Selasa, 20 Januari 2009

Tujuan Hidup Manusia

Tujuan hidup manusia adalah untuk menggapai ridla Allah, ibtigha’a mardlatillah. Jadi apapun boleh yang penting diridlai Tuhan. Apalah artinya pangkat tinggi dan gaji besar jika tidak diridlai oleh Nya. Ridla artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan, terpulan g kepada apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau diridlai Tuhan atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridla Nya, maka apapun yang diberikan Tuhan kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridla (senang) pula, ridla dan dirdlai, radliyatan mardliyyah.



Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu itu diridlai atau tidak oleh Tuhan. Tolok ukur pertama adalah syari’at atau aturan agama. Sesuatu yang diharamkan Tuhan pasti tidak diridlai, dan sesuatu yang dihalalkan pasti diridlai, sekurang-kurangnya tidak dilarang. Selanjutnya nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya, memberi kepada orang yang meminta karena kebutuhan adalah sesuatu yang diridlai, tidak memberi tidaklah berdosa tetapi kurang disukai. Nah memberi sebelum orang yang memiliki kebutuhan itu meminta bantuan adalah perbuatan yang sangat diridlai Tuhan. Timbulnya perasaan ridla didasari oleh tingkat pengenalan kepada orang. Memperoleh pemberian adalah sesuatu yang menyenangkan, tetapi memperoleh pemberian dari orang yang kita sayangi dan kita tahu diapun menyayangi kita pastilah lebih menyenangkan. Orang yang mengenal (ma`rifat) kepada Tuhan akan merasa ridla atas apapun yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, selanjutnya iapun faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika orang merasa hidupnya diridlai Tuhan maka iapun merasa dirinya bermakna, dan dengan merasa bermakna itu ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika seseorang merasa hidupnya tak diridlai Tuhan, maka ia merasa semua yang dikerjakanya tidak berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna. Orang yang merasa kehadirannya berguna bagi orang lain maka ia akan memiliki semangat hidup, semangat bekerja, semangat berjuang, yang berat terasa ringan, pengorbanannya terasa indah. Sedangkan orang yang merasa dirinya tak berguna maka ia tidak memiliki semangat hidup, tidak memiliki semangat bekerja, merasa sepi di tengah keramaian dan lebih sepi lagi dalam kesendirian.

Indikator ridla Tuhan juga dapat dilihat dari dimensi horizontal. Nabi bersabda bahwa ridla Allah ada bersama ridla kedua orang tua, dan murka Allah ada bersama murka kedua orang tua. Jika ayah ibu ridla, maka Allahpun meridlainya, jika ayah ibu murka, Allahpun murka pula

Semangat mencari ridla Tuhan sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan perilakunya juga sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang beragama minus Tuhan, karena toh setiap manusia memiliki akal yang besa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.

Metode mengetahui ridla Tuhan juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri, istafti qalbaka. Mengapa dengan hati ?, orang bisa berdusta kepada orang lain, tetapi tidak kepada hati sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda. Hati yang sedang gelap, hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya. Hati juga sering tidak konsisten, oleh karena itu pertanyaan yang pali ng tepat adalah kepada hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal dari kata nur, nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni cahaya ketuhanan yang ditempatkan Tuhan di dalam hati manusia, nurun yaqdzifuyhulloh fi al qalb. Jika hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu konsisten terhadap kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridla Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.

Sumber : http://mubarok-institute.blogspot.com

Tidak ada komentar: