Rabu, 31 Agustus 2011

Wawasan Al-Qur'an

Oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A

HALAL BIHALAL (1/2)

Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan
bimbingan agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk
memperoleh pesan-pesan kitab suci itu. Pertama, melalui
penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan murid-murid
mereka. Hal ini dinamai tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui
analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung
oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir
bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari
penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, yang dinamai
tafsir bir-riwayah.

Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal
melalui Al-Quran dengan menitikberatkan pandangan pada cara
yang ketiga.

Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada
beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal
bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal 'Aidin
wal-Faizin.


IDUL FITRI

Kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni
kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa
sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan
atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu,
lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.

Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?

Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti
asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.

Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari
dosa dan suci, sehingga 'idul fithr antara lain berarti
kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau
keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan
demikian ia berada dalam kesucian.

Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya
semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama
manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari
sekian banyak ayat Al-Quran.

Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan
yaitu, Janganlah mendekati pohon ini (QS Al-Baqarah [2]: 35).
Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena
berdosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Quran menyatakan,
maka Tuhan mereka menyeru keduanya, "Bukankah Aku telah
melarang kamu berdua mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7]
22).

Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara
lain:

Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama
Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni
masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu,
isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah
isyarat dekat, yakni "ini". Tetapi, ketika Adam dan Hawa
melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah
pun demikian, sehingga Allah harus "menyeru mereka" (yakni
berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang
menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat
jauh, yakni "itu" (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di
atas).

Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing
menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan
mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi
semula. Memang, tegas Al-Quran,

Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari
kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku,
sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan
jika mereka bermohon kepada-Ku (QS Al-Baqarah [2]:
186).

Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah
mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan
manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah
berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan
kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku
tobat, yaitu manusia dan Allah Swt.

Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia
(Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha
Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]:
37).

Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat
diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu
kembali Kami pun akan kembali" (QS Al-Isra' [l7]: 8), bahwa
Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.

Hadis Nabi Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara
lain,

Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal,
Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat
kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila
ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang
menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin
Malik).

Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah Saw.
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa
Rasulullah Saw. bersabda,

Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada
saat ia bertobat dan salah seorang di antara kamu yang
mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir,
kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak
binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia
berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia
berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja
binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun
memegang tali kendalinya sambil berkata saking
gembiranya, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku
Tuhanmu."

Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik
kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini
--menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti
senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa
pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki
potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya.
Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan
tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun
manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia
menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa
yang pernah ia lukai hatinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fltri
mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan
kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh
antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah
diperbuat.

HALAL BIHALAL

Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang
bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang
mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.

Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok
halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk
ditinggalkan). Nabi Saw. bersabda, "Abghadu al-halal ila
Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah
pemutusan hubungan suami-istri).

Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu
tidak akan menyebahkan lahirnya hubungan harmonis antar
sesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan
kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata
halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal
pengertian hukum.

Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di
antaranya pada konteks kecaman, yaitu:

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu
mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yunus [10]:
59).

Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan
ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu
adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi
mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).

Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak,
terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara
yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja
telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih
lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.

Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua
ciri yang sama, yaitu

a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),

b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah
(baik).

Perhatikan keempat ayat berikut

Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS
Al-Baqarah [2]: 168)

Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)

Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah
dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil
itu) (QS Al-Anfal [8]: 69).

Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah
diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)

Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan
aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan
merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat
menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam
ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas,
sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus
thayyib (baik). Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal
yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak
termasuk dalam kategori halalan thayyiban.

Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib)
sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai
berikut:

Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat),
ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang
yang berada dalam satu barisan/kesatuan).

Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang
berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang
yang menyucikan diri).

Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang
bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima
kali terhadap al-muhsinin.

Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak
mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah
adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap
mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali
dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang
baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak
menghasilkan kebaikan.

Dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 134 diisyaratkan
tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.

Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat
keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan
orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap
mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat
baik (terhadap orang yang bersalah).

Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah,
tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat
baik terhadap orang yang bersalah.

MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN

Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal
'Aidin wal Faizin.

Kata 'Aidin, adalah bentuk pelaku 'Id.

Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti
orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang
berarti keberuntungan.

Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan
berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada
bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali
dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam
bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk
al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal
yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang
terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena
tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia
tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.

Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat
berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu
ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan
telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak
ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka." Sungguh,
jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta
rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum
pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan
dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya
memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan
harta rampasan perang)" (QS Al-Nisa' [4]: 72-73).

Kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi
orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan
popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya
sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan
keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab dia
dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan petunjuk A1-Quran
yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan
kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan
kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif
(al-faizin atau al-faizun).

Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari
ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai
bentuknya itu (kecuali surat Al-Nisa [73]), seluruhnya
bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, seba gai
ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:

Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung
Al-Hasyr [59]: 20).

Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit-- dari
neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia
telah beruntung (QS Ali 'Imran [3]: 185).

PENGAMPUNAN

Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk
menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin
hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya, antara lain
taba (tobat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara
(menutupi), dan shafah.

Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan
memberikan maksud yang berbeda.

---------------- (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Artikel dari: Media

Jumat, 26 Agustus 2011

Zakat : Definisi dan Tujuannya

خذ من امولهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم ان صلأ تك سكن لهم والله سميع عليم
dakwatuna.com – “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 03)

Definisi Zakat

Zakat adalah bagian tertentu dari kekayaah yang Allah perintahkan untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak (mustahiq). Disebut pula shadaqah seperti dalam firman Allah di surat At-Taubah ayat 60. Yang dimaksudkan shadaqah dalam ayat itu adalah zakat wajib, bukan shadaqah sunnah. Al-Mawardi berkata, “Shadaqah adalah zakat, dan zakat adalah shadaqah. Beda nama tapi satu makna.”


Sejarah

Zakat menjadi kewajiban secara utuh di Madinah dengan ditentukan nishab, ukuran, jenis kekayaan, dan distribusinya. Negara Madinah juga telah mengatur dan menata sistem zakat dengan mengirim para petugas untuk memungut dan mendistribusiannya. Sebenarnya, prinsip zakat sudah diwajibkan sejak fase Makkah dengan banyaknya ayat-ayat yang menerangkan sifat-sifat orang beriman dan menyertakan “membayar zakat” sebagai salah satunya. Misalnya seperti ayat yang menjadi dalil kewajiban zakat tanaman, “Makanlah dari buahnya ketika berbuah, dan berikan haknya pada hari panennya; Dan jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (Al-An’am: 141). Ayat ini adalah ayat Makkiyah

Antara Zakat dan Riba

Kewajiban zakat sudah ditetapkan sejak fase Makkiyah, kemudian dikukuhkan dengan aturan praktisnya di Madinah. Demikian juga hukum riba telah ditetapkan sejak di Makkah dan secara praktis ditetapkan di Madinah. “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Ar Rum: 39)

Dari ayat di atas jelaslah bahwa riba yang secara zahir adalah penambahan harta, namun sesungguhnya pengurangan. Sedangkan zakat yang secara zahir pengurangan harta, tapi pada hakikatnya adalah penambahan harta di sisi Allah swt.

Hukum Zakat

Zakat adalah kewajiban dan satu dari rukun Islam yang lima rukun seperti dalam hadits Rasulullah saw., “Islam didirikan di atas lima hal, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah jika mampu.” (muttafaq alaih)

Dalam hadits Ibnu Abbas diterangkan bahwa Rasulullah saw. ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman berpesan kepadanya, “Sesungguhnya kamu akan menemui kaum Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya aku utusan Allah. Jika mereka sudah menerima hal ini, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menerimanya, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat hartanya, diambil dari yang lebih kaya dan dibagikan kepada yang fakir di antara mereka. Jika mereka menerima hal ini, maka hati-hati dengan harta mereka yang bagus. Dan waspadailah doanya orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada sekat antara dia dengan Allah.” (riwayat al-jamaah)

Motivasi Zakat

Allah swt. mendorong kaum muslimin untuk membayar zakat dengan menjelaskan manfaat zakat bagi kebersihan jiwanya. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka….” (At-Taubah: 103)

Membayar zakat adalah salah satu sifat orang bertakwa. “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyat: 19)

Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal yang aku bersumpah, maka hafalkanlah: 1. Tidak akan berkurang harta karena bersedekah; 2. tidak ada seorang hamba pun yang dizalimi kemudian ia bersabar, pasti Allah akan menambahkan kemuliaan; 3. tidak ada seorang hamba pun yang membuka pintu meminta-minta, kecuali Allah akan bukakan baginya pintu kefakiran.” (At-Tirmidzi)

Ancaman Bagi Yang Menolak Zakat

Allah swt. memperingatkan orang yang menolak membayar zakat dengan berfirman, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (At-Taubah: 34-35)

