lebih jelas terlihat pada ayat berikut:

Maka Adam menerima dan Tuhan-Nya (petunjuk) berupa
kalimat-kalimat, dan Dia bertobat (mengampuninya) (QS
Al-Baqarah [2]: 37).

Pemberian kalimat-kalimat itu memberi isyarat bahwa Allah
membuka pintu tobat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang
berdosa, yang terketuk hatinya untuk kembali. "Penerimaan
kalimat-kalimat dari Tuhan" itulah yang mengantarkan Adam
mengajukan permohonan ampun kepada Allah.

Langkah pertama dari tobat Allah ini, antara lain dipahami
pula dari redaksi-redaksi fashilat (penutup) ayat-ayat yang
berbicara tentang tobat-Nya.

Perhatikanlah kedua ayat berikut ini:

Allah hendak menerangkan kepada kamu dan mengantarmu ke
jalan orang-orang sebelum kamu (para Nabi dan
orang-orang saleh) dan hendak menerima tobatmu. Allah
Maha Mengetahui lagi Bijaksana (QS Al-Nisa' [4]: 261.

Maka barangsiapa bertobat (di antara pencuri-pencuri
itu) sesudah melakukan kejahatannya, dan memperbaiki
diri, sesungguhnya Allah bertobat kepadanya (menerima
tobatnya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS Al-Ma-idah [5]: 39).

Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan langkah pertama
tobat Allah, yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui
terketuk hatinya atau memiliki kesadaran terhadap dosanya.
Langkah tersebut dilakukan oleh Allah karena Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu, termasuk bisikan-bisikan hati
manusia, dan karena Dia Maha Bijaksana. Dalam posisi inilah
Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat yang
wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia
selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh
dari Allah Swt.

Penutup surat Al-Ma-idah juga berbicara tentang tobat A1lah,
tetapi kali ini dia benar-benar telah "tobat" (kembali) ke
posisi semula. Namun harus disadari bahwa hal ini baru terjadi
jika sang hamba yang berdosa bertobat dan memperbaiki diri.
Allah mendekatkan diri dan kembali ke posisi semula,
disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

b. Al-'Afw (Maaf)

Kata al-'afw terulang dalam Al-Quran sebanyak 34 kali. Kata
ini pada mulanya berarti berlebihan, seperti firman-Nya:

Mereka bertanya kepadamu tentang hal yang mereka nafkahkan
(kepada orang). Katakanlah, "al-'afw" (yang berlebih dari
keperluan) (QS Al-Baqarah [2]: 219).

Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Keduanya
menjadikan sesuatu yang tadinya berada di dalam (dimiliki)
menjadi tidak di dalam dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata
al-'afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan. Memaafkan,
berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam
hati.

Membandingkan ayat-ayat yang berbicara tentang tobat dan maaf,
ditemukan bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh usaha
manusia untuk bertobat. Sebaliknya, tujuh ayat yang
menggunakan kata 'afa, dan berbicara tentang pemaafan semuanya
dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari orang yang
bersalah. Perhatikan ayat-ayat berikut:

Allah mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu
sendiri (tidak dapat menahan nafsumu sehingga
bersetubuh di malam hari bulan Ramadhan dengan dugaan
bahwa itu haram) maka Allah memaafkan kamu (QS
Al-Baqarah [2]: 187).

Allah memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin
kepada mereka, sebelum engkau mengetahui orang-orang
yang benar (dalam alasannya) dan sebelum engkau
mengetahui pula para pembohong? (QS Al-Tawbah [9]: 43).

Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang
setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat
baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah (QS Al-Syura
[42]: 40).

Perhatikan juga firman-Nya dalam surat Ali-'Imran ayat 152 dan
155, juga Al-Maidah ayat 95 dan lOl. Ternyata tidak ditemukan
satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang
ada adalah perintah untuk memberi maaf.

Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada
Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur
[24): 22).

Kesan yang disampaikan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk
tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah,
melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang
enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh
pengampunan dan Allah Swt. Tidak ada alasan untuk berkata,
"Tiada maaf bagimu", karena segalanya telah dijamin dan
ditanggung oleh Allah Swt.

Perlu dicatat pula, bahwa pemaafan yang dimaksud bukan hanya
menyangkut dosa atau kesalahan kecil, tetapi juga untuk dosa
dan kesalahan-kesalahan besar.

Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 51-52, berbicara tentang
pemaafan Allah bagi umat Nabi Musa a.s. yang mempertuhankan
lembu:

Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa
(memberikan Taurat) sesudah empat puluh hari, lalu kamu
menjadikan anak lembu (yang dibuat dari emas) untuk
disembah sepeninggalnya, dan kamu adalah orang-orang
yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan
kesalahanmu, agar kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]:
51-52).

c. Al-Shafh (Lapang Dada)

Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan
kali dalam Al-Quran. Kata ini pada mulanya berarti lapang.
Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat karena kelapangan dan
keluasannya.

Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat
tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi
perlambang kelapangan dada.

Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di
antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.

Perhatikan ayat-ayat berikut:

Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta
melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
penyayang (QS Al-Thaghabun [64]: 14).

Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah
kamu tidak ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24]:
22) .

Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya
Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan
(terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya) (QS
Al-Ma-idah [5]: l3. Juga baca surat Al-Baqarah [2]:
lO9).

Ulama-ulama Al-Quran seperti Ar-Raghib Al-Isfahani menyatakan
bahwa al-shafa lebih tinggi kedudukannya dari al-'afw (maaf).
Pernyataan yang dikemukakan itu dapat dipahami melalui alasan
kebahasaan sebagai berikut.

Seperti dikemukakan terdahulu dari kata al-shafh lahirlah
shafhat yang berarti halaman. Jika Anda memiliki selembar
kertas yang ditulisi suatu kesalahan, lantas kesalahan itu
ditulis dengan pensil, Anda tentu dapat mengambil penghapus
karet untuk menghapusnya. Seperti demikianlah ketika Anda
melakukan 'afw (memberi maaf). Seandainya kesalahan pada
kertas itu ditulis dengan tinta, tentu Anda akan menghapusnya
dengan Tipp Ex agar tidak terlihat lagi, dan di sini Anda
melakukan takfir seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Betapapun Anda menghapus bekas kesalahan, namun pasti sedikit
banyak, lembaran tersebut tidak lagi sama sepenuhnya dengan
lembaran baru. Malah barangkali kertas itu menjadi kusut. Nah,
di sinilah letak perbedaan antara al-shafh yang mengandung
arti lapang dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut
seseorang untuk membuka lembaran baru hingga sedikit pun
hubungan tidak ternodai, tidak kusut, dan tidak seperti
halaman yang telah dihapus kesalahannya.

Mushafahat (jabat tangan) adalah lambang kesediaan seseorang
untuk membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau
menggunakan lagi lembaran lama. Sebab, walaupun kesalahan
telah dihapus, kadang-kadang masih saja ada kekusutan masalah.

