Senin, 29 Desember 2008

Kesalahan dan Kebaikan

Ingatlah olehmu dua perkara, yaitu kesalahanmu kepada orang lain dan kebaikan orang
lain kepadamu. Lupakan dua perkara, yaitu kebaikanmu pada orang lain dan kesalahan orang lain kepadamu.”

Nasihat ahli hikmah ini, perlu kita jadikan bahan renungan dan introspeksi dalam upaya mencapai pribadi yang ber-akhlakul karimah. Nilai seseorang bukanlah berada pada penampilan dirinya, bukan pula dari jabatan dan harta benda yang telah dikumpulkan. Seseorang dinilai bukan dari kursi yang diduduki, bukan pula berapa pangkat yang disandang dan tanda jasa yang melekat pada dadanya, serta bukan karena garis keturunannya. Seorang itu dinilai dari budi pekerti luhur yang menghiasi perilakunya.Â



Dikatakan dalam pepatah Arab, ”Kemuliaan seseorang itu dengan budi pekerti yang baik, bukan karena keturunan.” Mengapa kita harus mengingat kesalahan yang telah dikerjakan pada orang lain? Dengan mengingatnya, akan menimbulkan perasaan menyesal dalam diri kita, perasaan yang mendorong untuk bertobat kepada Allah, kemudian berusaha memperbaikinya dengan meminta maaf dan tidak akan mengulanginya.Â

Mengingat kebaikan orang lain terhadap kita akan mendorong kita selalu berbuat baik kepada orang lain. Kehidupan tidak akan terbina dengan baik tanpa kebaikan orang lain, yang pada hakikatnya kebaikan itu untuk dirinya sendiri. Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak sempurna iman seseorang sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari-Muslim) .Â

Melupakan kebaikan yang telah diperbuat pada orang lain akan mendorong kita menjadi pribadi yang mukhlis. Setiap kebaikan, hanya diniatkan lillah ta’la, seikhlas-ikhlasnya. Sebagai Muslim, sudah semestinya menjaga agar hati selalu suci dari kemunafikan, perbuatan harus selalu suci dari riya’, lidah harus selalu suci dari kebohongan. Sedangkan dengan melupakan kesalahan orang lain, akan mendorong kita menjadi pribadi pemaaf. Kita akan gampang memaafkan, sebesar apa pun kesalahan orang.Â

(Mahmudi Arif D )Â

Source : republika.co. id


Kamis, 25 Desember 2008

Mencari Kesegaran Hati
Oleh: Muhammad Nuh
-------------------------


dakwatuna.com - “Agama ini kokoh dan kuat. Masukilah dengan lunak, dan jangan sampai timbul kejenuhan dalam beribadah kepada Rabbmu.” (Al-Baihaqi)

Maha Suci Allah yang mempergilirkan siang dan malam. Kehidupan pun menjadi dinamis, seimbang, dan berkesinambungan. Ada hamba-hamba Allah yang menghidupkan siang dan malamnya untuk senantiasa dekat dengan Yang Maha Rahman dan Rahim. Tapi, tidak sedikit yang akhirnya menjauh, dan terus menjauh.

Seperti halnya tanaman, ruhani butuh siraman

Sekuat apa pun sebatang pohon, tidak akan pernah bisa lepas dari ketergantungan dengan air. Siraman air menjadi energi baru buat pohon. Dari energi itulah pohon mengokohkan pijakan akar, meninggikan batang, memperbanyak cabang, menumbuhkan daun baru, dan memproduksi buah.

Seperti itu pula siraman ruhani buat hati manusia. Tanpa kesegaran ruhani, manusia cuma sebatang pohon kering yang berjalan. Tak ada keteduhan, apalagi buah yang bisa dimanfaatkan. Hati menjadi begitu kering. Persis seperti ranting-ranting kering yang mudah terbakar.



Allah swt. memberikan teguran khusus buat mereka yang beriman. Dalam surah Al-Hadid ayat 16, Yang Maha Rahman dan Rahim berfirman, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka. Lalu, hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Hati buat orang-orang yang beriman adalah ladang yang harus dirawat dan disiram dengan zikir. Dari zikirlah, ladang hati menjadi hijau segar dan tumbuh subur. Akan banyak buah yang bisa dihasilkan. Sebaliknya, jika hati jauh dari zikir; ia akan tumbuh liar. Jangankan buah, ladang hati seperti itu akan menjadi sarang ular, kelabang dan sebagainya.

Hamba-hamba Allah yang beriman akan senantiasa menjaga kesegaran hatinya dengan lantunan zikrullah. Seperti itulah firman Allah swt. dalam surah Ar-Ra’d ayat 28. “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram.“

Rasulullah saw. pernah memberi nasihat, “Perumpamaan orang yang berzikir kepada Rabbnya dan yang tidak, seumpama orang hidup dan orang mati.” (Bukhari dan Muslim)

Siapapun kita, ada masa lengahnya

Manusia bukan makhluk tanpa khilaf dan dosa. Selalu saja ada lupa. Ketika ruhani dan jasad berjalan tidak seimbang, di situlah berbagai kealpaan terjadi. Saat itulah, pengawasan terhadap nafsu menjadi lemah.

Imam Ghazali mengumpamakan nafsu seperti anak kecil. Apa saja ingin diraih dan dikuasai. Ia akan terus menuntut. Jika dituruti, nafsu tidak akan pernah berhenti.

Pada titik tertentu, nafsu bisa menjadi dominan. Bahkan sangat dominan. Nafsu pun akhirnya memegang kendali hidup seseorang. Nalar dan hatinya menjadi lumpuh. Saat itu, seorang manusia sedang menuhankan nafsunya.

Allah swt. berfirman, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya.” (Al-Jatsiyah: 23)

Seburuk apapun seorang muslim, ada pintu kebaikannya

Seperti halnya manusia lain, seorang muslim pun punya nafsu. Bedanya, nafsu orang yang beriman lebih terkendali dan terawat. Namun, kelengahan bisa memberikan peluang buat nafsu untuk bisa tampil dominan. Dan seorang hamba Allah pun melakukan dosa.

Dosa buat seorang mukmin seperti kotoran busuk. Dan shalat serta istighfar adalah di antara pencuci. Kian banyak upaya pencucian, kotoran pun bisa lenyap: warna dan baunya.

Allah swt. berfirman dalam surah Ali Imran ayat 133 hingga135. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa….Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah. Lalu, memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.“

Khilaf buat hamba Allah seperti mata air yang tersumbat. Dan zikrullah adalah pengangkat sumbat. Ketika zikrullah terlantun dan tersiram dalam hati, air jernih pun mengalir, menyegarkan wadah hati yang pernah kering.

Sekecil Apapun kebaikan dan keburukan, ada ganjarannya

Satu hal yang bisa menyegarkan kesadaran ruhani adalah pemahaman bahwa apa pun yang dilakukan manusia akan punya balasan. Di dunia dan akhirat. Dan di akhirat ada balasan yang jauh lebih dahsyat.

Firman Allah swt., “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Al-Zilzaal: 7-8)

Pemahaman inilah yang senantiasa membimbing hamba Allah untuk senantiasa beramal. Keimanannya terpancar melalui perbuatan nyata. Lantunan zikirnya hidup dalam segala keadaan.

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 191)


Sumber :http://www.dakwatuna.com

Minggu, 21 Desember 2008

Berkarya Raih Kebaikan Berkelanjutan

Oleh : Ulis Tofa,Lc
-------------------------------------


dakwatuna.com - Islam sangat mengapresiasi prestasi kerja dan karya yang bermanfaat. Islam sangat menghormati nilai amal kebaikan. Itulah yang dibuktikan oleh Khalilullah, Bapak Tauhid, Ibrahim dan putranya Isma’il alaihimassalam. Prestasi kerja dan amal keduanya diabadikan dalam Al Qur’an, menjadi bukti kesaksian Allah swt. yang pasti benar, tidak perlu diperbincangkan lagi.

Adalah karya pengorbanan tiada tanding dan prestasi karya ibadah haji, berikut prosesi manasiknya.

Boleh jadi keduanya tidak pernah membayangkan, kalau akhirnya prestasi karya dan amal kebaikan itu diabadikan dalam Al Qur’an, bahkan lebih dari itu, kerja dan amal kebaikan itu diwariskan bagi umat sesudahnya. Kita setiap tahunnya melaksanakan idul kurban dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah.

Kita ambil satu sisi prestasi amal kebaikan keduanya, yaitu berkurban.



membuktikan kerja dan amal kebaikan sebagai bukti kehambaan sejati keduanya yang dipersembahkan untuk Allah swt. Dalam surat Ash Shaffat 100-111 Allah swt. berfirman:

” Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.

Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).

Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,

Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar
Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,

(yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.

Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Rasulullah saw. menegaskan apresiasi presatsi karya dan amal kebaikan dalam sabdanya:

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa dalam Islam memberi contoh kebaikan (bukan dalam hal ibadah ritual), berinofasi hal positif, menciptakan hal baru yang bermanfaat, maka baginya pahala, dan pahal orang yang mengikutinya setalahnya, tanpa dikurangi pahala orang yang mengikutinya tersebut sedikit pun. Dan barangsiapa yang memberi contoh keburukan, al yang nengatif, kerusakan, maka baginya dosa, dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang yang mengikutinya.” Imam Muslim.

Dalam konteks negara kita, para pahlawan dan orang-orang yang berjasa yang telah mendahului kita, mereka telah mempersembahkan presasi dan karya yang mereka miliki, mereka melawan penjajah yang taruhannya, air mata, harta bahkan nyawa, mereka para pejuang pengisi kemerdekaan, mereka para aktivis reformasi dan perubahan.

Boleh jadi, mereka tidak pernah mengharapkan di kemudian hari disebut sebagai pejuang, tidak pernah bermimpi dianugrahi gelar pahlawan. Mereka hanya berpikir untuk memberi yang terbaik yang mereka bisa, yang mereka mampu untuk negeri ini.

Dan sejarah mengulagi dirinya, sejarah selalu jujur, sehingga sejarah pun mengenang mereka, anak-anak negeri ini sesudah mereka memperingatinya.

Oleh karena itu, kita yang hidup di zaman sekarang ini, di negara Indonesia tercinta yang sedang dirundung banyak cobaan, kesulitan demi kesulitan, bencana demi bencana yang seakan-akan tidak pernah berhenti. Marilah, kita memberikan yang terbaik yang kita punya, kita tunjukkan presatsi kerja kita. Kita buktikan presati amal kebaikan kita. Sesuai kemampuan kita, sesuai bidang kita. Itu sangat berarti bagi keluarga kita, masyarakat, bangsa dan negara ini.

Rasulullah saw. bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « خير الناس أنفعهم للناس »

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak mannfaatnya kepada manusia lainnya.” Musnad Asy Syihab, jilid 4 hal. 365.

Dengan semangat berkurban, spirit memberi apa yang kita punya, mempersembahkan karya yang kita bisa, maka negeri ini diharapkan dapat keluar dari krisis multidimensi, menjadi negeri yang penuh berkah dan maghfirah dari Allah swt. “Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofuur”. Allahu a’lam

Sumber : Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,

(yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.

Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Rasulullah saw. menegaskan apresiasi presatsi karya dan amal kebaikan dalam sabdanya:

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa dalam Islam memberi contoh kebaikan (bukan dalam hal ibadah ritual), berinofasi hal positif, menciptakan hal baru yang bermanfaat, maka baginya pahala, dan pahal orang yang mengikutinya setalahnya, tanpa dikurangi pahala orang yang mengikutinya tersebut sedikit pun. Dan barangsiapa yang memberi contoh keburukan, al yang nengatif, kerusakan, maka baginya dosa, dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang yang mengikutinya.” Imam Muslim.

Dalam konteks negara kita, para pahlawan dan orang-orang yang berjasa yang telah mendahului kita, mereka telah mempersembahkan presasi dan karya yang mereka miliki, mereka melawan penjajah yang taruhannya, air mata, harta bahkan nyawa, mereka para pejuang pengisi kemerdekaan, mereka para aktivis reformasi dan perubahan.

Boleh jadi, mereka tidak pernah mengharapkan di kemudian hari disebut sebagai pejuang, tidak pernah bermimpi dianugrahi gelar pahlawan. Mereka hanya berpikir untuk memberi yang terbaik yang mereka bisa, yang mereka mampu untuk negeri ini.

Dan sejarah mengulagi dirinya, sejarah selalu jujur, sehingga sejarah pun mengenang mereka, anak-anak negeri ini sesudah mereka memperingatinya.

Oleh karena itu, kita yang hidup di zaman sekarang ini, di negara Indonesia tercinta yang sedang dirundung banyak cobaan, kesulitan demi kesulitan, bencana demi bencana yang seakan-akan tidak pernah berhenti. Marilah, kita memberikan yang terbaik yang kita punya, kita tunjukkan presatsi kerja kita. Kita buktikan presati amal kebaikan kita. Sesuai kemampuan kita, sesuai bidang kita. Itu sangat berarti bagi keluarga kita, masyarakat, bangsa dan negara ini.

Rasulullah saw. bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « خير الناس أنفعهم للناس »

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak mannfaatnya kepada manusia lainnya.” Musnad Asy Syihab, jilid 4 hal. 365.

Dengan semangat berkurban, spirit memberi apa yang kita punya, mempersembahkan karya yang kita bisa, maka negeri ini diharapkan dapat keluar dari krisis multidimensi, menjadi negeri yang penuh berkah dan maghfirah dari Allah swt. “Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofuur”. Allahu a’lam


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/berkarya-raih-kebaikan-berkelanjutan/










Rabu, 17 Desember 2008

Reformasi Akhlak Melalui Ibadah Haji (2)

Kategori: Akhlaq dan Nasehat, Fiqh dan Muamalah

2. Akhlak Dengan Sesama Manusia

Semenjak Allah menurunkan agama islam ini kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah telah mewajibkan kepada umat ini untuk berprilaku baik, berakhlak mulia, dan menghormati sesama manusia, terlebih-lebih sesama kaum mukminin. Bahkan islam menjadikan pergaulan, dan muamalah yang baik sebagai tolok ukur bagi keimanan seseorang:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً

“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dll)


Seorang muslim yang sedang menjalankan ibadah haji, pada hakikatnya sedang menjalani penggemblengan akhlak, sehingga bila ia benar-benar menjalani ibadah ini dengan baik, niscaya akan ada perubahan pada kepribadian dan perilakunya. Semenjak pertama kali seseorang memasuki ibadah haji, yaitu dengan berihram, maka ia tidak dibenarkan untuk berkata-kata jelek, atau melakukan kezaliman terhadap orang lain. Bukan hanya perbuatan kezaliman, bahkan hal yang akan mendatangkan kata-kata jelek, dan perbuatan zalim dilarang pula. Hal ini untuk membiasakan kita agar bisa menjauhi perbuatan-perbuatan tersebut.



الحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُوْمَاتُ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ

“(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui, maka barang siapa yang telah menetapkan niat pada bulan ini untuk menunaikan haji, maka tidak boleh berbuat rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam melaksanakan haji.” (QS. Al Baqoroh: 197)

Rafats adalah berjima’ atau melakukan hal-hal yang mengundang timbulnya birahi, atau berbicara tentangnya di hadapan wanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/236-237)

Adalah salah satu bagian dari kepribadian seorang muslim yang sejati, ia meninggalkan segala hal yang tidak berguna bagi dirinya, termasuk dalamnya perdebatan yang tidak bermanfaat, terlebih-lebih bila perdebatan tersebut hanya akan mendatangkan timbulnya hal yang tidak terpuji. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّة لِمَنْ تَرَكَ المِرَاء وَإِنْ كَان مُحِقّاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

“Aku menjamin, akan mendapatkan sebuah rumah di surga bagian bawah, bagi orang yang meninggalkan perdebatan, walaupun ia benar, dan sebuah rumah di tengah-tengah surga, bagi orang meninggalkan perbuatan dusta, walau hanya bergurau, dan sebuah rumah di surga paling tinggi, bagi orang yang akhlaknya baik.” (HR. Abu Dawud, At Thabrani, Al Baihaqi dll, dan dihasankan oleh Al Haitsami)

Ditambah lagi, ketika jamaah haji berada di kota Mekkah, maka ia akan selalu mengingat firman Allah:

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحِادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ

“Dan barang siapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya (Mekkah), niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian azab yang pedih.” (QS. Al Haj 25)

Para ulama menyebutkan, bahwa termasuk keistimewaan kota Mekkah, adalah barang siapa yang berniat untuk berbuat kejahatan di kota Mekkah, maka ia akan mendapatkan azabnya, walaupun ia belum melaksanakannya. Sahabat Ibnu Mas’ud menyatakan: “Seandainya ada orang di kota Aden (Yaman) yang berniat berbuat kejahatan di kota Mekkah dengan semena-mena, niscaya Allah akan menimpakan kepadanya sebagian azab yang pedih.” (diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Hakim). Seandainya selama jamaah haji berada di kota Mekkah, benar-benar menghayati akan makna ayat ini, -Insya Allah- hatinya akan suci, dan akhlaknya menjadi mulia.

Di antara salah satu pelajaran penting yang bisa diambil oleh jamaah haji, dari amalan wukuf di padang Arafah, di mana seluruh jamaah haji mengenakan pakaian yang sama, berpenampilan sama, sehingga tidak kelihatan perbedaan derajat, kedudukan, kekayaan, yang ada di antara mereka. Ini adalah sebuah pemandangan yang mengingatkan akan satu hakikat yang telah dilalaikan oleh kebanyakan manusia; yaitu: Bahwa tidaklah ada perbedaan antara manusia di hadapan Allah, kecuali dengan ketakwaan.

Hakikat ini telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan dalam salah satu khotbah beliau pada hajjatul wada’ dengan bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ، أَلاَ إِنَّ رَبَّكم وَاحِدٌ وإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ لأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

“Wahai para manusia! Ketahuilah, bahwasanya Tuhan kalian adalah satu, dan ayah kalian adalah satu. Ketahuilah! Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang ‘ajam (non Arab), dan juga tidak bagi orang ‘ajam atas orang Arab, juga tidak bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan juga tidak bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad)

Sebagai salah satu praktek nyata yang pernah Rasulullah ajarkan kepada umatnya, adalah sabda beliau kepada sahabat Umar bin Khottob:

يَا عُمَرُ، إِنَّكَ رَجُلٌ قَوِيٌّ، لاَ تُؤْذِ الضَّعِيْفَ إِذا أَرَدْتَ اسْتِلاَمَ الحَجَرَ، فَإِنْ خَلاَ فَاسْتَلِمْهُ وَإلاَّ فاسْتَقْبِلْهُ وَكَبِّرْ

“Wahai Umar, sesungguhnya engkau adalah lelaki yang kuat, maka janganlah engkau menyakiti orang yang lemah, bila engkau hendak mengusap hajar (aswad), bila engkau mendapatkan kesempatan senggang, maka silakan engkau mengusap, dan bila tidak, maka silakan engkau menghadap kepada hajar aswad, lalu bertakbirlah.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqy)

Marilah kita bandingkan hadits ini dengan kenyataan yang terjadi di sekitar Hajar Aswad, niscaya akan kita dapatkan praktek-praktek yang sangat bertentangan dengan maksud-maksud ibadah haji. Pendidikan ini, tidak terbatas hanya semasa jamaah haji berada di kota Mekkah saja, bahkan di saat mereka berkunjung ke kota Madinah pun akan mendapatkan hal yang sama, karena kedua kota ini memiliki banyak persamaan, keduanya adalah tanah haram.

المَدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عِيْرٍ وثَوْرٍ فَمَنْ أحْدَثَ فِيْهَا حَدَثاً أَوْ آوَى مُحْدِثاً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ والمَلاَئِكَةِ والنَّاسِ أَجْمَعِيْن، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفاً وَلاَ عَدْلاً

“Madinah adalah tanah haram, antara gunung ‘Ir dan Tsaur, maka barang siapa yang berbuat kesalahan di dalamnya, atau melindungi orang yang berbuat kesalahan, maka ia ditimpa laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia, Allah tidak akan menerima darinya pengganti atau tebusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bila hal ini benar-benar dihayati oleh setiap jamaah haji, berarti ia benar-benar menjalani pendidikan akhlak, dan penyucian jiwa, sehingga perangai baik dan budi luhur yang ia lakukan selama satu bulan lebih, akan menyatu dengan darah dagingnya.

