Sabtu, 25 Juni 2011

Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr M.Quraish Shihab,M.A

UKHUWAH (1/2)

Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai
"persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya
berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa
persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang
merasa bersaudara.

Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya
persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga
makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah
diartikan sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan
pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak,
atau keduanya, maupun dari segi persusuan". Secara majazi kata
ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur
seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus
bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata
ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat.



Masyarakat Muslim mengenal istilah ukhuwmah Islamiyyah.
Istilah ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita
tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih
dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan
kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada
kesan bahwa istilah tersebut bermakna "persaudaraan yang
dijalin oleh sesama Muslim", atau dengan kata lain,
"persaudaraan antar sesama Muslim", sehingga dengan demikian,
kata "Islamiah" dijadikan pelaku ukhuwah itu.

Pemahaman ini kurang tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan
dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa,
sehingga ukhuwah Islamiah berarti "persaudaraan yang bersifat
Islami atau yang diajarkan oleh Islam." Paling tidak, ada dua
alasan untuk mendukung pendapat ini.

Pertama, Al-Quran dan hadis memperkenalkan bermacam-macam
persaudaraan, seperti yang akan diuraikan selanjutnya.

Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab, kata
sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika
yang disifati berbentuk indefinitif maupun feminin, kata
sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat secara jelas pada
saat kita berkata ukhuwwah Islamiyyah dan Al-Ukhuwwah
Al-Islamiyyah.

UKHUWAH DALAM AL-QURAN

Dalam Al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal
ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti.

1. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat
yang berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini
orang-orang tertentu, misalnya,

Diharamkan kepada kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,
saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara
perempuan ibumu, (dan) anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki ... (QS Al-Nisa [4]:
23)

2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, seperti bunyi
doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan Al-Quran,

Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari
keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku (QS Thaha [20]:
29-30).

3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama seperti
dalam firman-Nya,

Dan kepada suku 'Ad, (kami utus) saudara mereka Hud
(QS Al-A'raf [7]: 65).

Seperti telah diketahui kaum 'Ad membangkang terhadap ajaran
yang dibawa oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka
(baca antara lain QS Al-Haqqah [69]: 6-7).

4. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham.

Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing
betina, dan aku mempunyai seekor saja, maka dia
berkata kepadaku, "Serahkan kambingmu itu kepadaku";
dan dia mengalahkan aku di dalam perdebatan (QS Shad
[38]: 23).

Dalam sebuah hadis, Nabi Saw. bersabda.

Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya, maupun
teraniaya.

Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara membantu orang
yang menganiaya, beliau menjawab,

Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya. Yang
demikian itulah pembelaan baginya. (HR Bukhari melalui
Anas bin Malik)

5. Persaudaraan seagama.

Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat
10

Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.

Di atas telah dikemukakan bahwa dari segi bahasa, kata ukhuwah
dapat mencakup berbagai persamaan. Dari sini 1ahir lagi dua
macam persaudaraan, yang walaupun secara tegas tidak disebut
oleh Al-Quran sebagai "persaudaraan", namun substansinya
adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah:

1. Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah).

Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah
dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) (QS
Al-Hujurat [49]: 13). Ini berarti bahwa semua manusia adalah
seketurunan dan dengan demikian bersaudara.

2. Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah.

Di atas telah dijelaskan bahwa dari segi bahasa kata akh
(saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan. Dari sini
1ahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas
menyatakan bahwa:

Dan tidaklah (jenis binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya)
kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS Al-An'am [6):
38).

MACAM-MACAM UKHUWAH ISLAMIAH

Di atas telah dikemukakan arti ukhuwah Islamiah, yakni ukhuwah
yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Telah
dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau
jenis "persaudaraan" yang disinggung oleh Al-Quran. Semuanya
dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling
tidak empat macam persaudaraan:

1. Ukhuwwah 'ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan
kesetundukan kepada Allah.

2. Ukhuwwah insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat
manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari
seorang ayah dan ibu. Rasulullah Saw. juga menekankan lewat
sabda beliau,

Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.

Hamba-hamba Allah semuanya bersaudara.

3. Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam
keturunan dan kebangsaan.

4. Ukhuwwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama Muslim.
Rasulullah Saw. bersabda,

Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita
adalah yang datang sesudah (wafat)-ku.