Tadi telah dikemukakan bahwa memberi maaf dilanjutkan dengan
perintah al-shafh. Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena
tidak mungkin membuka lembaran baru dengan membiarkan lembar
yang telah ada kesalahannya tanpa terhapus. Itu sebabnya
ayat-ayat yang memerintahkan al-shafh tetapi tidak didahului
oleh perintah memberi maaf, dirangkaikan dengan jamil yang
berarti indah. Selain itu, al-shafh juga dirangkaikan dengan
perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak
(perhatikan firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Hijr [15]: 85,
serta Al-Zukhruf [43]: 89):

Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik
(Al-Hijri [5]: 85).

Berlapang dadalah terhadap mereka dengan mengatakan
salam/kedamaian (QS Al-Zukhruf [43]: 84).

d. Al-Ghufran

Al-ghufran terambil dari kata kerja ghafara yang pada mulanya
berarti menutup. Rambut putih yang disemir hingga tertutup
putihnya disebutkan dengan ghafara asy-sya'ra. Dari akar kata
yang sama, lahir kata ghifarah, yang berarti sepotong kain
yang menghalangi kerudung sehingga tidak ternodai oleh minyak
rambut. Maghfirah Ilahi adalah "perlindungan-Nya dari siksa
neraka."

Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 31 dinyatakannya bahwa,

Katakanlah, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan menutupi
dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang."

Kemudian dalam Al-Quran surat Al-Anfal (8): 29, dinyatakan,

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu
furqan (petunjuk membedakan yang hak dan yang batil),
dan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu, serta
yaghfir lakum (melindungi kamu dari siksa). Dan Allah
mempunyai karunia yang besar.

Dari kedua ayat di atas terlihat, bahwa kata yaghfir bila
dirangkaikan dengan menyebutkan dosa, berarti menutup dosa
dengan sesuatu. Sedangkan bila tidak dirangkaikan dengan
menyebutkan dosa --sebagaimana ditunjukkan dalam surat
Al-Anfal ayat 29-- berarti melindungi manusia dari siksa atau
bencana. Baik dalam konteks pertama maupun konteks kedua,
ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa ghufran (pengampunan
atau perlindungan) tidak dapat diperoleh kecuali setelah
memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dari kedua ayat tersebut juga terbaca bahwa syarat penutupan
dosa dan perlindungan dari siksa adalah berbuat kebajikan. Di
sini terlihat salah satu perbedaan antara al-'afw (maaf)
dengan ghufran. Karena itu, ditemukan ayat yang menggabungkan
keduanya, yakni:

Hapuskanlah dosa kami, lindungilah kami, dan rahmatilah
kami (QS Al-Baqarah [2]: 286).

TAKFIR

Untuk menutup dosa dengan pekerjaan tertentu, Al-Quran juga
menggunakan istilah takfir. Kata ini, terambil dari kata
kaffara yang berarti menutup.

Al-Quran mempergunakan kata kaffara dengan berbagai bentuknya
sebanyak 14 kali (kecuali kaffarat), pelakunya ada1ah A11ah
Swt.

Yang empat kali itu selalu digandengkan dengan syarat
melakukan amal-amal saleh, atau upaya meninggalkan dosa-dosa
besar.

Perhatikan misalnya firman Allah:

Apabila kamu menghindari dosa-dosa besar yang dilarang
untuk melakukannya, akan Kami tutupi
kesalahan-kesalahanmu (QS Al-Nisa' [4]: 3l).

Orang-orang yang beriman dengan beramal saleh pasti
Kami tutupi kesalahan-kesalahan mereka ... (QS
Al-'Ankabut [29]: 7)

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal
saleh, ditutupi kesalahan-kesalahannya (QS Al-Taghabun
[64]: 9).

Dari keempat belas kali yang disebut itu, teramati pula tiga
belas di antaranya dirangkaikan dengan kata as-sayyiat yang
diterjemahkan sebagai kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa
kecil. Hanya satu ayat yang tidak menyebutkan kata as-
sayyiat, melainkan menggunakan istilah aswa' alladzi 'amilu
(perbuatan terjelek yang mereka lakukan), yang pada hakikatnya
dapat juga diartikan sebagai dosa-dosa kecil.

Nah, dari sini dapat dipahami bahwa dosa-dosa kecil seseorang
dapat ditoleransi oleh Allah Swt. akibat adanya amal-amal
saleh yang menutupinya .

Dalam konteks ini Nabi Saw. berpesan,

Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan
susulkanlah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan
itu menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak
yang baik. (HR At-Tirmidzi melalui sahabat Nabi Abu
Dzar).

Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat diperoleh dari
ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan halal-bihalal/maaf
memaafkan. []

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Artikel dari : Media

Rabu, 31 Agustus 2011

Wawasan Al-Qur'an

Oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A

HALAL BIHALAL (1/2)

Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan
bimbingan agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk
memperoleh pesan-pesan kitab suci itu. Pertama, melalui
penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan murid-murid
mereka. Hal ini dinamai tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui
analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung
oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir
bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari
penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, yang dinamai
tafsir bir-riwayah.

Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal
melalui Al-Quran dengan menitikberatkan pandangan pada cara
yang ketiga.

Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada
beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal
bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal 'Aidin
wal-Faizin.


IDUL FITRI

Kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni
kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa
sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan
atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu,
lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.

Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?

Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti
asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.

Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari
dosa dan suci, sehingga 'idul fithr antara lain berarti
kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau
keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan
demikian ia berada dalam kesucian.

Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya
semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama
manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari
sekian banyak ayat Al-Quran.

Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan
yaitu, Janganlah mendekati pohon ini (QS Al-Baqarah [2]: 35).
Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena
berdosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Quran menyatakan,
maka Tuhan mereka menyeru keduanya, "Bukankah Aku telah
melarang kamu berdua mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7]
22).

Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara
lain:

Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama
Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni
masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu,
isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah
isyarat dekat, yakni "ini". Tetapi, ketika Adam dan Hawa
melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah
pun demikian, sehingga Allah harus "menyeru mereka" (yakni
berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang
menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat
jauh, yakni "itu" (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di
atas).

Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing
menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan
mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi
semula. Memang, tegas Al-Quran,

Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari
kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku,
sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan
jika mereka bermohon kepada-Ku (QS Al-Baqarah [2]:
186).

Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah
mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan
manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah
berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan
kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku
tobat, yaitu manusia dan Allah Swt.

Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia
(Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha
Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]:
37).

Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat
diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu
kembali Kami pun akan kembali" (QS Al-Isra' [l7]: 8), bahwa
Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.

Hadis Nabi Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara
lain,

Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal,
Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat
kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila
ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang
menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin
Malik).

Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah Saw.
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa
Rasulullah Saw. bersabda,

Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada
saat ia bertobat dan salah seorang di antara kamu yang
mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir,
kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak
binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia
berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia
berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja
binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun
memegang tali kendalinya sambil berkata saking
gembiranya, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku
Tuhanmu."

Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik
kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini
--menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti
senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa
pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki
potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya.
Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan
tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun
manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia
menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa
yang pernah ia lukai hatinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fltri
mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan
kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh
antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah
diperbuat.

HALAL BIHALAL

Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang
bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang
mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.

Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok
halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk
ditinggalkan). Nabi Saw. bersabda, "Abghadu al-halal ila
Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah
pemutusan hubungan suami-istri).

Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu
tidak akan menyebahkan lahirnya hubungan harmonis antar
sesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan
kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata
halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal
pengertian hukum.

Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di
antaranya pada konteks kecaman, yaitu:

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu
mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yunus [10]:
59).

Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan
ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu
adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi
mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).

Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak,
terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara
yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja
telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih
lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.

Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua
ciri yang sama, yaitu

a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),

b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah
(baik).

Perhatikan keempat ayat berikut

Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS
Al-Baqarah [2]: 168)

Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)

Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah
dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil
itu) (QS Al-Anfal [8]: 69).

Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah
diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)

Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan
aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan
merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat
menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam
ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas,
sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus
thayyib (baik). Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal
yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak
termasuk dalam kategori halalan thayyiban.

Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib)
sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai
berikut:

Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat),
ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang
yang berada dalam satu barisan/kesatuan).

Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang
berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang
yang menyucikan diri).

Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang
bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima
kali terhadap al-muhsinin.

Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak
mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah
adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap
mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali
dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang
baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak
menghasilkan kebaikan.

Dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 134 diisyaratkan
tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.

Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat
keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan
orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap
mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat
baik (terhadap orang yang bersalah).

Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah,
tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat
baik terhadap orang yang bersalah.

MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN

Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal
'Aidin wal Faizin.

Kata 'Aidin, adalah bentuk pelaku 'Id.

Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti
orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang
berarti keberuntungan.

Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan
berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada
bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali
dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam
bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk
al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal
yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang
terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena
tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia
tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.

Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat
berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu
ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan
telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak
ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka." Sungguh,
jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta
rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum
pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan
dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya
memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan
harta rampasan perang)" (QS Al-Nisa' [4]: 72-73).

Kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi
orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan
popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya
sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan
keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab dia
dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan petunjuk A1-Quran
yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan
kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan
kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif
(al-faizin atau al-faizun).

Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari
ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai
bentuknya itu (kecuali surat Al-Nisa [73]), seluruhnya
bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, seba gai
ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:

Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung
Al-Hasyr [59]: 20).

Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit-- dari
neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia
telah beruntung (QS Ali 'Imran [3]: 185).

PENGAMPUNAN

Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk
menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin
hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya, antara lain
taba (tobat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara
(menutupi), dan shafah.

Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan
memberikan maksud yang berbeda.

---------------- (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Artikel dari: Media

Jumat, 26 Agustus 2011

Zakat : Definisi dan Tujuannya

خذ من امولهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم ان صلأ تك سكن لهم والله سميع عليم
dakwatuna.com – “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 03)

Definisi Zakat

Zakat adalah bagian tertentu dari kekayaah yang Allah perintahkan untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak (mustahiq). Disebut pula shadaqah seperti dalam firman Allah di surat At-Taubah ayat 60. Yang dimaksudkan shadaqah dalam ayat itu adalah zakat wajib, bukan shadaqah sunnah. Al-Mawardi berkata, “Shadaqah adalah zakat, dan zakat adalah shadaqah. Beda nama tapi satu makna.”


Sejarah

Zakat menjadi kewajiban secara utuh di Madinah dengan ditentukan nishab, ukuran, jenis kekayaan, dan distribusinya. Negara Madinah juga telah mengatur dan menata sistem zakat dengan mengirim para petugas untuk memungut dan mendistribusiannya. Sebenarnya, prinsip zakat sudah diwajibkan sejak fase Makkah dengan banyaknya ayat-ayat yang menerangkan sifat-sifat orang beriman dan menyertakan “membayar zakat” sebagai salah satunya. Misalnya seperti ayat yang menjadi dalil kewajiban zakat tanaman, “Makanlah dari buahnya ketika berbuah, dan berikan haknya pada hari panennya; Dan jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (Al-An’am: 141). Ayat ini adalah ayat Makkiyah

Antara Zakat dan Riba

Kewajiban zakat sudah ditetapkan sejak fase Makkiyah, kemudian dikukuhkan dengan aturan praktisnya di Madinah. Demikian juga hukum riba telah ditetapkan sejak di Makkah dan secara praktis ditetapkan di Madinah. “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Ar Rum: 39)

Dari ayat di atas jelaslah bahwa riba yang secara zahir adalah penambahan harta, namun sesungguhnya pengurangan. Sedangkan zakat yang secara zahir pengurangan harta, tapi pada hakikatnya adalah penambahan harta di sisi Allah swt.

Hukum Zakat

Zakat adalah kewajiban dan satu dari rukun Islam yang lima rukun seperti dalam hadits Rasulullah saw., “Islam didirikan di atas lima hal, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah jika mampu.” (muttafaq alaih)

Dalam hadits Ibnu Abbas diterangkan bahwa Rasulullah saw. ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman berpesan kepadanya, “Sesungguhnya kamu akan menemui kaum Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya aku utusan Allah. Jika mereka sudah menerima hal ini, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menerimanya, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat hartanya, diambil dari yang lebih kaya dan dibagikan kepada yang fakir di antara mereka. Jika mereka menerima hal ini, maka hati-hati dengan harta mereka yang bagus. Dan waspadailah doanya orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada sekat antara dia dengan Allah.” (riwayat al-jamaah)

Motivasi Zakat

Allah swt. mendorong kaum muslimin untuk membayar zakat dengan menjelaskan manfaat zakat bagi kebersihan jiwanya. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka….” (At-Taubah: 103)

Membayar zakat adalah salah satu sifat orang bertakwa. “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyat: 19)

Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal yang aku bersumpah, maka hafalkanlah: 1. Tidak akan berkurang harta karena bersedekah; 2. tidak ada seorang hamba pun yang dizalimi kemudian ia bersabar, pasti Allah akan menambahkan kemuliaan; 3. tidak ada seorang hamba pun yang membuka pintu meminta-minta, kecuali Allah akan bukakan baginya pintu kefakiran.” (At-Tirmidzi)

Ancaman Bagi Yang Menolak Zakat

Allah swt. memperingatkan orang yang menolak membayar zakat dengan berfirman, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (At-Taubah: 34-35)

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorangpun yang memiliki simpanan, kemudian ia tidak mengeluarkan zakatnya, pasti akan dipanaskan simpanannya itu di atas jahanam, dijadikan cairan panas yang diguyurkan di lambung dan dahinya, sehingga Allah berikan keputusan di antara para hamba-Nya di hari yang lama seharinya sekitar lima puluh ribu tahun, sampai diketahui ke mana perjalanannya, ke surga atau neraka.” (Asy-Syaikhani)

Menolak Zakat Hukumnya Kafir

Para ulama bersepakat bahwa orang yang menolak/mengingkari kewajiban zakat adalah kafir, dan keluar dari Islam. Imam An-Nawawi berkata tentang seorang muslim yang mengetahui kewajiban zakat kemudian mengingkarinya, maka dengan pengingkarannya itu ia menjadi kafir, berlaku atasnya hukum orang murtad, berupa disuruh taubat dan diperangi. Karena kewajiban zakat adalah sesuatu yang secara aksiomatik diketahui kewajibannya dalam agama.