3. Akhlak Dengan Diri Sendiri

Bila kita renungkan dan kita pelajari apa yang terjadi di sekitar kita, dari kejahatan dan perbuatan yang tidak terpuji, niscaya kita akan berkesimpulan, bahwa yang menyebabkan mereka melakukan perbuatan tersebut adalah dua hal:

Hawa nafsu yang tidak dikendalikan.
Kebodohan.
Pada ibadah haji, terdapat banyak hal yang kalau kita pikirkan dengan baik, ternyata merupakan ajaran yang mengajak dan membina umat agar bisa terlindung dari dua penyebab kemaksiatan tersebut. Marilah kita bersama-sama perhatikan sebagian manasik haji, untuk membuktikan kebenaran ungkapan ini.

Larangan-Larangan Ihram

Semenjak seseorang memulai ihramnya, yaitu dengan berniat menjalankan ibadah haji, dan telah mengenakan pakaian ihram, maka ia diharamkan melakukan beberapa hal, yang sebelumnya diperbolehkan. Ia tidak boleh berjima’ atau melakukan hal yang membangkitkan syahwat, memakai wewangian, mengenakan pakaian yang berjahit, memotong kuku, rambut dll.

Para ulama menyebutkan alasan dilarangnya memotong rambut, kuku, menggunakan wewangian, adalah untuk meninggalkan perbuatan taraffuh (berfoya-foya), sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab fikih. Ini semua adalah merupakan latihan, yang dijalani oleh jamaah haji, untuk mendidik jiwa dan nafsunya, sehingga ia bisa mengendalikan hawa nafsunya, dan mengarahkannya kepada yang dihalalkan dalam syariat.

Wukuf di Arafah

Pemandangan wukuf di Arafah adalah sebuah pemandangan yang sarat dengan hikmah, di antaranya, mengingatkan kita semua akan adanya hari kebangkitan, di mana semua manusia akan dibangkitkan dari alam kuburnya, dan menghadap kepada Allah ta’ala. Bangkit dalam keadaan tidak ada perbedaan derajat, kekayaan, pangkat, kecuali perbedaan iman dan takwa.

Semua jamaah haji memanjatkan doa dan hajatnya langsung kepada Allah tanpa ada perantara atau penerjemah, demikian pulalah halnya yang akan terjadi kelak pada hari kiamat. Kita akan menghadap kepada Allah dan mempertanggung jawabkan seluruh amalan kita selama di dunia, tanpa ada penerjemah atau perantara. Penghayatan yang demikian ini, akan menimbulkan rasa tawadhu’, dan mengikis habis kesombongan dari hati manusia.

Melempar Jumrah

Salah satu amalan dalam ibadah haji yang penuh dengan hikmah adalah amalan melempar jumrah, dikarenakan ini adalah salah satu simbol permusuhan antara manusia dan syaitan. Amalan ini mengingatkan kita kepada kisah Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail, tatkala Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih anaknya Ismail, serta usaha syaitan untuk menggoda keduanya.

Oleh karena itu, hendaknya amalan ini tidak berhenti sebatas sebuah simbol, dan tidak dilanjutkan pada amalan nyata. Sebagai salah satu perwujudan dari pengamalan dari simbol ini, adalah tata cara melempar jumrah, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara melempar yang benar, yaitu dengan menggunakan batu yang kecil, tidak terlalu kecil, dan juga tidak terlalu besar. Ukuran batu lempar jumrah ini adalah sebuah contoh untuk kita, agar selalu menjauhi sikap berlebih-lebihan/ekstrem (ghuluw’ ) dalam segala hal.

بِأَمْثَالِ هَؤُلاَءِ بِأَمْثَالِ هَؤُلاَءِ، وإيَّاكُمْ وَالغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فإِنَّما هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم بِالْغُلُوِّ فِيْ الدِّين

“Dengan menggunakan bebatuan seperti itu, Dengan menggunakan bebatuan seperti itu, dan hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw’ (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa, dikarenakan sikap ghuluw’ dalam agama.” (HR. Ahmad, An Nasa’i, Al Hakim dll)

4. Akhlak Dengan Makhluk Lain

Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk membawa kerahmatan kepada alam semesta, bukan hanya manusia saja yang mendapatkan perhatian dalam islam, bahkan semua yang ada di alam ini mendapatkan bagiannya. Oleh karena itu, makhluk selain manusia akan mendoakan orang-orang yang menerapkan syariat-syariat islam, juga orang-orang yang mengajarkannya.

إِنَّ اللهَ ومَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلُ السَّمَاوَات والأَرَضِيْنَ حَتى النَّمْلَةُ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتُ فِي البَحْرِ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسَ خَيْراً. رواه الترمذي والطبراني.

“Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan di lautan, mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi dan Thabrani)

Di saat menunaikan ibadah haji (di saat berihram), kita dilarang berburu, mengganggu atau menghalau binatang liar yang kita jumpai, ini adalah salah satu wujud nyata dari kerahmatan yang Allah turunkan kepada alam semesta, termasuk binatang buruan, Dan termasuk akhlak yang diajarkan kepada kita, agar tidak membunuh, atau mengganggu binatang, kecuali kalau ada alasan yang dibenarkan, mari kita renungkan bersama kisah berikut:

Dikisahkan dalam sebuah hadits bahwa ada seorang wanita penzina yang diampuni dosanya, karena ia memberi minum seekor anjir yang hampir mati kehausan. Akan tetapi sebaliknya, ada seorang wanita yang dimasukkan neraka gara-gara mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan. Kedua kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Tidak berhenti sampai di sini akhlak baik yang diajarkan kepada kita dengan binatang, bahkan sampai saat menyembelih pun kita diajarkan untuk tetap berpegang teguh dengan akhlak yang mulia.

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيئٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا القِتْلَةَ، وَإذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. رواه مسلم

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan perbuatan (ihsan) baik dalam segala sesuatu, maka bila engkau membunuh, hendaknya kalian membunuh dengan cara yang baik, dan bila menyembelih, hendaknya menyembelih dengan cara yang baik, hendaknya kalian menajamkan pisau sembelihannya, dan hendaknya ia membiarkan binatang sembelihannya hingga tenang (benar-benar mati, baru dikuliti, dan dipotong-potong)” (HR. Muslim)

Ini sebagian dari hikmah-hikmah yang bisa kita ambil dari amalan haji, yang kalau kita bisa mengamalkannya, insya Allah haji kita menjadi haji yang mabrur, karena kita menjalankannya penuh dengan penghayatan akan apa yang kita amalkan. Bukan hanya sekedar amalan sakral yang kita jalani tanpa ada penghayatan dan hikmah yang kita dapatkan.