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorangpun yang memiliki simpanan, kemudian ia tidak mengeluarkan zakatnya, pasti akan dipanaskan simpanannya itu di atas jahanam, dijadikan cairan panas yang diguyurkan di lambung dan dahinya, sehingga Allah berikan keputusan di antara para hamba-Nya di hari yang lama seharinya sekitar lima puluh ribu tahun, sampai diketahui ke mana perjalanannya, ke surga atau neraka.” (Asy-Syaikhani)

Menolak Zakat Hukumnya Kafir

Para ulama bersepakat bahwa orang yang menolak/mengingkari kewajiban zakat adalah kafir, dan keluar dari Islam. Imam An-Nawawi berkata tentang seorang muslim yang mengetahui kewajiban zakat kemudian mengingkarinya, maka dengan pengingkarannya itu ia menjadi kafir, berlaku atasnya hukum orang murtad, berupa disuruh taubat dan diperangi. Karena kewajiban zakat adalah sesuatu yang secara aksiomatik diketahui kewajibannya dalam agama.

Orang yang mengingkari zakat dipandang sangat hina. Bahkan dikatakan: sudah tidak zamannya lagi ada orang yang menolak zakat.

Hukuman Orang yang Menolak zakat

Orang yang menolak membayar zakat diganjar dengan tiga jenis hukuman, yaitu:

a. Hukuman akhirat, seperti hadits yang telah disebutkan di atas.

b. Hukuman duniawi yang telah Allah tetapkan, seperti dalam hadits Nabi, “Tidak ada suatu kaum yang menolak zakat, pasti Allah akan uji mereka dengan paceklik (kelaparan dan kekeringan). (Al-Hakim, Baihaqi, dan Thabrani). Dalam hadits yang lain, “… dan mereka menolak zakat hartanya kecuali para malaikat akan mencegah hujan dari langit, dan jika tidak karena hewan ternak mereka tidak akan diberi hujan.” (Al-Hakim, Ibnu Majah, Al-Bazzar, dan Baihaqi)

c. Hukuman duniawi yang diberikan oleh pemerintahan muslim. Rasulullah saw. bersabda tentang zakat, “Barangsiapa yang memberikannya untuk memperoleh pahala dari Allah, maka ia akan memperoleh pahala. Dan barangsiapa yang menolaknya, maka kami akan mengambil separuh hartanya, dengan kesungguhan sebagaimana kesungguhan Rabb kami. Tidak halal bagi keluarga Muhammad sedikitpun darinya.” (Ahmad, An-Nasa’i, Abu Daud, dan Baihaqi)

Sedangkan jika penolakan dilakukan oleh sekelompok kaum muslimin, maka negara wajib memeranginya dan mengambil zakat mereka dengan paksa. Inilah yang dilakukan Abu Bakar r.a. ketika ada kabilah-kabilah yang menolak membayar zakat. Kata Abu Bakar, “Demi Allah, aku akan memerangi orang yang membedakan antara shalat adan zakat. Karena sesungguhnya zakat itu adalah hak harta kekayaan. Demi Allah jika mereka menolak memberikan seekor hewan kepadaku, yang pernah mereka berikan kepada Rasulullah saw., pasti akan aku perangi karena penolakannya itu.” (Al-jama’ah, kecuali Ibnu Majah)

Tujuan dan Pengaruh Zakat


Zakat adalah salah satu ibadah terpenting dalam Islam. Al-Qur’an menyebutkannya dalam dua puluh delapan ayat. Zakat dalam Islam sangat berbeda dengan sistem zakat di manapun. Pada saat pajak hanya bertujuan pada pengumpulan dana untuk menggerakkan proyek dan policy Negara, kita dapati zakat dilakukan dengan sasaran yang bermacam-macam, di sudut kehidupan yang membentang dari pribadi sampai masyarakat.

Pertama kali zakat merupakan ibadah seorang muslim yang dilakukan untuk menggapai ridha Allah, dengan niat yang ikhlas agar diterima. Dengan itu, maka terealisasi tujuan utama keberadaan manusia di muka bumi ini, yaitu beribadah kepada Allah. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Dengan menunaikan zakat akan terelisasi juga tujuan-tujuan berikutnya, yaitu:

a. Berkaitan dengan Muzakki

Zakat membersihkan muzakki dari penyakit pelit, dan membebaskannya dari penyembahan harta. Keduanya adalah penyakit jiwa yang sangat berbahaya, yang membuat manusia jatuh dan celaka. “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr: 9). Rasulullah saw. bersabda, “Celaka hamba dirham, celaka hamba pakaian dagangan.” (Bukhari)
Zakat adalah latihan berinfaq fii sabilillah. Dan Allah swt. menyebutkan infaq fii sabilillah sebagai sifat wajib orang muttaqin dalam lapang maupun sempit dan menyertakannya sebagai sifat terpenting. Menyertakannya dengan iman kepada yang ghaib, istighfar di waktu fajar, sabar, benar, taat. Seseorang tidak akan pernah berinfak secara luas di jalan Allah kecuali setelah terbiasa membayar zakat, yang merupakan batas wajib minimal yang harus diinfakkan.
Zakat adalah aktualisasi syukuri nikmat yang Allah berikan, terapi hati dan membersihkannya dari cinta dunia. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103). Dan sesungguhnya zakat adalah mekanisme membersihkan dan memperbanyak harta itu sendiri. “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)
b. Berkaitan dengan Penerima

Zakat akan membebaskan penerimanya dari tekanan kebutuhan, baik materi (seperti makan, pakaian, dan papan), kebutuhan psikis (seperti pernikahan), atau kebutuhan maknawiyah fikriyah (seperti buku-buku ilmiah). Karena zakat didistribusikan dalam semua kebutuhan di atas. Dengan itu, seorang fakir akan dapat mengikuti kewajiban sosialnya. Ia akan merasa sebagai anggota masyarakat yang utuh karena tidak menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk berusaha memperoleh sesuap makanan guna penyambung hidup.
Zakat membersihkan jiwa penerimanya dari penyakit hasad (iri) dan benci. Karena orang miskin yang sangat membutuhkan itu ketika melihat orang di sekitarnya hidup dengan mewah dan berlebih, tetapi tidak mengulurkan bantuannya, akan sakit hati (iri, dendam, dan benci) kepada orang kaya dan bahkan kepada masyarakat secara umum. Hal ini akan memutuskan tali persaudaraan, menghilangkan rasa cinta, dan mencabik-cabik kesatuan sosial. Sesungguhnya iri dan benci adalah penyakit yang melukai jiwa dan fisik, serta menyebabkan banyak penyakit seperti infeksi usus besar dan tekanan darah. Yang namanya penyakit, tentu akan menggerogoti eksistensi masyarakat secara keseluruhan. Karena itu Rasulullah saw. memperingatkan, “Telah menjalar di tengah-tengah kalian penyakit umat sebelum kalian, yaitu iri dan benci. Kebencian adalah pisau penyukur. Aku tidak mengatakan penyukur rambut, tetapi pencukur agama.” (Al-Bazzar dan Baihaqi)
Pengaruh Zakat Bagi Masyarakat

Di antara kelebihan zakat dalam Islam adalah ibadah fardiyah (individual) sekaligus sosial. Sebagai sebuah sistem, pengelolaan zakat membutuhkan karyawan yang mengambilnya dari para orang kaya dan membagikannya kepada yang berhak. Mereka ini akan bekerja dan memperoleh imbalan dari pekerjaannya. Zakat sebagai sebuah tatanan sosial dalam Islam yang memiliki manfaat banyak sekali, di antaranya:

Zakat adalah hukum pertama yang menjamin hak sosial secara utuh dan menyeluruh. Imam Az-Zuhriy menulis tentang zakat kepada Umar bin Abdul Aziz: Bahwa di sana terdapat bagian bagi orang-orang yang terkena bencana, sakit, orang-orang miskin yang tidak mampu berusaha di muka bumi, orang-orang miskin yang meminta-minta, bagi muslim yang dipenjara sedang mereka tidak punya keluarga, bagian bagi orang miskin yang datang ke masjid tidak memiliki gaji dan pendapatan, tidak meminta-minta, ada bagian bagi orang yang mengalami kefakiran dan berhutang, bagian untuk para musafir yang tidak memiliki tempat menginap dan keluarga yang menampungnya.
Zakat berperan penting dalam menggerakkan ekonomi. Karena seorang muslim yang menyimpan harta, berkewajiban mengeluarkan zakatnya minimal 2,5% setiap tahun. Hal ini akan mendorongnya untuk bersemangat mengusahakannya agar zakat itu bisa dikeluarkan dari labanya. Inilah yang membuat uang itu keluar dari simpanan dan berputar dalam sektor riil. Ekonomi bergerak dan masyarakat akan memperoleh keuntangan dari putaran itu.
Zakat memperkecil kesenjangan. Islam mengakui adanya perbedaan rezeki sebagai akibat dari perbedaan kemampuan, keahlian, dan potensi. Pada saat bersamaan Islam menolak kelas sosial timpang, satu sisi hidup penuh kenikmatan dan sisi lain dalam kemelaratan. Islam menghendaki orang-orang miskin juga berkesempatan menikmati kesenangannya orang kaya, memberinya apa yang dapat menutup hajatnya. Dan zakat adalah satu dari banyak sarana yang dipergunakan Islam untuk menggapai tujuan di atas.
Zakat berperan besar dalam menghapus peminta-minta, dan mendoroang perbaikan antara sesama. Maka ketika untuk membangun hubungan baik itu memerlukan dana, zakat dapat menjadi salah satu sumbernya.
Zakat dapat menjadi alternatif asuransi. Asuransi adalah mengambil sedikit dari orang kaya kemudian memberikan lebih banyak lagi kepada orang kaya. Sedang zakat mengambil dari orang kaya untuk diberikan kepada fuqara yang terkena musibah.
Zakat memberanikan para pemuda untuk menikah, lewat bantuan biaya pernikahannya. Para ulama menetapkan bahwa orang yang tidak mampu menikah karena kemiskinannya diberikan dari zakat yang membuatnya berani menikah.

Sumber : dakwatuna.com

Jumat, 19 Agustus 2011

Wawasan Al-Qur'an



Oleh :Dr.M.Quraish Shihab,M.A

LAILAT AL-QADAR

Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita berbicara
tentang surat Al-Qadar.

Surat Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam
Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surat Iqra'. Para ulama
Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat
Iqra'. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat
Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.

Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas
perintah Allah Swt., dan dari perurutannya ditemukan
keserasian-keserasian yang mengagumkan.

Kalau dalam surat Iqra' Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim)
diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain
adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat
Al-Qadar ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan
kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.

Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah
satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran
"lebih baik dari seribu bulan."


Tetapi apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali
saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang
lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa?
Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya
pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisik
material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air,
heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)?
Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering
muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.

Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan
pernyataan Al-Quran bahwa, "Ada suatu malam yang bernama
Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh
berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar
dengan penuh kebijaksanaan."

Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu
malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi
peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang
penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS
Al-Dukhan [44]: 3-5).

Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci
menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan
(QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr
[97]: l).

Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui
betapa besar kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya
"pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu:

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2)

Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran,
sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang
berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum
al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak
mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan
berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari
angka tiga belas itu adalah:

Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
(QS Al-Thariq [86]: 2)

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(QS Al-Balad [90]: 12)

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2)

Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan
objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat,
dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal
pikiran manusia.

Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara
pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan
Al-Quran dalam tiga ayat.

Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah
dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)

Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah)
dekat? (QS Al-Syura [42]: 17~.

Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan
dosa)? (QS 'Abasa [80]: 3).

Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika
menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga
berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut
tidak mungkin diketahui manusia.

Secara gamblang Al-Quran --demikian pula As-Sunnah--
menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari
kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini
berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal
yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri,
sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada
akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga
informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian
perhedaan kedua kalimat tersebut.

Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk
kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di sanalah
kita dapat memperoleh informasinya.

Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa
arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di
sini ditemukan berbagai jawaban.

Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:

1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami
sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.
Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah
dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama
yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran
yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada
malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah dan
strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw., guna mengajak manusia
kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan
perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun
kelompok.

2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada
bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya
Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala
kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia
ditemukan dalam surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang
kaum musyrik:

Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang
semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak
menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.

3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena
banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan
dalam surat Al-Qadr:

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh
((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan.

Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara 1ain
dalam surat A1-Ra'd (13): 26:

Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan
mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).

Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar,
karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila
diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada
malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian
dan ketenangan. Namun demikian, sebelum kita melanjutkan
bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan
dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun
atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas
abad yang lalu?

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu
Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena
umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan
tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka
atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia
itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh
malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu
turunnya Al-Quran.

Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut
paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda
bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka
berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks
hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada
setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw. menganjurkan
umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu,
secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua
puluh Ramadhan.

[tulisan Arab]

Demikian sabda Nabi Saw.

Memang turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi
pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa
ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa
kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu
turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu
sendiri.

Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata
kerja mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang
mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada
masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap
orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun
dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat
berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga
baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi 1ain berarti
bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat
fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak
dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik
material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang
tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna
menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan
bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat
Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang
tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat,
tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun
setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang
sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang
kekasih tidak sudi mampir menemuinya?

Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan
Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah
bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga
oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa
selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat
kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu
berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw.
menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan
merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan
Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam
kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan
bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat
itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna
meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai
dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar
kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan
kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali
tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi
ilustrasi berikut:

Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada
dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering
merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang
terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan
ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang
itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu
mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.

Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang
membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata
'Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau
setan. Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui
orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang
bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga
jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan,
dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan
damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar,
tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari
kemudian kelak.

Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil
mengamalkan i'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan
penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas
kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang
diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta
dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan
pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengkayaan
iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i'tikaf, dianjurkan
untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan
bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.

Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali
adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang
diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai
kesuciannya, turunlah Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan
membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam
perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.
Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam
rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara 1ain
adalah melakukan i'tikaf.

Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu
berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walau
sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun Nabi Saw.
selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan
puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil
berdoa.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati
maknanya adalah:

Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan
di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami
dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).

Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh
kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih
lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih
kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang
disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk
menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam
kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia,
tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.

Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak
menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut,
tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar
hadis yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup ketat
terhadap hadis Nabi Saw.

Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan
melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,

Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada
pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,

Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan
sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula
panas ...

Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu
kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang
kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan
ketenangan. Semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui
kita.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Artikel dari : Media

Sabtu, 13 Agustus 2011

Ramadhan dan Keshalihan Sosial

Oleh : Dr.M.Hidayat Nur Wahid,M.A

dakwatuna.com – Apakah yang kita dapatkan dari puasa dan serangkaian ibadah di bulan Ramadhan? Tentu saja jawaban dari pertanyaan tersebut sangat relatif, berbeda antara seorang dan orang lainnya, tergantung bagaimana kita memanfaatkan setiap momentum yang disediakan Allah dalam bulan Ramadhan. Namun, apabila kita kembalikan kepada tujuan diwajibkannya puasa Ramadhan, sesungguhnya yang akan didapatkan adalah meningkatnya ketakwaan, baik dalam skala pribadi maupun kolektif.
Takwa sungguh amat luas maknanya dan amat dalam pengertiannya. Salah satu makna takwa menurut para ulama adalah kehati-hatian. Makna ini penting kita hadirkan dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia saat ini yang tengah menghadapi serangkaian persoalan sistemik.