Orang yang mengingkari zakat dipandang sangat hina. Bahkan dikatakan: sudah tidak zamannya lagi ada orang yang menolak zakat.

Hukuman Orang yang Menolak zakat

Orang yang menolak membayar zakat diganjar dengan tiga jenis hukuman, yaitu:

a. Hukuman akhirat, seperti hadits yang telah disebutkan di atas.

b. Hukuman duniawi yang telah Allah tetapkan, seperti dalam hadits Nabi, “Tidak ada suatu kaum yang menolak zakat, pasti Allah akan uji mereka dengan paceklik (kelaparan dan kekeringan). (Al-Hakim, Baihaqi, dan Thabrani). Dalam hadits yang lain, “… dan mereka menolak zakat hartanya kecuali para malaikat akan mencegah hujan dari langit, dan jika tidak karena hewan ternak mereka tidak akan diberi hujan.” (Al-Hakim, Ibnu Majah, Al-Bazzar, dan Baihaqi)

c. Hukuman duniawi yang diberikan oleh pemerintahan muslim. Rasulullah saw. bersabda tentang zakat, “Barangsiapa yang memberikannya untuk memperoleh pahala dari Allah, maka ia akan memperoleh pahala. Dan barangsiapa yang menolaknya, maka kami akan mengambil separuh hartanya, dengan kesungguhan sebagaimana kesungguhan Rabb kami. Tidak halal bagi keluarga Muhammad sedikitpun darinya.” (Ahmad, An-Nasa’i, Abu Daud, dan Baihaqi)

Sedangkan jika penolakan dilakukan oleh sekelompok kaum muslimin, maka negara wajib memeranginya dan mengambil zakat mereka dengan paksa. Inilah yang dilakukan Abu Bakar r.a. ketika ada kabilah-kabilah yang menolak membayar zakat. Kata Abu Bakar, “Demi Allah, aku akan memerangi orang yang membedakan antara shalat adan zakat. Karena sesungguhnya zakat itu adalah hak harta kekayaan. Demi Allah jika mereka menolak memberikan seekor hewan kepadaku, yang pernah mereka berikan kepada Rasulullah saw., pasti akan aku perangi karena penolakannya itu.” (Al-jama’ah, kecuali Ibnu Majah)

Tujuan dan Pengaruh Zakat


Zakat adalah salah satu ibadah terpenting dalam Islam. Al-Qur’an menyebutkannya dalam dua puluh delapan ayat. Zakat dalam Islam sangat berbeda dengan sistem zakat di manapun. Pada saat pajak hanya bertujuan pada pengumpulan dana untuk menggerakkan proyek dan policy Negara, kita dapati zakat dilakukan dengan sasaran yang bermacam-macam, di sudut kehidupan yang membentang dari pribadi sampai masyarakat.

Pertama kali zakat merupakan ibadah seorang muslim yang dilakukan untuk menggapai ridha Allah, dengan niat yang ikhlas agar diterima. Dengan itu, maka terealisasi tujuan utama keberadaan manusia di muka bumi ini, yaitu beribadah kepada Allah. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Dengan menunaikan zakat akan terelisasi juga tujuan-tujuan berikutnya, yaitu:

a. Berkaitan dengan Muzakki

Zakat membersihkan muzakki dari penyakit pelit, dan membebaskannya dari penyembahan harta. Keduanya adalah penyakit jiwa yang sangat berbahaya, yang membuat manusia jatuh dan celaka. “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr: 9). Rasulullah saw. bersabda, “Celaka hamba dirham, celaka hamba pakaian dagangan.” (Bukhari)
Zakat adalah latihan berinfaq fii sabilillah. Dan Allah swt. menyebutkan infaq fii sabilillah sebagai sifat wajib orang muttaqin dalam lapang maupun sempit dan menyertakannya sebagai sifat terpenting. Menyertakannya dengan iman kepada yang ghaib, istighfar di waktu fajar, sabar, benar, taat. Seseorang tidak akan pernah berinfak secara luas di jalan Allah kecuali setelah terbiasa membayar zakat, yang merupakan batas wajib minimal yang harus diinfakkan.
Zakat adalah aktualisasi syukuri nikmat yang Allah berikan, terapi hati dan membersihkannya dari cinta dunia. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103). Dan sesungguhnya zakat adalah mekanisme membersihkan dan memperbanyak harta itu sendiri. “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)
b. Berkaitan dengan Penerima

Zakat akan membebaskan penerimanya dari tekanan kebutuhan, baik materi (seperti makan, pakaian, dan papan), kebutuhan psikis (seperti pernikahan), atau kebutuhan maknawiyah fikriyah (seperti buku-buku ilmiah). Karena zakat didistribusikan dalam semua kebutuhan di atas. Dengan itu, seorang fakir akan dapat mengikuti kewajiban sosialnya. Ia akan merasa sebagai anggota masyarakat yang utuh karena tidak menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk berusaha memperoleh sesuap makanan guna penyambung hidup.
Zakat membersihkan jiwa penerimanya dari penyakit hasad (iri) dan benci. Karena orang miskin yang sangat membutuhkan itu ketika melihat orang di sekitarnya hidup dengan mewah dan berlebih, tetapi tidak mengulurkan bantuannya, akan sakit hati (iri, dendam, dan benci) kepada orang kaya dan bahkan kepada masyarakat secara umum. Hal ini akan memutuskan tali persaudaraan, menghilangkan rasa cinta, dan mencabik-cabik kesatuan sosial. Sesungguhnya iri dan benci adalah penyakit yang melukai jiwa dan fisik, serta menyebabkan banyak penyakit seperti infeksi usus besar dan tekanan darah. Yang namanya penyakit, tentu akan menggerogoti eksistensi masyarakat secara keseluruhan. Karena itu Rasulullah saw. memperingatkan, “Telah menjalar di tengah-tengah kalian penyakit umat sebelum kalian, yaitu iri dan benci. Kebencian adalah pisau penyukur. Aku tidak mengatakan penyukur rambut, tetapi pencukur agama.” (Al-Bazzar dan Baihaqi)
Pengaruh Zakat Bagi Masyarakat

Di antara kelebihan zakat dalam Islam adalah ibadah fardiyah (individual) sekaligus sosial. Sebagai sebuah sistem, pengelolaan zakat membutuhkan karyawan yang mengambilnya dari para orang kaya dan membagikannya kepada yang berhak. Mereka ini akan bekerja dan memperoleh imbalan dari pekerjaannya. Zakat sebagai sebuah tatanan sosial dalam Islam yang memiliki manfaat banyak sekali, di antaranya:

Zakat adalah hukum pertama yang menjamin hak sosial secara utuh dan menyeluruh. Imam Az-Zuhriy menulis tentang zakat kepada Umar bin Abdul Aziz: Bahwa di sana terdapat bagian bagi orang-orang yang terkena bencana, sakit, orang-orang miskin yang tidak mampu berusaha di muka bumi, orang-orang miskin yang meminta-minta, bagi muslim yang dipenjara sedang mereka tidak punya keluarga, bagian bagi orang miskin yang datang ke masjid tidak memiliki gaji dan pendapatan, tidak meminta-minta, ada bagian bagi orang yang mengalami kefakiran dan berhutang, bagian untuk para musafir yang tidak memiliki tempat menginap dan keluarga yang menampungnya.
Zakat berperan penting dalam menggerakkan ekonomi. Karena seorang muslim yang menyimpan harta, berkewajiban mengeluarkan zakatnya minimal 2,5% setiap tahun. Hal ini akan mendorongnya untuk bersemangat mengusahakannya agar zakat itu bisa dikeluarkan dari labanya. Inilah yang membuat uang itu keluar dari simpanan dan berputar dalam sektor riil. Ekonomi bergerak dan masyarakat akan memperoleh keuntangan dari putaran itu.
Zakat memperkecil kesenjangan. Islam mengakui adanya perbedaan rezeki sebagai akibat dari perbedaan kemampuan, keahlian, dan potensi. Pada saat bersamaan Islam menolak kelas sosial timpang, satu sisi hidup penuh kenikmatan dan sisi lain dalam kemelaratan. Islam menghendaki orang-orang miskin juga berkesempatan menikmati kesenangannya orang kaya, memberinya apa yang dapat menutup hajatnya. Dan zakat adalah satu dari banyak sarana yang dipergunakan Islam untuk menggapai tujuan di atas.
Zakat berperan besar dalam menghapus peminta-minta, dan mendoroang perbaikan antara sesama. Maka ketika untuk membangun hubungan baik itu memerlukan dana, zakat dapat menjadi salah satu sumbernya.
Zakat dapat menjadi alternatif asuransi. Asuransi adalah mengambil sedikit dari orang kaya kemudian memberikan lebih banyak lagi kepada orang kaya. Sedang zakat mengambil dari orang kaya untuk diberikan kepada fuqara yang terkena musibah.
Zakat memberanikan para pemuda untuk menikah, lewat bantuan biaya pernikahannya. Para ulama menetapkan bahwa orang yang tidak mampu menikah karena kemiskinannya diberikan dari zakat yang membuatnya berani menikah.

Sumber : dakwatuna.com

Jumat, 19 Agustus 2011

Wawasan Al-Qur'an



Oleh :Dr.M.Quraish Shihab,M.A

LAILAT AL-QADAR

Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita berbicara
tentang surat Al-Qadar.

Surat Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam
Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surat Iqra'. Para ulama
Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat
Iqra'. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat
Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.

Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas
perintah Allah Swt., dan dari perurutannya ditemukan
keserasian-keserasian yang mengagumkan.

Kalau dalam surat Iqra' Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim)
diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain
adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat
Al-Qadar ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan
kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.

Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah
satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran
"lebih baik dari seribu bulan."


Tetapi apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali
saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang
lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa?
Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya
pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisik
material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air,
heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)?
Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering
muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.

Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan
pernyataan Al-Quran bahwa, "Ada suatu malam yang bernama
Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh
berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar
dengan penuh kebijaksanaan."

Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu
malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi
peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang
penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS
Al-Dukhan [44]: 3-5).

Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci
menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan
(QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr
[97]: l).

Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui
betapa besar kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya
"pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu:

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2)

Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran,
sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang
berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum
al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak
mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan
berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari
angka tiga belas itu adalah:

Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
(QS Al-Thariq [86]: 2)

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(QS Al-Balad [90]: 12)

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2)

Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan
objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat,
dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal
pikiran manusia.

Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara
pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan
Al-Quran dalam tiga ayat.

Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah
dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)

Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah)
dekat? (QS Al-Syura [42]: 17~.

Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan
dosa)? (QS 'Abasa [80]: 3).

Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika
menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga
berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut
tidak mungkin diketahui manusia.

Secara gamblang Al-Quran --demikian pula As-Sunnah--
menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari
kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini
berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal
yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri,
sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada
akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga
informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian
perhedaan kedua kalimat tersebut.

Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk
kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di sanalah
kita dapat memperoleh informasinya.

Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa
arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di
sini ditemukan berbagai jawaban.

Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:

1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami
sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.
Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah
dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama
yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran
yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada
malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah dan
strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw., guna mengajak manusia
kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan
perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun
kelompok.

2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada
bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya
Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala
kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia
ditemukan dalam surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang
kaum musyrik:

Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang
semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak
menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.

3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena
banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan
dalam surat Al-Qadr:

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh
((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan.

Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara 1ain
dalam surat A1-Ra'd (13): 26:

Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan
mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).

Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar,
karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila
diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada
malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian
dan ketenangan. Namun demikian, sebelum kita melanjutkan
bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan
dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun
atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas
abad yang lalu?

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu
Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena
umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan
tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka
atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia
itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh
malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu
turunnya Al-Quran.

Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut
paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda
bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka
berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks
hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada
setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw. menganjurkan
umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu,
secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua
puluh Ramadhan.

[tulisan Arab]

Demikian sabda Nabi Saw.

Memang turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi
pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa
ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa
kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu
turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu
sendiri.

Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata
kerja mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang
mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada
masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap
orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun
dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat
berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga
baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi 1ain berarti
bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat
fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak
dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik
material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang
tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna
menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan
bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat
Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang
tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat,
tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun
setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang
sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang
kekasih tidak sudi mampir menemuinya?

Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan
Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah
bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga
oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa
selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat
kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu
berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw.
menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan
merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan
Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam
kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan
bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat
itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna
meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai
dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar
kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan
kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali
tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi
ilustrasi berikut:

Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada
dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering
merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang
terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan
ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang
itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu
mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.

Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang
membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata
'Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau
setan. Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui
orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang
bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga
jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan,
dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan
damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar,
tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari
kemudian kelak.

Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil
mengamalkan i'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan
penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas
kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang
diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta
dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan
pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengkayaan
iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i'tikaf, dianjurkan
untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan
bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.

Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali
adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang
diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai
kesuciannya, turunlah Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan
membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam
perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.
Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam
rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara 1ain
adalah melakukan i'tikaf.

Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu
berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walau
sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun Nabi Saw.
selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan
puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil
berdoa.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati
maknanya adalah:

Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan
di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami
dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).

Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh
kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih
lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih
kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang
disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk
menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam
kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia,
tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.

Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak
menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut,
tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar
hadis yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup ketat
terhadap hadis Nabi Saw.

Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan
melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,

Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada
pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,

Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan
sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula
panas ...

Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu
kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang
kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan
ketenangan. Semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui
kita.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Artikel dari : Media

Sabtu, 13 Agustus 2011

Ramadhan dan Keshalihan Sosial

Oleh : Dr.M.Hidayat Nur Wahid,M.A

dakwatuna.com – Apakah yang kita dapatkan dari puasa dan serangkaian ibadah di bulan Ramadhan? Tentu saja jawaban dari pertanyaan tersebut sangat relatif, berbeda antara seorang dan orang lainnya, tergantung bagaimana kita memanfaatkan setiap momentum yang disediakan Allah dalam bulan Ramadhan. Namun, apabila kita kembalikan kepada tujuan diwajibkannya puasa Ramadhan, sesungguhnya yang akan didapatkan adalah meningkatnya ketakwaan, baik dalam skala pribadi maupun kolektif.
Takwa sungguh amat luas maknanya dan amat dalam pengertiannya. Salah satu makna takwa menurut para ulama adalah kehati-hatian. Makna ini penting kita hadirkan dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia saat ini yang tengah menghadapi serangkaian persoalan sistemik.

Belakangan ini, kerap kita menyaksikan tindakan anarkis dan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat terhadap sebagian yang lainnya. Beberapa waktu lalu kita mendengar berita tawuran pelajar, tawuran antarwarga masyarakat yang bertetanggaan wilayah, kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah, juga perusakan tempat ibadah. Media massa tidak bosan memberitakan berbagai gejala kerawanan sosial yang menandakan ketahanan sosial bangsa Indonesia tengah melemah dan mengalami penurunan.
Puasa melatih kita untuk bisa menahan dan mengendalikan diri berbagai kecenderungan destruktif. Ada saat di mana kita boleh makan dan minum dan ada saat di mana kita sudah tidak diperbolehkan lagi untuk makan dan minum. Ada batas waktu yang jelas yang membedakan keduanya. Ini adalah sebuah latihan kehati-hatian yang kita lakukan sepanjang bulan Ramadhan.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia, dikenal peringatan menjelang datangnya Subuh, yakni imsak. Imsak adalah sebuah upaya memberi peringatan agar masyarakat berhati-hati bahwa beberapa saat lagi akan masuk waktu Subuh yang menandakan dimulainya puasa. Dengan tibanya peringatan imsak, masyarakat mulai menghentikan aktivitas sahur dan segera bersiap menjalankan shalat Subuh berjamaah ke masjid.
Apabila tradisi imsak ini kita bawa dalam kehidupan yang lebih luas, akan membuat masyarakat terbiasa menjaga diri dan berhati-hati dari berbagai tindakan yang bisa menimbulkan kerusakan dan kerugian, serta menzalimi orang lain. Puasa Ramadhan sungguh telah memberikan pelatihan dan pembiasaan yang sangat positif dan konstruktif bagi setiap pribadi dan bagi masyarakat secara keseluruhan agar senantiasa memiliki sikap kehati-hatian dalam kehidupan. Tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi oleh berbagai ajakan yang mengarah kepada ketidakbaikan.
Nabi SAW memberikan pengarahan yang sangat jelas dalam hal ini. “Apabila salah seorang dari kamu berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan kasar. Jika seseorang mencaci atau menyerangnya, hendaklah ia mengatakan: Aku sedang berpuasa.”
Arahan tersebut menandakan pentingnya kehati-hatian agar kita tidak mudah dipancing dan diprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan ataupun anarkis. Kata-kata kotor dan kasar saja dilarang saat berpuasa, apalagi melakukan tindakan yang menyakiti dan merugikan orang lain. Bahkan, ketika ada orang yang mencaci dan menyerang, kita diarahkan untuk tidak meladeni dan justru menjaga diri dengan penuh kesabaran. “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan jahat, Allah tidak butuh kepada ia meninggalkan makan dan minum.”
Inilah yang didapatkan umat Islam dengan menjalankan puasa Ramadhan. Mereka akan mendapatkan sifat dan sikap kehati-hatian dalam kehidupan sehingga terbentuklah masyarakat yang dipenuhi oleh kebaikan. Bukan saja kesalehan individu, melainkan juga kesalehan sosial menjadi hasil penting yang didapatkan oleh masyarakat. Terbentuknya masyarakat yang saleh dan jauh dari sikap sembrono akan mengantarkan pada terciptanya lingkungan yang aman, damai, tenteram, dan sejahtera.
Cobalah kita perhatikan kesalehan masyarakat pada zaman terdahulu saat dipimpin oleh Khalifah Abu Bakar. Waktu itu, Umar bin Khattab diangkat menjadi qadi untuk menyelesaikan persoalan di antara masyarakat. Suatu saat, Umar beraudiensi dengan Khalifah Abu Bakar seraya mengajukan usulan, “Sudah lama aku memegang jabatan qadi dalam pemerintahanmu ini, tetapi tidak banyak orang yang mengadukan permasalahannya kepadaku. Karena itu, sekarang aku mengajukan permohonan agar dibebaskan dari jabatan ini.”
Abu Bakar terkejut atas usulan Umar ini. “Mengapa engkau mengajukan permohonan ini? Apakah karena beratnya tugas tersebut, ya Umar?” tanya Khalifah. “Tidak, ya Khalifah. Akan tetapi, aku sudah tidak diperlukan lagi menjadi qadinya kaum Mukminin. Mereka semua sudah tahu haknya masing-masing sehingga tidak ada yang menuntut lebih dari haknya. Mereka juga sudah tahu kewajibannya sehingga tidak seorang pun yang merasa perlu menguranginya. Mereka satu sama lain mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya. Kalau salah seorang tidak hadir, mereka mencarinya,” jawab Umar.
“Kalau ada yang sakit, mereka menjenguknya; kalau ada yang tidak mampu, mereka membantunya; kalau ada yang membutuhkan pertolongan, pasti mereka segera menolong; dan kalau ada yang terkena musibah, mereka menyampaikan duka cita. Agama mereka adalah nasihat. Akhlak mereka adalah amar makruf dan nahi munkar. Karena itulah, tidak ada alasan bagi mereka untuk bertengkar,” tambah Umar.
Ungkapan Umar di atas menggambarkan bagaimana kesalehan masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Sedemikian bagus mereka dalam berinteraksi, seakan-akan tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Jabatan qadi yang diemban Umar tidak lagi memiliki peran karena masyarakat sudah memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial. Mereka saling menjaga satu dengan yang lainnya sehingga tercipta kehidupan yang harmonis.
Sesungguhnya puasa Ramadhan akan mampu melahirkan kesalehan sosial yang membuat masyarakat hidup dalam kedamaian, hidup dalam ketenangan, dan terjauhkan dari berbagai kerusakan. Sangat indah apabila seluruh masyarakat Muslim yang menjalankan ibadah Ramadhan mampu menangkap hikmah besar dari setiap aktivitas ibadahnya karena mereka ini yang menjadi jumlah terbesar bangsa Indonesia.
Apabila ibadah puasa, Tarawih, tadarus Alquran, iktikaf dan berbagai aktivitas ibadah Ramadhan dilakukan dengan sepenuh penghayatan, pasti akan meningkatkan ketakwaan. Apabila takwa meningkat, kehidupan akan diwarnai oleh kehati-hatian. Satu sama lain akan saling menjaga dan menguatkan dalam kebaikan, tidak akan mencurangi atau menzalimi.
Betapa kita semua merindukan suasana masyarakat yang dipenuhi oleh harmoni. Di semua tempat, lahirlah masyarakat yang saling mengasihi, saling menghormati, saling menasihati, saling menjaga dalam kebaikan.
Di semua tempat, lahirlah masyarakat yang mengerti hak dan kewajiban, yang menghindarkan diri dari perbuatan zalim dan menghindarkan diri dari kerusakan. Sebuah masyarakat yang diwarnai oleh kesalehan sosial. Tentu suasana ideal tersebut menjadi impian kita semua dan menjadi kewajiban bagi kita untuk merealisasikan. Insya Allah, puasa dan serangkaian ibadah Ramadhan akan mengantarkan kita menuju kesalehan sosial. Semoga. (RoL)