Pada akhirnya, saya tidak memiliki kata yang lebih indah dari doa: semoga Allah memberikan taufik dan ‘inayah-Nya kepada pemerintah, dan kepada kaum muslimin di negeri kita secara umum, jamaah haji secara khusus, dan semoga ibadah haji mereka menjadi haji yang mabrur, yang pahalanya adalah surga. Kemudian, saya mengucapkan puja dan puji syukur kepada Allah ta’ala, dan sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya hingga hari kiamat. Wallahu a’lam bisshowwab.

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Sumber :Artikel www.muslim.or.id


Senin, 15 Desember 2008

Ketika Nikmat Berubah Menjadi Azab
Oleh : Hanif Yahya Asy’ari, Lc

Betapa banyak dan besar nikmat yang telah Allah subhanahu wata’ala anugerahkan kepada kita. Oleh karena itu, sepantas nyalah kita mensyukuri hal itu. Namun ada kalanya manusia lupa setelah dianugerahi nikmat-nikmat tersebut lalu menjadi kufur. Bila demikian halnya, dapatkah nikmat tersebut berubah menjadi azab dan bencana? Kapan dan bagaimana? Mengapa para pelaku dosa dan maksiat, khususnya orang-orang kafir hidup dalam kesenangan seakan seisi dunia dan segala jenis kebaikan tumpah ruah untuk mereka? Lalu bagaimana nikmat bisa hilang dari genggaman seorang Mukmin.?



Nikmat Berubah Menjadi Azab dan Bencana

Bila ditanyakan, “Dapatkah nikmat berubah menjadi azab dan bencana? Maka jawabannya secara pasti, ‘Ya.!’. Sedangkan kapan dan bagaimana? Maka hal itu dapat terjadi bila kita tidak pernah bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala.

Oleh karena itu, di antara doa yang sering diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah doa yang artinya, “Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat, dari azab yang datang tiba-tiba, berubahnya keselamatan yang diberikan oleh-Mu dan dari semua kemurkaan-Mu. ” (HR. Muslim).

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala memberikan kesenangan dengan nikmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki; bila mereka tidak bersyukur, maka Dia akan membalikkannya
menjadi adzab.”

Abu Hazim rahimahullah berkata, “Setiap nikmat yang tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala, maka ia adalah bencana.”

Nikmat akan abadi bila disertai dengan rasa syukur dan keta’atan sedangkan ia akan hilang karena perbuatan-perbuatan maksiat, keji dan pembangkangan terhadap Allah subhanahu wata’ala. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Kaitkanlah nikmat-nikmat Allah subhanahu wata’ala dengan ungkapan rasa syukur kepada-Nya.”

Syubhat Pelaku Dosa dan Maksiat

Terkadang ada orang yang berkata, mengapa kita selalu melihat orang-orang fasiq yang bergelimang dosa dan maksiat dilimpahkan kepada mereka kesenangan dunia dan seisinya, kebaikan mengalir deras kepada mereka.? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, mari kita dengar penjelasan Sayyid asy-Syakirin (penghulu orang-orang yang pandai bersyukur) dan imam orang-orang yang bersabar, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Bila kamu melihat Allah memberikan kepada seorang hamba dunia dan apa yang ia sukai, padahal ia melakukan berbagai perbuatan maksiat,
maka itu hanyalah ‘Istidraj’ (perdaya) dari-Nya.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Ketika mengomentari firman-Nya, artinya, “Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. al-Qalam: 44). Sufyan rahimahullah berkata, “Yakni melimpah kan beragam nikmat kepada mereka dan menghalangi mereka untuk bersyukur.”

Demikian juga firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Hud, ayat 102, artinya : ”Dan begitulah azab Rabbmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.”

Allah subhanahu wata’ala memperdaya orang yang membangkang dan berpaling, meng ulur-ulur baginya akan tetapi Dia tidak pernah melalaikannya! Jadi, nikmat berubah menjadi azab dan bencana, kemenangan berubah menjadi kekalahan dan kegembiraan berubah menjadi kesedihan bila kita tidak bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala dengan sebenar-benar nya atau sesuai dengan kemampuan.!

Bagaimana Nikmat Dapat Hilang?

Nikmat hilang karena beberapa hal:

Pertama, Perbuatan maksiat dan dosa, membalas nikmat dengan hal yang membuat Allah subhanahu wata’ala menjadi murka. Bila mendapat nikmat Allah subhanahu wata’ala, maka jagalah sebab perbuatan maksiat dapat menghilangkan nikmat. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menegaskan hal itu, di antaranya, firman-Nya, artinya :

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum: 41). Dan firman-Nya, artinya, “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” (QS.an-Nisa’ :79). Dan ayat-ayat lainnya.

Apakah termasuk bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas nikmat ilmu, misalnya, jika menyembunyikannya, tidak mengajarkannya kepada manusia dan tidak mengamalkannya? Apakah termasuk bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas nikmat kesehatan, mengerahkan segenap tenaga dan upaya dalam hal-hal yang diharamkan? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: hidupmu sebelum kematianmu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu dan masa kayamu sebelum masa tuamu.” (HR. Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi, dishahihkan Syaikh al-Albani).

Kedua, bila kamu menisbatkan nikmat tersebut kepada selain Allah subhanahu wata’ala, Sang Pemberi nikmat. Hal ini sebagai mana yang terjadi terhadap Qarun ketika ia menisbatkan nikmat kepada dirinya dan ilmunya melalui firman Allah subhanahu wata’ala, artinya : “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. al-Qashash: 76).

Lalu apa akibatnya? Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam ayat-ayat selanjutnya, yang artinya, “Maka Kami benamkan Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya
terhadap azab Allah, dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS.al-Qashash: 81).

Tidak boleh menisbatkan nikmat kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Hal ini seperti yang dikatakan oleh al-Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah bahwa itu termasuk kekufuran dan Juhud (ingkar) kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana firman-Nya, yang artinya, “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya. ” (QS. an-Nahl: 83).

Contoh lain dari ucapan yang tidak mencerminkan kesyukuran adalah ucapan orang-orang awam, “Andaikata bukan karena si fulan, pastilah tidak terjadi seperti ini.” “Kalau bukan karena kekuatan dan perbekalan kita, pastilah
begini dan begitu.” “Kita meraih kemenangan sebab pasukan kita kuat dan terlatih”, dan ucapan semisalnya. (Taisir al-’Aziz al-Hamid, hal.583-585)

Dalam hal ini, tidak apa-apa, -bahkan selayaknya- berterima kasih kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita atau menjadi sebab kita mendapatkan nikmat atau terhindar dari bencana dengan mengatakan kepadanya, “Jazakallahu khaira, (Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu).” Jika ia seorang Muslim, kita berdo’a untuknya dan berbuat baik kepadanya serta berterimakasih kepadanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “‘Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterimakasih kepada manusia.” (Shahih al-Jami’, 7719).

Ketiga, bila seorang hamba ditimpa sifat Ghurur (percaya diri yang berlebihan) atau sombong dan congkak terhadap makhluk lain karena memiliki harta yang banyak, properti, ilmu, kedudukan dan sebagainya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya : “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung, Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkan nya.” (QS. al-Humazah: 1-3)

Keempat, bila kamu tidak pernah memenuhi hak Allah subhanahu wata’ala atas nikmat tersebut. Bila kita memiliki ilmu, maka kita harus mengajarkannya; jika kita memiliki harta, maka kita harus menginfakkannya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman : “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. al-Ma’arij: 24-25)Â

Oleh karena itu, seperti di dalam kitab ash-Shahih, dua malaikat berdoa setiap harinya dengan doa, “Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak pengganti dan berikanlah kepada orang kikir kehancuran.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).

Bila diberi kesehatan dan afiat, maka kita harus memanfaatkannya untuk berdakwah dan berjihad. Demikian seterusnya, kita mengekspresikan rasa syukur atas setiap anggota badan kita semampu kita.

(Buletin An-Nur. Sumber: Serial Kumpulan Khutbah Jum’at, penyusun Dr. Sulaiman bin Oadah)
Sumber : http://www.tauziyah.com

Sabtu, 13 Desember 2008

Reformasi Akhlak Melalui Ibadah Haji (1)

Kategori: Akhlaq dan Nasehat, Fiqh dan Muamalah

Agama islam adalah agama yang mengajarkan akhlak mulia, norma-norma kemanusiaan dan keadilan. Ia menanamkan pada jiwa setiap muslim, kewajiban untuk berbudi pekerti baik, bertindak dengan bijak. Jikalau kita mengamati syariat agama kita ini, dari amalan yang paling kecil hingga yang paling besar, niscaya kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa setiap ajaran yang diajarkan, bertujuan mewujudkan kemuliaan akhlak dan kesucian jiwa. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan akan hakikat ini dengan jelas dalam sabdanya:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.” (HR. Ahmad


Bila kita membaca siroh (perjalanan hidup) beliau, niscaya akan kita dapatkan wujud nyata dari sabda beliau ini, beliau benar-benar sebagai uswah paling bagus dalam menerapkan akhlak karimah. Sebagai seorang hamba, beliau adalah hamba Allah yang paling mulia akhlaknya, sebagai seorang pemimpin, beliau adalah pemimpin yang paling adil, bijak, dan sabar, sebagai seorang suami, beliau adalah suami yang paling baik terhadap istrinya.

Allah telah memberikan persaksian-Nya akan hal ini dengan berfirman:

وإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sungguh-sungguh engkau berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qalam: 4)

Bila kita hendak menghitung satu persatu akhlak beliau, niscaya kita akan menghadapi kesulitan, oleh karena itu Aisyah memberikan gambaran yang sangat jelas akan akhlak beliau dengan mengatakan:

كَانَ خُلُقُهُ القُرْآن

“Akhlak beliau adalah Al Quran.”

Kalau kita mempelajari makna “akhlak” lebih mendalam, dengan mengumpulkan dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah yang berhubungan dengan akhlak hasanah, maka kita akan dapatkan bahwa kata “akhlak” memiliki kandungan makna yang sangat luas. Kita akan mendapatkan penjelasan kewajiban berakhlak hasanah dengan Allah ‘azza wa jalla, berakhlak hasanah dengan sesama manusia dengan berbagai macam bentuk dan keyakinan mereka,, berakhlak hasanah dengan diri sendiri, dan berakhlak hasanah dengan makhluk lain, seperti malaikat, jin, binatang dan lain sebagainya.

Inilah hakikat agama islam, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, sehingga banyak dari mereka beranggapan, bahwa agama islam identik dengan kekerasan, teroris, kaku, dll. Dan untuk lebih jelasnya, mari kita renungkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً

“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Al Hakim dll)

Manasik Haji Cerminan Bagi Akhlak Mulia

Haji adalah salah satu rukun islam, haji adalah ibadah yang tergabung padanya antara amalan badan dan pengorbanan harta, dan haji adalah salah satu ibadah yang paling agung, yang memiliki kandungan makna, dan hikmah yang sangat luas lagi mendalam. Para ulama menyatakan, bahwa haji adalah salah satu madrasah yang sangat agung, untuk menggembleng keimanan seorang muslim.

وأَذِّن فِي النَّاسِ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُم وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِيْ أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِنْ بَهِيمَة الأَنْعَام

“Dan kumandangkanlah ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan agar mereka menyebut Nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan, atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al Haj: 27-28)

Ulama mengomentari bahwa yang dimaksudkan dengan kata “menyaksikan manfaat” adalah mendapatkannya, bukan sekedar melihat, akan tetapi mendapatkannya.

Ibnu Abbas menafsiri kata ( مَنَافع ) ayat ini dengan mengatakan: “Manfaat di dunia dan manfaat di akhirat, adapun manfaat di akhirat adalah keridhoan Allah ‘azza wa jalla, dan manfaat di dunia adalah mendapatkan pembagian daging korban, sesembelihan, dan perdagangan.” (Ad Durrul Mantsur 6/37)

Dan Al Mujahid menafsirkan dengan berkata: “Manfaat adalah perdagangan dan setiap hal yang menjadikan Allah ridho dari urusan dunia dan akhirat.” (Tafsir At Thobari 17/147)

Ibadah haji bukan hanya sebuah rentetan amalan sakral yang tidak diketahui manfaat dan hikmah dari pelaksanaannya. Akan tetapi ibadah haji –sebagaimana ibadah-ibadah lainnya- penuh dengan maksud-maksud dan hikmah-hikmah yang sangat indah dan besar. Kalau kita perhatikan fakta yang ada pada jamaah haji pada umumnya, dan pada diri kita saat melaksanakan ibadah yang mulia ini, akan kita lihat terjadinya perbedaan antara sesama mereka dalam mengambil hikmah, dan menyelami kandungan makna ibadah ini.

Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah, bila setiap muslim memikirkan, dan memberikan sebagian perhatiannya agar semakin banyak rahasia-rahasia, atau hikmah-hikmah dari amalan-amalan ibadah ini, yang kita dapatkan

Sebagaimana telah disebutkan dalam Muqaddimah, bahwa agama islam adalah agama akhlak, yang menjadikan kesucian jiwa, atau yang sering disebut dengan akhlak –dengan berbagai macamnya, sebagai tujuan dari setiap syariatnya. Dan kalau kita amati, dan renungkan setiap amalan-amalan yang terdapat pada ibadah haji, niscaya masing-masing amalan adalah bukti kuat akan kebenaran apa yang telah diisyaratkan di atas.

