Jumat, 29 Juli 2011

Fiqih Ringkas Tentang Puasa

Oleh: Mochamad Bugi

Shaum atau puasa secara bahasa bermakna al-imsak atau menahan diri dari sesuatu seperti menahan diri dari makan atau berbicara. Makna shaum seperti ini dipakai dalam ayat ke-26 surat Maryam. “Maka makan dan minumlah kamu, wahai Maryam, dan tenangkanlah hatimu; dan jika kamu bertemu seseorang, maka katakanlah saya sedang berpuasa dan tidak mau berbicara dengan siapapun.”
Sedangkan secara istilah, shaum adalah menahan dari dari dua jalan syahwat, mulut dan kemaluan, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan pahala puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Keutamaan Bulan Ramadhan
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah saw. bersabda, “Penghulunya bulan adalah bulan Ramadhan dan penghulunya hari adalah hari Jum’at.” (Thabrani)
Rasulullah saw. bersabda, ” Kalau saja manusia tahu apa yang terdapat pada bulan Ramadhan, pastilah mereka berharap Ramadhan itu selama satu tahun.” (Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dan Baihaqi)

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Apabila datang bulan puasa, dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka.” (Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Apabila datang malam pertama bulan Ramadhan, para setan dan jin kafir akan dibelenggu. Semua pintu neraka ditutup sehingga tidak ada satu pintu pun yang terbuka; dan dibuka pintu-pintu surga sehingga tidak ada satu pun yang tertutup. Lalu terdengara suara seruan, “Wahai pencari kebaikan, datanglah! Wahai pencari kejahatan, kurangkanlah. Pada malam itu ada orang-orang yang dibebaskan dari neraka. Dan yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Keutamaan Puasa Ramadhan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan penuh harap, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang shalat malam pada bulan puasa, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Bukhari dan Muslim)
Waktu Berpuasa
Ibadah puasa dimulai sejak masuknya fajar shadiq (waktu shalat Subuh) hingga terbenamnya matahari (masuk waktu shalat Maghrib). Allah menerangkan di dalam al-Qur’an dengan istilah benang putih dari benang hitam.
Doa Berbuka Puasa
Jika berbuka puasa, Rasullullah saw. membaca, “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.” Artinya, ya Allah, untukmu aku berpuasa dan dengan rezeki yang engkau berikan kami berbuka. Dan Rasulullah saw. berbuka puasa dengan kurma. Jika tidak ada, cukup dengan air putih.
Sunnah-sunnah Dalam Berpuasa
Sebelum berpuasa, disunnahkan mandi besar dari junub, haidh, dan nifas. Bagi orang yang berpuasa, disunnahkan melambatkan makan sahur dan menyegerakan berbuka. Berdo’a sebelum berbuka.
Agar amalan puasa tidak rusak dan pahalanya tidak gugur, orang yang berpuasa disunnahkan menjaga anggota badan dari maksiat, meninggalkan obrolan yang tidak berguna, meninggalkan perkara syubhat dan membangkitkan syahwat.
Disunnahkan memperbanyak tilawah Al-Qur’an, memberi makan orang puasa untuk berbuka, dan memperbanyak sedekah. Di sepuluh hari terakhir, sangat dianjurkan beri’tikaf.
Yang Dibolehkan Tidak Berpuasa
1. Orang yang safar (dalam perjalanan). Tapi, ada ulama yang memberi syarat. Seseorang boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan lain, jika safarnya menempuh lebih dari 89 km dan safarnya bukan untuk maksiat serta perjalanannya dimulai sebelum fajar. Namun Imam Hanbali membolehkan berbuka, walaupun safarnya dimulai pada siang hari. Alasan dibolehkannya berbuka adalah karena safar mengandung masyaqqah (kesusahan). Jika seseorang yang safar mengambil rukshah ini, ia wajib mengganti puasanya itu di hari lain sejumlah hari ia tidak berpuasa.