Sumber : dakwatuna.com



Jumat, 05 Agustus 2011

Mari Berpuasa Lahir dan Batin

Oleh Dr A Ilyas Ismail

Seperti dimaklumi, puasa merupakan ibadah yang sangat istimewa sebagai proses penyegaran kembali (rejuvenation), baik fisik, mental, maupun spiritual. Ibadah ini bila dilaksanakan dengan benar dan dengan sikap batin yang kuat serta tulus karena Allah (imanan wa ihtisaban), maka ia dapat mengantar pelakunya meraih derajat takwa. (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Namun, untuk mencapai kualitas ini, seorang muslim mesti menjalankan puasa, tidak saja puasa lahir, tetapi juga puasa batin. Puasa lahir, seperti diajarkan oleh para ahli fikih, ialah menahan diri (al-imsak) dari makan dan minum, serta melakukan hubungan suami-isteri dari terbit fajar hingga matahari terbenam dengan niat karena Allah.


Sedangkan puasa batin, seperti diajarkan oleh para sufi, ialah menahan diri dari segala hal yang dilarang oleh Allah, bahkan menahan diri dari apa pun yang akan memalingkan manusia dari mengingat Allah. Horizon tertinggi dari puasa batin (internal fasting), menurut Imam Ghazali, juga menurut Kess Waaijman, dalam Spirituality: form, foundation, method (2002), adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Yang Terkasih (God is the Beloved One). Puasa batin mengantar manusia mencapai esensi Islam, yaitu berserah diri secara total kepada Allah SWT (total surrender to god).

Dalam buku Asrar al-Shaum, al-Ghazali menetapkan enam rukun yang bersifat moral dan spiritual, agar puasa batin dapat mencapai sasarannya, yaitu sah (al-shihhah) dan diterima Allah (al-maqbul). Pertama, mensucikan pandangan (shaum al-bashar) dari segala hal yang dilarang oleh Allah. Pandangan itu berbahaya karena ia seringkali menjadi titik awal keburukan. Kata Nabi, pandangan itu merupakan salah satu anak panah Iblis (sahmun min sihami Iblis). (HR Hakim dari Hudzaifah ibn al-Yaman).

Kedua, menyucikan lisan atau perkataan (shaum al-lisan) dari dusta, gosip, dan adu domba. "Jangan berkata kotor dan jangan berbuat jahil." (HR Bukahari dan Muslim). Orang yang berpuasa, demikian al-Ghazali, lebih baik diam (al-sukut), lalu banyak zikir, dan baca Alquran.

Ketiga, menyucikan pendengaran alias tutup telinga (shaum al-sam`) dari perkatan dusta dan kebohongan. Orang yang mendengar kebohongan sama buruknya dengan orang yang mengatakannya. Dalam Alquran, pendengar kebohongan disamakan dengan pemakan riba atau suap (QS al-Maidah [5]: 42 dan 63).

Keempat, menyucikan anggota tubuh yang lain (shaum baqiyat al-jawarih), seperti tangan, kaki, dan organ tubuh yang lain, serta mensucikan diri dari makan dan minum barang haram. Kelima, mengurangi makan yang terlalu kenyang. Sebab, hal demikian bertentangan dengan salah satu tujuan puasa, yaitu melepaskan diri dari kendali syahwat perut. Keenam, cemas, tetapi tetap penuh harap (optimistis) bahwa ibadah puasa yang dilakukan diterima oleh Allah SWT.

Semoga kita tak hanya puasa lahir, tetapi juga puasa batin. Dengan begitu, puasa betul-betul menjadi penyembuh yang cespleng (infallible remedy) untuk kebugaran kita, baik fisik, psikis, maupun mental dan spiritual. Wallahu a`lam.

Sumber : Republika.co.id



Jumat, 29 Juli 2011

Fiqih Ringkas Tentang Puasa

Oleh: Mochamad Bugi

Shaum atau puasa secara bahasa bermakna al-imsak atau menahan diri dari sesuatu seperti menahan diri dari makan atau berbicara. Makna shaum seperti ini dipakai dalam ayat ke-26 surat Maryam. “Maka makan dan minumlah kamu, wahai Maryam, dan tenangkanlah hatimu; dan jika kamu bertemu seseorang, maka katakanlah saya sedang berpuasa dan tidak mau berbicara dengan siapapun.”
Sedangkan secara istilah, shaum adalah menahan dari dari dua jalan syahwat, mulut dan kemaluan, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan pahala puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Keutamaan Bulan Ramadhan
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah saw. bersabda, “Penghulunya bulan adalah bulan Ramadhan dan penghulunya hari adalah hari Jum’at.” (Thabrani)
Rasulullah saw. bersabda, ” Kalau saja manusia tahu apa yang terdapat pada bulan Ramadhan, pastilah mereka berharap Ramadhan itu selama satu tahun.” (Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dan Baihaqi)