Berikut ini saya akan berusaha untuk sedikit memaparkan beberapa hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang terpendam dibalik amalan-amalan ibadah haji, dengan harapan menjadi pilar bagi jamah haji Indonesia untuk lebih mendalami dan menghayati akan makna-makna yang terkandung di dalamnya; sehingga amalan ibadah mereka semakin baik dan semakin besar peluang untuk menjadi haji yang mabrur, dan ibadah haji benar-benar dapat terwujud dalam kepribadian dan budi pekerti setiap bapak dan ibu haji. Dan ulasan saya ini, akan saya urutkan sesuai dengan urutan pembagian akhlak yang telah saya sebutkan pada awal makalah ini.

1. Akhlak Dengan Allah

Ibadah haji, dari amalan paling pertama, yaitu talbiyyah, hingga amalan paling akhir, yaitu thawaf wada’, penuh dengan pendidikan akhlak dengan Allah, Sang Pencipta ‘azza wa jalla.

Ucapan Talbiyyah

لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك، لا شريك لك

“Kusambut panggilan-Mu, Ya Allah, kusambut panggilan-Mu, Kusambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, Kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, karunia, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”

Talbiyyah ini adalah puncak pengikraran iman dan tauhid, di mana hakikat iman dan tauhid adalah pengagungan Allah dengan sebenar-benarnya. Pada talbiyyah ini, kita mengikrarkan bahwa segala pujian, kenikmatan dengan berbagai macam dan wujudnya, dan segala kekuasaan, termasuk ke dalamnya mengatur alam semesta ini, hanya milik Allah, tiada satu pun yang menjadi sekutu bagi Allah dalam semua hal-hal tersebut. Oleh karena itu sebagai kelaziman dari ikrar, kita hanya bersyukur dengan menujukan segala macam ibadah kepada-Nya semata.

Dan sikap yang demikian ini, merupakan puncak akhlak yang mulia dengan Allah, di mana kita mengakui bahwa Allah-lah yang menciptakan, mengatur, dan hanya Dia-lah yang berhak disembah. Untuk lebih mengetahui bahwa ucapan talbiyyah ini adalah wujud nyata dari akhlak mulia dengan Allah, maka mari kita bandingkan ucapan ini dengan talbiyyah orang-orang musyrikin pada zaman dahulu. Mereka mengucapkan:

لَبَّيكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ إلاَّ شَرِيكاً هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ

“Kusambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang Engkau miliki, Engkau menguasainya dan apa yang ia miliki.”

Betapa rendahnya akhlak mereka kepada Allah, mereka mengakui bahwa sekutu yang mereka sembah di bawah kekuasaan Allah, akan tetapi mereka tetap mendudukkannya sejajar dengan Allah. Oleh karena itu Allah, berfirman tentang mereka:

وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ والأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُه يَومَ القِيَامَة والسَمَاواتُ مَطْوِيَّات بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari qiyamat, dan langit-langit digulung dengan Tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah, dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az Zumar: 67)

Thawaf

Setiba jamaah haji di kota Mekkah, maka pertama yang dilakukan adalah bersuci, lalu thawaf mengelilingi ka’bah. Thawaf adalah amalan yang sangat agung dan dicintai Allah ta’ala:

وَعَهِدنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وإسمَاعيل أَنْ طَهِّرا بَيتِيَ للطَّائِفِين وَالعاكِفِين والرُكَّع السُّجود.

“Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Sucikanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf , yang I’tikaf, yang ruku’ dan sujud.” (QS Al Baqoroh: 125)

Tatkala seorang muslim menjalankan ibadah yang agung, niscaya ia akan mendapatkan pelajaran penting, yaitu keyakinan bahwa ibadah thawaf, hanya ia lakukan di ka’bah, sehingga ia tidak akan melakukannya di tempat lain, baik di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kuburan wali.

Imam An Nawawi berkata: “Tidak diperbolehkan untuk berthawaf mengelilingi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga dimakruhkan untuk menempelkan punggung atau perut kepada dinding kuburan beliau, … Dan tidak boleh kita terpengaruh oleh pelanggaran dan perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam. Karena sesungguhnya kita hanya mencontoh, dan mengamalkan apa yang disebutkan dalam hadits yang shohih, dan yang disebutkan oleh para ulama. Dan tidak sepantasnya kita menoleh kepada perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap bodoh yang mereka lakukan.”

Beliau menukilkan ungkapan Al Fudlail bin ‘Iyadl: “Ikutilah jalan-jalan hidayah, dan jangan engkau merasa takut karena sedikitnya penempuh jalan tersebut. Dan hati-hatilah engkau dari jalan-jalan kesesatan, dan jangan terperdaya oleh banyaknya penempuh jalan tersebut.” (Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab 8/203)

Dan di antara amalan yang disunahkan dalam ibadah thawaf adalah mencium Hajar Aswad. Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengisahkan: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau tiba di Mekkah, dan menjalankan thawaf pertama kali, beliau menyentuh Hajar Aswad, lalu berlari-lari kecil sebanyak tiga kali putaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikianlah disunahkan bagi setiap kaum muslimin untuk mencium Hajar Aswad, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjalankan sunnah-sunnahnya, bukan karena meyakini bahwa Hajar Aswad memiliki kekuasaan untuk memberi manfaat atau memberi madharat, atau khasiat tertentu.

Oleh karena itu Khalifah Umar bin Khatthab ketika mencium Hajar Aswad, beliau berkata: “Sungguh demi Allah aku menyadari bahwa engkau adalah sebuah batu yang tidak bisa memberi manfaat atau madharat, dan seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian yang disyariatkan untuk disentuh/diusap hanyalah Hajar Aswad dan Rukun Yamani, selain keduanya, yaitu kedua Rukun Syami (kedua sudut Hijir Ismail) dan juga tempat-tempat lainnya tidak diperbolehkan untuk diusap atau dicium, baik maqom Ibrahim, kuburan Nabi, atau Wali, atau masjid, atau yang lainnya.

Imam Ahmad meriwayatkan: bahwa suatu saat sahabat Muawiyah radhiallahu ‘anhu sedang menjalankan thawaf bersama dengan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, dan ketika Muawiyah melintasi kedua sudut Hijir Ismail, beliau mengusap keduanya, maka sekonyong-konyong Ibnu Abbas menegurnya dan berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengusap kedua sudut ini.”