2. Orang yang sedang sakit. Sakit yang masuk dalam kategori ini adalah sakit yang dapat menghambat kelangsungan ibadah puasa dan berdampak pada keselamatan fisik jika dia tetap berpuasa. Untuk memutuskan dan menilainya, diperlukan pendapat dokter. Jika seseorang tidak berpuasa karena sakit, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya di bulan lain ketika ia sudah sehat.
3. Wanita hamil dan ibu yang menyusui. Wanita hamil atau ibu menyusui boleh tidak berpuasa, tapi harus menggantinya di hari lain. Jika dia tidak berpuasa karena takut dengan kondisi dirinya sendiri, maka hanya wajib bayar qadha’ saja. Tapi jika dia takut akan keselamatan janin atau bayinya, maka wajib bayar qadha’ dan fidyah berupa memberi makan sekali untuk satu orang miskin. Hal ini diqiyaskan dengan orang sakit dan dengan orang tua yang uzur.
4. Orang yang lanjut usia. Orang yang sudah lanjut usia dan tidak sanggup puasa lagi tidak wajib puasa, tapi wajib bayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.
5. Orang yang mengalami keletihan dan kehausan yang berlebihan. Jika kondisi itu dikhawatirkan mengganggu keselamatan jiwa dan akal, maka boleh berbuka dan wajib qadha’.
6. Orang yang dipaksa (ikrah) tidak berpuasa. Orang seperti ini boleh berbuka, tapi wajib mengqadha’.
Permasalahan Sekitar Puasa
1. Untuk puasa Ramadhan, wajib memasang niat berpuasa sebelum habis waktu sahur.
2. Saat berpuasa seorang suami boleh mencium isterinya, dengan syarat dapat menahan nafsu dan tidak merangsang syahwat.
3. Orang yang menunda mandi besar (janabah) setelah sahur atau setelah masuk waktu subuh, puasanya tetap sah. Begitu juga dengan orang yang berpuasa dan mendapat mimpi basah di siang hari, puasanya tetap sah.
4. Dilarang suami-istri berhubungan badan di siang hari ketika berpuasa. Hukuman bagi orang yang bersenggama di siang hari pada bulan Ramadhan adalah memerdekakan budak. Jika tidak mampu memerdekakan budak, suami-istri itu dihukum berpuasa dua bulan penuh secaara berturut-turut. Jika tidak mampu juga, mereka dihukum memberi makan 60 orang miskin sekali makan. Kalau perbuatannya berulang pada hari lain, maka hukumannya berlipat. Kecuali, pengulangannya dilakukan di hari yang sama.
5. Orang yang terlupa bahwa ia berpuasa kemudian makan dan minum, maka puasanya tetap sah. Setelah ingat, ia harus melanjutkan puasanya hingga waktu berbuka di hari itu juga.
6. Hanya muntah yang disengaja yang membatalkan puasa. Ada tiga perkara yang tidak membatalkan puasa: bekam, muntah (yang tidak disengaja), dan bermimpi (ihtilam). Sikat gigi atau membersihkan gigi dengan syiwak diperbolehkan. Hal ini biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. Tapi, ada ulama yang memakruhkan menyikat gigi dengan pasta gigi setelah matahari condong ke Barat.
7. Orang yang mempunyai hutang puasa tahun sebelumnya, harus dibayar sebelum masuk Ramadhan yang akan berjalan. Jika belum juga ditunaikan, harus dibayar setelah Ramadhan yang tahun ini. Tapi, ada ulama berpendapat, selain harus diqadha’ juga diwajibkan memberi makan orang miskin.
8. Para ulama sepakat bahwa orang yang wafat dan punya utang puasa yang belum ditunaikan bukan karenakan kelalaian tapi disebabkan ada uzur syar’i seperti sakit atau musafir, tidak ada qadha yang harus ditanggung ahli warisnya. Tapi jika ada kelalaian, ada sebagian ulama mewajibkan qadha terhadap ahli warisnya dan sebagian lain mengatakan tidak.
9. Bagi mereka yang bekerja dengan fisik dan terkategori berat –seperti pekerja peleburan besi, buruh tambang, tukang sidang, atau yang lainnya– jika berpuasa menimbulkan kemudharatan terhadap jiwa mereka, boleh tidak berpuasa. Tapi, wajib mengqadha’. Jumhur ulama mensyaratkan orang-orang yang seperti ini wajib baginya untuk sahur dan berniat puasa, lalu berpuasa di hari itu. Kalau tidak sanggup, baru boleh berbuka. Berbuka menjadi wajib, kalau yakin kondisi ketidak sanggupan itu akan menimbulkan kemudharatan.