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Apabila datang bulan puasa, dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka.” (Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Apabila datang malam pertama bulan Ramadhan, para setan dan jin kafir akan dibelenggu. Semua pintu neraka ditutup sehingga tidak ada satu pintu pun yang terbuka; dan dibuka pintu-pintu surga sehingga tidak ada satu pun yang tertutup. Lalu terdengara suara seruan, “Wahai pencari kebaikan, datanglah! Wahai pencari kejahatan, kurangkanlah. Pada malam itu ada orang-orang yang dibebaskan dari neraka. Dan yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Keutamaan Puasa Ramadhan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan penuh harap, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang shalat malam pada bulan puasa, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Bukhari dan Muslim)
Waktu Berpuasa
Ibadah puasa dimulai sejak masuknya fajar shadiq (waktu shalat Subuh) hingga terbenamnya matahari (masuk waktu shalat Maghrib). Allah menerangkan di dalam al-Qur’an dengan istilah benang putih dari benang hitam.
Doa Berbuka Puasa
Jika berbuka puasa, Rasullullah saw. membaca, “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.” Artinya, ya Allah, untukmu aku berpuasa dan dengan rezeki yang engkau berikan kami berbuka. Dan Rasulullah saw. berbuka puasa dengan kurma. Jika tidak ada, cukup dengan air putih.
Sunnah-sunnah Dalam Berpuasa
Sebelum berpuasa, disunnahkan mandi besar dari junub, haidh, dan nifas. Bagi orang yang berpuasa, disunnahkan melambatkan makan sahur dan menyegerakan berbuka. Berdo’a sebelum berbuka.
Agar amalan puasa tidak rusak dan pahalanya tidak gugur, orang yang berpuasa disunnahkan menjaga anggota badan dari maksiat, meninggalkan obrolan yang tidak berguna, meninggalkan perkara syubhat dan membangkitkan syahwat.
Disunnahkan memperbanyak tilawah Al-Qur’an, memberi makan orang puasa untuk berbuka, dan memperbanyak sedekah. Di sepuluh hari terakhir, sangat dianjurkan beri’tikaf.
Yang Dibolehkan Tidak Berpuasa
1. Orang yang safar (dalam perjalanan). Tapi, ada ulama yang memberi syarat. Seseorang boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan lain, jika safarnya menempuh lebih dari 89 km dan safarnya bukan untuk maksiat serta perjalanannya dimulai sebelum fajar. Namun Imam Hanbali membolehkan berbuka, walaupun safarnya dimulai pada siang hari. Alasan dibolehkannya berbuka adalah karena safar mengandung masyaqqah (kesusahan). Jika seseorang yang safar mengambil rukshah ini, ia wajib mengganti puasanya itu di hari lain sejumlah hari ia tidak berpuasa.
2. Orang yang sedang sakit. Sakit yang masuk dalam kategori ini adalah sakit yang dapat menghambat kelangsungan ibadah puasa dan berdampak pada keselamatan fisik jika dia tetap berpuasa. Untuk memutuskan dan menilainya, diperlukan pendapat dokter. Jika seseorang tidak berpuasa karena sakit, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya di bulan lain ketika ia sudah sehat.
3. Wanita hamil dan ibu yang menyusui. Wanita hamil atau ibu menyusui boleh tidak berpuasa, tapi harus menggantinya di hari lain. Jika dia tidak berpuasa karena takut dengan kondisi dirinya sendiri, maka hanya wajib bayar qadha’ saja. Tapi jika dia takut akan keselamatan janin atau bayinya, maka wajib bayar qadha’ dan fidyah berupa memberi makan sekali untuk satu orang miskin. Hal ini diqiyaskan dengan orang sakit dan dengan orang tua yang uzur.
4. Orang yang lanjut usia. Orang yang sudah lanjut usia dan tidak sanggup puasa lagi tidak wajib puasa, tapi wajib bayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.
5. Orang yang mengalami keletihan dan kehausan yang berlebihan. Jika kondisi itu dikhawatirkan mengganggu keselamatan jiwa dan akal, maka boleh berbuka dan wajib qadha’.
6. Orang yang dipaksa (ikrah) tidak berpuasa. Orang seperti ini boleh berbuka, tapi wajib mengqadha’.
Permasalahan Sekitar Puasa
1. Untuk puasa Ramadhan, wajib memasang niat berpuasa sebelum habis waktu sahur.
2. Saat berpuasa seorang suami boleh mencium isterinya, dengan syarat dapat menahan nafsu dan tidak merangsang syahwat.
3. Orang yang menunda mandi besar (janabah) setelah sahur atau setelah masuk waktu subuh, puasanya tetap sah. Begitu juga dengan orang yang berpuasa dan mendapat mimpi basah di siang hari, puasanya tetap sah.
4. Dilarang suami-istri berhubungan badan di siang hari ketika berpuasa. Hukuman bagi orang yang bersenggama di siang hari pada bulan Ramadhan adalah memerdekakan budak. Jika tidak mampu memerdekakan budak, suami-istri itu dihukum berpuasa dua bulan penuh secaara berturut-turut. Jika tidak mampu juga, mereka dihukum memberi makan 60 orang miskin sekali makan. Kalau perbuatannya berulang pada hari lain, maka hukumannya berlipat. Kecuali, pengulangannya dilakukan di hari yang sama.
5. Orang yang terlupa bahwa ia berpuasa kemudian makan dan minum, maka puasanya tetap sah. Setelah ingat, ia harus melanjutkan puasanya hingga waktu berbuka di hari itu juga.
6. Hanya muntah yang disengaja yang membatalkan puasa. Ada tiga perkara yang tidak membatalkan puasa: bekam, muntah (yang tidak disengaja), dan bermimpi (ihtilam). Sikat gigi atau membersihkan gigi dengan syiwak diperbolehkan. Hal ini biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. Tapi, ada ulama yang memakruhkan menyikat gigi dengan pasta gigi setelah matahari condong ke Barat.
7. Orang yang mempunyai hutang puasa tahun sebelumnya, harus dibayar sebelum masuk Ramadhan yang akan berjalan. Jika belum juga ditunaikan, harus dibayar setelah Ramadhan yang tahun ini. Tapi, ada ulama berpendapat, selain harus diqadha’ juga diwajibkan memberi makan orang miskin.
8. Para ulama sepakat bahwa orang yang wafat dan punya utang puasa yang belum ditunaikan bukan karenakan kelalaian tapi disebabkan ada uzur syar’i seperti sakit atau musafir, tidak ada qadha yang harus ditanggung ahli warisnya. Tapi jika ada kelalaian, ada sebagian ulama mewajibkan qadha terhadap ahli warisnya dan sebagian lain mengatakan tidak.
9. Bagi mereka yang bekerja dengan fisik dan terkategori berat –seperti pekerja peleburan besi, buruh tambang, tukang sidang, atau yang lainnya– jika berpuasa menimbulkan kemudharatan terhadap jiwa mereka, boleh tidak berpuasa. Tapi, wajib mengqadha’. Jumhur ulama mensyaratkan orang-orang yang seperti ini wajib baginya untuk sahur dan berniat puasa, lalu berpuasa di hari itu. Kalau tidak sanggup, baru boleh berbuka. Berbuka menjadi wajib, kalau yakin kondisi ketidak sanggupan itu akan menimbulkan kemudharatan.

Sumber : dakwatuna.com