Belakangan ini, kerap kita menyaksikan tindakan anarkis dan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat terhadap sebagian yang lainnya. Beberapa waktu lalu kita mendengar berita tawuran pelajar, tawuran antarwarga masyarakat yang bertetanggaan wilayah, kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah, juga perusakan tempat ibadah. Media massa tidak bosan memberitakan berbagai gejala kerawanan sosial yang menandakan ketahanan sosial bangsa Indonesia tengah melemah dan mengalami penurunan.
Puasa melatih kita untuk bisa menahan dan mengendalikan diri berbagai kecenderungan destruktif. Ada saat di mana kita boleh makan dan minum dan ada saat di mana kita sudah tidak diperbolehkan lagi untuk makan dan minum. Ada batas waktu yang jelas yang membedakan keduanya. Ini adalah sebuah latihan kehati-hatian yang kita lakukan sepanjang bulan Ramadhan.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia, dikenal peringatan menjelang datangnya Subuh, yakni imsak. Imsak adalah sebuah upaya memberi peringatan agar masyarakat berhati-hati bahwa beberapa saat lagi akan masuk waktu Subuh yang menandakan dimulainya puasa. Dengan tibanya peringatan imsak, masyarakat mulai menghentikan aktivitas sahur dan segera bersiap menjalankan shalat Subuh berjamaah ke masjid.
Apabila tradisi imsak ini kita bawa dalam kehidupan yang lebih luas, akan membuat masyarakat terbiasa menjaga diri dan berhati-hati dari berbagai tindakan yang bisa menimbulkan kerusakan dan kerugian, serta menzalimi orang lain. Puasa Ramadhan sungguh telah memberikan pelatihan dan pembiasaan yang sangat positif dan konstruktif bagi setiap pribadi dan bagi masyarakat secara keseluruhan agar senantiasa memiliki sikap kehati-hatian dalam kehidupan. Tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi oleh berbagai ajakan yang mengarah kepada ketidakbaikan.
Nabi SAW memberikan pengarahan yang sangat jelas dalam hal ini. “Apabila salah seorang dari kamu berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan kasar. Jika seseorang mencaci atau menyerangnya, hendaklah ia mengatakan: Aku sedang berpuasa.”
Arahan tersebut menandakan pentingnya kehati-hatian agar kita tidak mudah dipancing dan diprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan ataupun anarkis. Kata-kata kotor dan kasar saja dilarang saat berpuasa, apalagi melakukan tindakan yang menyakiti dan merugikan orang lain. Bahkan, ketika ada orang yang mencaci dan menyerang, kita diarahkan untuk tidak meladeni dan justru menjaga diri dengan penuh kesabaran. “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan jahat, Allah tidak butuh kepada ia meninggalkan makan dan minum.”
Inilah yang didapatkan umat Islam dengan menjalankan puasa Ramadhan. Mereka akan mendapatkan sifat dan sikap kehati-hatian dalam kehidupan sehingga terbentuklah masyarakat yang dipenuhi oleh kebaikan. Bukan saja kesalehan individu, melainkan juga kesalehan sosial menjadi hasil penting yang didapatkan oleh masyarakat. Terbentuknya masyarakat yang saleh dan jauh dari sikap sembrono akan mengantarkan pada terciptanya lingkungan yang aman, damai, tenteram, dan sejahtera.
Cobalah kita perhatikan kesalehan masyarakat pada zaman terdahulu saat dipimpin oleh Khalifah Abu Bakar. Waktu itu, Umar bin Khattab diangkat menjadi qadi untuk menyelesaikan persoalan di antara masyarakat. Suatu saat, Umar beraudiensi dengan Khalifah Abu Bakar seraya mengajukan usulan, “Sudah lama aku memegang jabatan qadi dalam pemerintahanmu ini, tetapi tidak banyak orang yang mengadukan permasalahannya kepadaku. Karena itu, sekarang aku mengajukan permohonan agar dibebaskan dari jabatan ini.”
Abu Bakar terkejut atas usulan Umar ini. “Mengapa engkau mengajukan permohonan ini? Apakah karena beratnya tugas tersebut, ya Umar?” tanya Khalifah. “Tidak, ya Khalifah. Akan tetapi, aku sudah tidak diperlukan lagi menjadi qadinya kaum Mukminin. Mereka semua sudah tahu haknya masing-masing sehingga tidak ada yang menuntut lebih dari haknya. Mereka juga sudah tahu kewajibannya sehingga tidak seorang pun yang merasa perlu menguranginya. Mereka satu sama lain mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya. Kalau salah seorang tidak hadir, mereka mencarinya,” jawab Umar.
“Kalau ada yang sakit, mereka menjenguknya; kalau ada yang tidak mampu, mereka membantunya; kalau ada yang membutuhkan pertolongan, pasti mereka segera menolong; dan kalau ada yang terkena musibah, mereka menyampaikan duka cita. Agama mereka adalah nasihat. Akhlak mereka adalah amar makruf dan nahi munkar. Karena itulah, tidak ada alasan bagi mereka untuk bertengkar,” tambah Umar.
Ungkapan Umar di atas menggambarkan bagaimana kesalehan masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Sedemikian bagus mereka dalam berinteraksi, seakan-akan tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Jabatan qadi yang diemban Umar tidak lagi memiliki peran karena masyarakat sudah memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial. Mereka saling menjaga satu dengan yang lainnya sehingga tercipta kehidupan yang harmonis.
Sesungguhnya puasa Ramadhan akan mampu melahirkan kesalehan sosial yang membuat masyarakat hidup dalam kedamaian, hidup dalam ketenangan, dan terjauhkan dari berbagai kerusakan. Sangat indah apabila seluruh masyarakat Muslim yang menjalankan ibadah Ramadhan mampu menangkap hikmah besar dari setiap aktivitas ibadahnya karena mereka ini yang menjadi jumlah terbesar bangsa Indonesia.
Apabila ibadah puasa, Tarawih, tadarus Alquran, iktikaf dan berbagai aktivitas ibadah Ramadhan dilakukan dengan sepenuh penghayatan, pasti akan meningkatkan ketakwaan. Apabila takwa meningkat, kehidupan akan diwarnai oleh kehati-hatian. Satu sama lain akan saling menjaga dan menguatkan dalam kebaikan, tidak akan mencurangi atau menzalimi.
Betapa kita semua merindukan suasana masyarakat yang dipenuhi oleh harmoni. Di semua tempat, lahirlah masyarakat yang saling mengasihi, saling menghormati, saling menasihati, saling menjaga dalam kebaikan.
Di semua tempat, lahirlah masyarakat yang mengerti hak dan kewajiban, yang menghindarkan diri dari perbuatan zalim dan menghindarkan diri dari kerusakan. Sebuah masyarakat yang diwarnai oleh kesalehan sosial. Tentu suasana ideal tersebut menjadi impian kita semua dan menjadi kewajiban bagi kita untuk merealisasikan. Insya Allah, puasa dan serangkaian ibadah Ramadhan akan mengantarkan kita menuju kesalehan sosial. Semoga. (RoL)