Makna dan macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah
berdasarkan pemahaman terhadap teks ayat-ayat Al-Quran.
Ukhuwah yang secara jelas dinyatakan oleh Al-Quran adalah
persaudaraan seagama Islam, dan persaudaraan yang jalinannya
bukan karena agama. Ini tecermin dengan jelas dari pengamatan
terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut dalam Al-Quran,
yang menunjukkan dua arti kata akh' yaitu:

Pertama, ikhwan, yang biasanya digunakan untuk persaudaraan
tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali sebagian
disertakan dengan kata ad-din (agama) seperti dalan surat
At-Taubah ayat 11.

Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan
menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudara kamu
seagama.

Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata ad-din
(agama) seperti:

Jika kamu menggauli mereka (anak-anak yatim), mereka
adalah saudara-saudaramu (QS Al-Baqarah [2]: 220).

Teks ayat-ayat tersebut secara tegas dan nyata menunjukkan
bahwa Al-Quran memperkenalkan persaudaraan seagama dan persaud
araan tidak seagama.

Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh Al-Quran adalah ikhwat,
terdapat sebanyak tujuh kali dan digunakan untuk makna
persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat, yaitu,

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara (QS
A1-Hujurat [49]: 10).

Menarik untuk dipertanyakan, mengapa Al-Quran menggunakan kata
ikhwah dalam arti persaudaraan seketurunan ketika berbicara
tentang persaudaraan sesama Muslim, atau dengan kata lain,
mengapa Al-Quran tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata
ini digunakan untuk makna persaudaraan tidak seketurunan?
Bukankah lebih tepat menggunakan kata terakhir, jika melihat
kenyataan bahwa saudara-saudara seiman terdiri dari banyak
bangsa dan suku, yang tentunya tidak seketurunan?

Menurut penulis, hal ini bertujuan untuk mempertegas dan
mempererat jalinan hubungan antar sesama-Muslim, seakan-akan
hubungan tersebut bukan saja dijalin oleh keimanan (yang di
dalam ayat itu ditunjukkan oleh kata al-mu'minun), melainkan
juga "seakan-akan" dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang
ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan kewajiban
ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin hubungan
persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satupun
yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan
hubungan.

FAKTOR PENUNJANG PERSAUDARAAN

Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun
sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin
kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan
faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki,
dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita
saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta
memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give,"
tetapi justru

Mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri
mereka sendiri kekurangan (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan
nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan
kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan
melahirkan rasa persaudaraan.

Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan
mencari titik singgung dan titik temu persaudaraan. Jangankan
terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian (QS
Ali 'Imran [3]: 64) dan Saba [34): 24-25).

PETUNJUK AL-QURAN UNTUK MEMANTAPKAN UKHUWAH

Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali Al-Quran
menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku
dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan
kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi
mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah
hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS
Al-Ma-idah [5]: 48).

Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya
diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau
benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah
dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan
menjadi satu pendapat.

Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau
bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena
semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi.
Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat
demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan
menggelisahkan atau mengantarkannya "mati", atau memaksa orang
lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan
agamanya,

Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh dirimu karena
sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan
ini (Islam) (QS Al-Kahf [18]: 6).

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka
apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi
orang-orang yang beriman? (QS Yunus [10]: 99).

---------------- (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038

Sumber : Media


Sabtu, 18 Juni 2011

Akhlak Manusia Terhadap Manusia (1)

Akhlak terhadap Nabi

Manusia sebagai obyek atau partner bermu`amalah yang mengharuskan adanya pertimbangan nilai-nilai akhlak dapat dikelompokkan menjadi enam kelompok. Pertama, karena adanya hubungan nasab seperti ayah ibu berikut kerabat yang menyertainya. Kedua, karena kedekatan tempat tinggal,yakni tetangga. Ketiga, karena adanya hubungan keilmuan seperti hubungan guru-murid, Ke empat, karena adanya hubungan strukrural atasan-bawahan. Kelima, karena adanya keyakinan yang bersifat sakral,seperti para Nabi dan wali,dan keenam, semata-mata karena hubungan kemanusiaan.


Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia dalam empat tingkatan. Yaitu (1) instink, (2) panca indera, (3) akal, dan (4) wahyu. Petunjuk pertama dan ke dua disamping kepada manusia juga diberikan kepada hewan. Petunjuk ke tiga, yakni akal adalah hal yang menyebabkan manusia berbeda dengan hewan. Dengan akalnya manusia bisa memecahkan masalah yang dihadapi (problem solving) sehingga manusia mampu merencana, mengevaluasi dan merekayasa apa apa yang diperlukan. Meskipun manusia memiliki keterbatasan fisik, misalnya tidak dapat terbang seperti burung atau tidak dapat menyelam seperti ikan tetapi dengan akalnya, manusia mampu mengatasi kekurangan itu. Dengan akalnya manusia mampu mengerjakan semua hal yang dikerjakan binatang. Dengan teknologi yang dibuatnya manusia mampu menguasai bumi dan atsmosfirnya bagi keperluan hidupnya.