Sumber : dakwatuna.com

Jumat, 22 Juli 2011

Hukum Laki-Laki Memandang Wanita

dakwatuna.com - Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan. Sebagaimana firman-Nya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS Yasin: 36)
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS Adz-Dzaariyat: 49)
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.


Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.
Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya: “… Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah: 35)
Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan—sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain…” (QS At-Taubah: 71)
Hakikat lain yang wajib diingat di sini—berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan—bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif. Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan) dan reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas antara hukum memandang laki-laki terhadap perempuan. Kami menguatkan pendapat jumhur ulama yang menafsirkan firman Allah: “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya…” (QS An-Nur: 31 )
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah “wajah dan telapak tangan.” Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat kepadanya ataukah tidak?
Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Oleh sebab itu, ada ungkapan, “memandang merupakan pengantar perzinaan”.
Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, “Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu.”
Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya. Demikian pula pembuktian tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.
Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
Oleh karena itu, Nabi SAW pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama Fadhl bin Abbas, agar tidak melihat wanita Khats’amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fadhl bertanya kepada Rasulullah SAW, “Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?”
Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka.”
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si Muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.
Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya “menikmati” dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.
Allah SWT berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 30-31)
(RoL)
Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Yusuf Qaradhawi

Artikel dari : dakwatuna.com


Sabtu, 09 Juli 2011

Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A.

UKHUWAH (2/2)

Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt.
memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan
yang diperintahkan. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan
petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara
umum dan persaudaraan seagama Islam.

1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam
memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah
sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk
memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar
mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi
Muhammad Saw. melarang memetik buah sebelum siap untuk
dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih
binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad Saw. juga
mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala
sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak
mengenal istilah "penaklukan alam", karena secara tegas
Al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia
adalah Allah (QS 45: 13). Secara tegas pula seorang Muslim
diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan
untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada
saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca,

Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang
kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan
menundukkannya (QS Al-Zukhruf [43]: 13).

2. Untuk mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama, Islam
memperkenalkan ajaran,

Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6), dan

Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan
kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah
kembali (putusan segala sesuatu) (QS Al-Syura [42):
15).

Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan
titik temu antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar
dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan
hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan
tidak perlu saling menyalahkan.

Katakanlah, "Wahai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu
kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan di
antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu
pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah." Jika
mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada
mereka, "Saksikanlah (akuilah eksistensi kami) bahwa
kami adalah orang-orang Muslim" (QS Ali 'Imran [3]:
64).

Bahkan Al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan
umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah
kalimat sawa' (titik temu) tidak dicapai:

Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau
kesesatan yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan
ditanyai (bertanggungjawab) tentang dosa yang kami
perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang
hal yang kamu perbuat." Katakanlah, "Tuhan kita akan
menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan
benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah Maha
Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui (QS 34: 24-26).

Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama
sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain
menghormati hak-hak kaum Muslim,

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat
adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang
yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS
Al-Mumtahanah [60]: 8).

Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan
keuangan/material kepada sebagian penganut agama lain dengan
alasan bahwa mereka bukan Muslim, Al-Quran menegur mereka
dengan firman-Nya:

Bukan kewajibanmu menjadikan mereka memperoleh hidayah
(memeluk Islam), akan tetapi Allah yang memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Apa pun harta
yang baik yang kamu nafkahkan (walaupun kepada
non-Muslim), maka pahalanya itu untuk kami sendiri ...
(QS Al-Baqarah [2]: 272).

3. Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama Muslim,
Al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari
segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan
hubungan di antara mereka.

Setelah menyatakan bahwa orang-orang Mukmin bersaudara, dan
memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika
seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang
(kelompok) kaum Muslim, Al-Quran memberikan contoh-contoh
penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim
melakukannya:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum (pria)
mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi
mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik daripada
mereka (yang mengolok-oLokkan); dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang
lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang
diperolok-olokkan lebih baik dan mereka (yang
memperolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jeleknya panggilan
adalah (sebutan) yang buruk sesudah iman. Barangsiapa
tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim (QS Al-Hujurat [49]: 11).

Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang Mukmin untuk
menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan
orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh Al-Quran
seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal
dunia (QS Al-Hujurat [49]: 12).