Sumber : dakwatuna.com



Jumat, 05 Agustus 2011

Mari Berpuasa Lahir dan Batin

Oleh Dr A Ilyas Ismail

Seperti dimaklumi, puasa merupakan ibadah yang sangat istimewa sebagai proses penyegaran kembali (rejuvenation), baik fisik, mental, maupun spiritual. Ibadah ini bila dilaksanakan dengan benar dan dengan sikap batin yang kuat serta tulus karena Allah (imanan wa ihtisaban), maka ia dapat mengantar pelakunya meraih derajat takwa. (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Namun, untuk mencapai kualitas ini, seorang muslim mesti menjalankan puasa, tidak saja puasa lahir, tetapi juga puasa batin. Puasa lahir, seperti diajarkan oleh para ahli fikih, ialah menahan diri (al-imsak) dari makan dan minum, serta melakukan hubungan suami-isteri dari terbit fajar hingga matahari terbenam dengan niat karena Allah.


Sedangkan puasa batin, seperti diajarkan oleh para sufi, ialah menahan diri dari segala hal yang dilarang oleh Allah, bahkan menahan diri dari apa pun yang akan memalingkan manusia dari mengingat Allah. Horizon tertinggi dari puasa batin (internal fasting), menurut Imam Ghazali, juga menurut Kess Waaijman, dalam Spirituality: form, foundation, method (2002), adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Yang Terkasih (God is the Beloved One). Puasa batin mengantar manusia mencapai esensi Islam, yaitu berserah diri secara total kepada Allah SWT (total surrender to god).

Dalam buku Asrar al-Shaum, al-Ghazali menetapkan enam rukun yang bersifat moral dan spiritual, agar puasa batin dapat mencapai sasarannya, yaitu sah (al-shihhah) dan diterima Allah (al-maqbul). Pertama, mensucikan pandangan (shaum al-bashar) dari segala hal yang dilarang oleh Allah. Pandangan itu berbahaya karena ia seringkali menjadi titik awal keburukan. Kata Nabi, pandangan itu merupakan salah satu anak panah Iblis (sahmun min sihami Iblis). (HR Hakim dari Hudzaifah ibn al-Yaman).

Kedua, menyucikan lisan atau perkataan (shaum al-lisan) dari dusta, gosip, dan adu domba. "Jangan berkata kotor dan jangan berbuat jahil." (HR Bukahari dan Muslim). Orang yang berpuasa, demikian al-Ghazali, lebih baik diam (al-sukut), lalu banyak zikir, dan baca Alquran.

Ketiga, menyucikan pendengaran alias tutup telinga (shaum al-sam`) dari perkatan dusta dan kebohongan. Orang yang mendengar kebohongan sama buruknya dengan orang yang mengatakannya. Dalam Alquran, pendengar kebohongan disamakan dengan pemakan riba atau suap (QS al-Maidah [5]: 42 dan 63).

Keempat, menyucikan anggota tubuh yang lain (shaum baqiyat al-jawarih), seperti tangan, kaki, dan organ tubuh yang lain, serta mensucikan diri dari makan dan minum barang haram. Kelima, mengurangi makan yang terlalu kenyang. Sebab, hal demikian bertentangan dengan salah satu tujuan puasa, yaitu melepaskan diri dari kendali syahwat perut. Keenam, cemas, tetapi tetap penuh harap (optimistis) bahwa ibadah puasa yang dilakukan diterima oleh Allah SWT.

Semoga kita tak hanya puasa lahir, tetapi juga puasa batin. Dengan begitu, puasa betul-betul menjadi penyembuh yang cespleng (infallible remedy) untuk kebugaran kita, baik fisik, psikis, maupun mental dan spiritual. Wallahu a`lam.

Sumber : Republika.co.id