Disamping hal-hal yang bersifat teknis, manusia dengan akalnya dapat pula membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang secara etis harus dikerjakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan. Oleh karena itu dengan akalnya manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatanya, baik kepada masyarakatnya sebagai sistem sosial maupun kepada Tuhan kelak di akhirat. Meski demikian, akal tidak bisa menentukan kebenaran universal, karena setiap orang berbeda pula akalnya. Kebenaran menurut akal sangat relatip, karena manusia masih dipengaruhi oleh hal-hal yang subyektip sehingga manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan hakiki jika hanya menggunakan akal. Akal hanya bisa menemukan kebenaran, bukan menentukan.Untuk melengkapi rahmat Nya, Tuhan memberikan hidayah ke empat, yaitu wahyu. Wahyu adalah kebenaran universal yang diturunkan Tuhan untuk membimbing manusia mencapai kebahagiaan hakiki. Sesuai dengan tingkat kemampuan manusia menyerap informasi, maka Tuhan mengirimkan Nabi atau Rasul sebagai pembawa wahyu sekaligus sebagai contoh teladan hidup yang benar.

Jika dalam agama Kristen Yesus dikatakan sebagai firman yang hidup, maka dalam Islam, nabi Muhammad dianggap sebagai perwujudan dari nilai-nilai kebenaran wahyu Al- Qur'an (kana khuluquhu al Qur'an) dan teladan utama manusia (uswah hasanah). Nabi adalah utusan Tuhan kepada masyarakat manusia. Ada Nabi yang diperuntukan bagi sekelompok masyarakat pada suatu zaman, ada yang diperuntukkan bagi ummat manusia secara keseluruhan dan sepanjang masa. Menurut pandangan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi penutup atau Nabi terakhir yang ajarannya berlaku bagi seluruh ummat manusia hingga akhir zaman. Secara mendasar tidak ada pertentangan antara wahyu yang dibawa oleh Nabi terdahulu dengan yang dibawa oleh Nabi terkemudian, karena kesemuanya berasal dari sumber yang sama (min manba'in wahid).

Wujud Akhlak manusia kepada Nabi. Ketika seorang Nabi masih hidup, maka secara etis dan rasionil, perilaku manusia yang hidup pada masanya dalam menyongsong kehadiran seorang utusan Tuhan adalah menerima dan menghormati serta percaya kepadanya. Dalam Al Qur'an disebutkan bahwa seorang mukmin harus percaya kepada Nabi (Q/ 7:157) tidak boleh mendustakan Nabi (Q/3:184), tidak boleh berbicara terlalu keras di hadapannya atau sopan (Q/49:2),tidak boleh menyakiti hatinya, (Q/33:53) apalagi membunuhnya (Q/3:21). Selanjutnya manusia diperintahkan untuk mencintai dan membelanya dan mengikuti sunnahnya.

Setelah Nabi wafat, perilaku seorang mukmin terhadap Nabinya adalah:
(a) Mengikuti sunnahnya. Sunnah mengandung pengertian lebih luas dibanding hadist. Sunnah Nabi adalah perilaku keseharian yang dicontohkan oleh Nabi, baik ketika beliau sedang menjalankan ibadah, sedang menjadi kepala keluarga, sedang menjadi kepala negara, sedang menjadi sahabat, menjadi warga masyarakat, menjadi panglima perang dan seterusnya. Yang sering diperdebatkan adalah apakah sunnah Nabi yang harus diikuti itu terbatas kepada perbuatan Nabi sebagai Rasul, atau juga perbuatan nabi sebagai basyar, sebagai manusia biasa.

Jumhur ulama berpendapat bahwa seluruh perilaku Nabi, baik ketika menjalankan tugas kerasulan maupun sebagai manusia biasa adalah sunnah yang harus diikuti, karena perbuatan Nabi sebagai manusia biasapun disinari oleh wahyu sehingga tidak ada satupun perbuatan Nabi yang tercela. Kritikan orientalist kepada perilaku Nabi Muhammad —tentang poligami misalnya— pada umumnya tidak cermat karena analisisnya tidak konprehensip.

(b) Mencintai Nabi. Wujud cinta kepada Nabi antara lain dalam bentuk mengikuti sunnahnya, membaca salawat kepada nya, memberi nama anak-cucu dengan nama-nama yang berhubungan dengan Nabi, dan mengutamakan mengikuti sunnah nabi dari mengikuti hal-hal lain. Salawat adalah doa ma'tsurah, doa yang diajarkan Nabi bahkan diperintahkan dalam al Qur'an. Bagi Nabi sendiri sebagai Rasul yang ma'sum sebenarnya doa ummatnya tidak berpengaruh apa-apa, tetapi salawat lebih merupakan kebutuhan orang yang membaca karena mengharap syafaat Nabi kelak di akhirat. Adapun memperingati maulid Nabi lebih merupakan kebudayaan dan kebutuhan sosial masyarakat Islam, bukan anjuran Nabi.

Sumber : Mubarok institute


Jumat, 03 Juni 2011

Akhlakul Karimah...Oh Indahnya

Oleh Dr Abdul Mannan


Akhlakul karimah merupakan manivestasi keimanan dan keislaman paripurna seorang Muslim. Akhlakul karimah dalam pengertian luasnya ialah perilaku, perangai, ataupun adab yang didasarkan pada nilai-nilai wahyu sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Akhlakul karimah terbukti efektif dalam menuntaskan suatu permasalahan serumit apa pun.

Sebagai bukti, ketika Muhammad masih belum menerima wahyu, beliau mampu memberikan solusi atas sengketa para pemuka Quraisy yang berebut ingin mengangkat hajar aswad saat pemugaran Ka'bah telah usai. Masing-masing pemuka suku bersikeras dan merasa dirinya paling berhak untuk mengangkat hajar aswad. Pertentangan itu nyaris meletuskan peperangan.

Menghadapi situasi tersebut, beliau meminta sorban, kemudian hajar aswad diletakkan di atas sorban tersebut. Lalu, masing-masing pemuka Qurasisy memegang ujung sorban dan bersama-sama mengangkatnya. Kekisruhan pun mulai reda dan akhirnya sirna karena semua pihak merasa tidak dirugikan.



Bahkan, jauh ketika masa menjelang remaja, Muhammad SAW dicintai masyarakatnya karena kejujurannya. Ternyata masyarakat yang tidak mengenal adab pun ketika itu masih memiliki nurani dengan memberikan gelar al-amin (tepercaya) kepada putra Abdullah itu. Ini bukti bahwa sampai kapan pun akhlakul karimah akan selalu dicintai umat manusia.

Dalam sejarah kehidupan manusia, masalah, konflik, beda pendapat, senantiasa akan hadir. Oleh karena itu, Islam membawa ajaran yang mewajibkan seluruh umatnya memiliki akhlakul karimah. Mengutamakan toleransi dari pada konfrontasi, kasih sayang dari padasifat garang, simpati daripada benci.

Dalam konteks sederhana, orang berakhlak ialah orang yang sportif dalam bahasa olahraga. Apabila salah, ia katakan salah dan apabila benar maka ia pun siap mengungkapkan sesuai fakta yang terjadi. Menang tidak menjadikannya sombong, kalah pun tak membuatnya menjadi pendengki.

Bahkan, yang lebih menarik ialah, ia akan berani mengakui kesalahannya. Bukan malah memutarbalikkan fakta hanya karena gengsi kalau dirinya mengakui suatu kesalahan yang telah diperbuatnya. Maka, tidaklah heran jika Nabi SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."

Akhlak akan dimiliki oleh siapa saja yang secara sungguh-sungguh memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam. Dan, siapa saja yang berhasil menjadikan akhlakul karimah sebagai karakter dalam dirinya tentu ia akan menjadi orang yang paling beruntung, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang berakhlak tidak memerlukan pencitraan apalagi memaksakan kehendak. Baginya, kepentingan bersama jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi dan golongannya.

Betapa indahnya jika semua elemen bangsa memiliki karakter akhlakul karimah. Saling memahami, mengutamakan toleransi dalam berbeda pendapat, saling menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan dan bergerak demi keutuhan bangsa dan negara.

Perlu diingat bahwa kecanggihan teknologi, sistem, dan regulasi apa pun, tidak akan memberi manfaat maksimal jika pribadi-pribadi bangsa ini tidak memiliki akhlakul karimah.

_____________________________________________________
Sumber : republika.co.id