Menarik untuk diketengahkan, bahwa Al-Quran dan hadis-hadis
Nabi Saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah),
tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh
praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan
sikap kejiwaan (seperti terbaca di dalam surat Al-Hujurat ayat
11-12 di atas), atau tecermin misalnya dalam hadis Nabi Saw.
antara lain,

Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah
sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula saling
mencari-cari kesalahan. Jangan saling iri, jangan
saling membenci, dan jangan saling membelakangi
(Diriwayatkan oleh keenam ulama hadis, ke An-Nasa'i,
melalui Abu Hurairah).

Semua itu wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan
sikap lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi
ayat dan hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan
dengan bentuk larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena
at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan
daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan),
melainkan juga karena "melarang sesuatu mengandung arti
memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya."

Semua petunjuk Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk
memantapkan ukhuwah. Perhatikan misalnya larangan melakukan
transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan riba (QS
2: 278), anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 275), larangan
mengurangi atau melebihkan timbangan (QS 83: 1-3), dan
lain-lain.

Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara
tegas memerintahkan orang-orang Mukmin untuk merujuk Allah
(Al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi
perbedaan pemahaman Al-Quran dan Sunnah itu, baik
mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk
Al-Quran dalam hal ini adalah:

Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu (karena
tidak menemukan petunjuknya dalam teks Al-Quran dan
Sunnah), maka kembalikanlah kepada Allah (jiwa
ajaran-ajaran Al-Quran), dan (jiwa ajaran-ajaran)
Rasul, jika memang kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
bagimu dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 59).

KONSEP-KONSEP DASAR PEMANTAPAN UKHUWAH

Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, para ulama
mengenalkan tiga konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut
perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.

a. Konsep tanawwu'al-'ibadah (keragaman cara beribadah)

Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi
Saw. dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada
pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan, selama
semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu
meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang
diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan, "Berapa
hasil 5 + 5?", melainkan yang ditanyakan adalah, "Jumlah
sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?"

b. Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr (Yang salah dalam
berijtihad pun [menetapkan hukum) mendapat ganjaran).

Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang
ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran
oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtthad yang diamalkannya
keliru. Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang
benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah
Swt. sendiri, yang baru akan diketahui pada hari kemudian.
Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan
ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah
memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah
melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan
hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman
(Al-Quran dan Sunnah).

c. Konsep la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah
belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan
oleh seorang mujtahid).

Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum
Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya
berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong, yang
disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang
tersedia. Tuan rumah mempersilakan masing-masing tamunya
memilih minuman yang tersedia di atas meja dan mengisi
gelasnya --penuh atau setengah-- sesuai dengan selera dan
kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari
minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun
isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi.
Jangan mempersalahkan seseorang yang mengisi gelasnya dengan
kopi, dan Anda pun tidak wajar dipersalahkan jika memilih
setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.

Memang Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak selalu
memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak
adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi
firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun
mutlak. Cara kita memahami Al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan
erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan,
kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan
dan pemahaman masing-masing mujtahid.

Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah
hati dengan menyebutkan, "Pendapat kami benar, tetapi boleh
jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru,
tetapi mungkin saja benar." Berhadapan dengan teks-teks wahyu,
mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki
keterbatasan, dan dengan demikian, tidak mungkin seseorang
akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah
yang paling benar.

UKHUWAH DALAM praktek

Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah,
agaknya salah satu ayat surat Al-Hujurat dapat dijadikan
landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiah. Ayat yang
dimaksud adalah, Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara,
karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua saudaramu (QS 49:
10). Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali berulang dalam
Al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan,
melainkan justru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan
nyata. Kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti
mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih,
melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan
memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.

Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan
ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah diartikan
sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat
diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah
digunakan oleh Al-Quran dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang
selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah shalah yang
digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalah dapat
diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu
agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak
menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai,
maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan
hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.

Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di
dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:

Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia
tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada
musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan
saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya.
Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu
kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu
kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup
aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari
kemudian.

Dari riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas
dilengkapi dengan,

Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan
tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan.

***

Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiah mengantarkan
manusia mencapai hasil-hasil konkret dalam kehidupannya.

Untuk memantapkan ukhuwah Islamiah, yang dibutuhkan bukan
sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau
sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang
lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang
dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan
nikmatnya.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038

Artikel dari : Media