Imam An Nawawi tatkala membahas adab berziarah kepada kuburan Nabi, beliau berkata: “Dan dimakruhkan mengusap dinding kuburan, atau menciumnya, akan tetapi adab yang benar adalah kita menjaga jarak dari kuburan, sebagaimana kita menjaga jarak dari beliau, bila kita berhadapan dengannya semasa hidupnya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan inilah adab yang benar, yang dinyatakan oleh para ulama, dan mereka bersepakat atasnya… Dan barang siapa yang terbetik dalam benaknya, bahwa mengusap-usap dinding kuburan Nabi, atau yang serupa akan lebih mendapatkan barokah, maka anggapan yang demikian ini adalah bagian dari kebodohan dan kelalaiannya; karena keberkahan hanyalah didapatkan pada perbuatan yang sesuai dengan syariat. Dan bagaimana mungkin keberuntungan bisa didapatkan dari sikap menentang kebenaran.” (Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab 8/203)

Setelah melaksanakan ibadah thawaf, orang yang menjalankan ibadah haji akan berbondong-bondong menuju gunung Shafa dan Marwah, guna menjalankan ibadah sa’i tujuh kali. Ibadah ini mengingatkan kita kepada kisah sebuah keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Allah, mereka menjalankan perintah Allah, dengan penuh keimanan, yaitu keluarga Abul Anbiya’ Ibrahim ‘alaihi sallam.

Tatkala Allah memerintahkan Nabi Ibrahim agar menempatkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail (yang kala itu masih menyusu), di Mekkah (yang dahulu bernamakan pegunungan Faran), maka beliau menaati perintah ini. Beliau menempatkan keduanya di atas sebuah batu besar, yang terletak diatas sumur zam-zam (kala itu di tempat tersebut tidak ada air, juga tidak ada penghuninya). Lalu Nabi Ibrahim hanya memberikan bekal untuk keduanya sekantung kurma, dan sebejana air.

Kemudian Nabi Ibrahim pergi meninggalkan keduanya, sehingga Hajar mengikutinya dari belakang, dan berkata: “Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi, apakah engkau akan tinggalkan kami di lembah ini, yang tidak ada seorang manusia pun, juga tidak ada sesuatu.” Ia mengulang-ulang perkataannya ini, akan tetapi Nabi Ibrahim tidak menoleh sedikit pun.

Lalu Hajar berkata: “Apakah Allah yang memerintahkan engkau dengan hal ini?” maka Nabi Ibrahim menjawab: Ya. Maka Hajar berkata: “Kalau demikian, Ia tidak akan menyia-siakan kami.” (HR. Bukhari)

Ini adalah sebuah gambaran bagi sebuah keluarga yang iman dan tawakal telah tertanam dan menyatu dengan hati mereka, sehingga dalam keadaan seperti disebut, Hajar yakin bahwa Allah pasti memberikan jalan keluar dari segala apa yang akan ia hadapi. Ini adalah sebuah pelajaran penting yang seharusnya selalu diingat-ingat oleh setiap orang yang sedang menjalankan ibadah ini, kemudian ia jadikan kisah ini sebagai pilar dalam kehidupannya. Terutama pada di saat menghadapi berbagai problema dalam kehidupan di dunia ini, tidak ada kata putus asa, patah semangat, atau kecil hati.

Oleh karena itu, setelah Nabi mengisahkan kisah perjuangan Hajar mencari air, dan berlari-lari antara gunung Shafa dan Marwah, beliau bersabda:

فَذَلِكَ سَعَيُ النَّاسِ

“Itulah kisah kenapa manusia bersa’i, (berlari).” (HR. Bukhari)

Wukuf Pada Hari Arafah

Hari Arafah, adalah hari yang paling agung, hari yang padanya kaum muslimin dengan jumlah yang sangat besar berkumpul di satu tempat, dengan pakaian yang sama, amalan sama, tujuan sama. Hari yang padanya turun berbagai rahmat Allah, dan diampunkan padanya dosa-dosa manusia, dan hari yang padanya pula Allah paling banyak membebaskan manusia dari neraka. Pada hari ini pula Allah menyempurnakan agama dan kenikmatan bagi umat ini:

اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُم دينكم وأتممتُ عليكمْ نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maaidah: 3)

Oleh karena itu, pada hari ini setiap jamaah haji menunjukkan sikap tunduk, merendahkan diri, banyak berdoa, menggantungkan segala harapannya hanya kepada Allah ta’ala, banyak berzikir, berdoa, meninggalkan segala kegiatan selain menghadapkan jiwa dan hatinya hanya kepada Allah; agar ia termasuk orang yang dibebaskan dari neraka pada hari ini. Mari kita perhatikan bersama sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

(خَيْرُ الدُّعَاء دُعَاءُ يَومَ عَرَفَةَ، وخَيْرَ مَا قُلْتُ أَنَا والنَّبيُّون مِنْ قَبْلِي: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيئٍ قَدِيْر).

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari arafah, dan sebaik-baik doa yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah doa: LA ILAHA ILLALLAHU WAHDAHU LA SYARIKA LAHU LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI’IN QODIR (Tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah kekuasaan, dan milik-Nyalah segala pujian, sedangkan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa).” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)

Ini adalah doa paling utama, yang diucapkan pada hari yang paling utama, hari yang padanya disempurnakan agama kita ini, sehingga sangatlah sesuai bila pada hari yang demikian agungnya, kita mengucapkan doa yang paling agung. Sungguh sebuah akhlak seorang hamba yang sempurna, betapa tidak, pada hari yang paling agung, beliau mengucapkan doa yang paling agung, yang bermaknakan: mengesakan Allah dengan segala macam ibadah, dan berlepas diri dari segala macam bentuk kesyirikan, dan sesembahan selain Allah.

Doa ini adalah dasar dari agama ini, kunci untuk membuka pintu surga, dan dengan kalimat inilah para rasul diutus, oleh karena itu hendaknya setiap jamaah haji dianjurkan memperbanyak ucapan doa ini. Akan tetapi, adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk mengetahui bahwa ucapan ini tidaklah akan diterima, bila tidak disertai oleh penghayatan dan pengamalan makna dan kandungannya

Hal ini sangat penting sekali, dikarenakan orang yang mengucapkan kalimat ini, kemudian tanpa meyakini akan maknanya, maka ia disebut munafik, dan orang yang mengucapkannya, akan tetapi amalannya bertentangan dengan makna kalimat ini, maka ia adalah orang musyrik, termasuk di dalamnya orang yang mengucapkannya, akan tetapi ia menujukan sebagian ibadah, seperti meminta rezeki, kesembuhan, tawassul, istighotsah, pertolongan, tawakal, kepada selain Allah.

Di antara akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dari amalan-amalan haji, adalah sikap mencontoh sunnah-sunnah beliau dalam menjalankan ibadah agung ini. Beliau telah menekankan akan kewajiban berpegang teguh dengan akhlak ini dalam sabda beliau:

لِتَأخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لاَ أَدْرِي لَعَلَّي لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

“Hendaknya kalian mencontoh (dalam menunaikan) manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak tahu, mungkin aku tidak berhaji lagi setelah hajiku ini.” (HR. Muslim)

Beribadah kepada Allah dengan cara mencontoh sunnah-sunnah Rasulullah, adalah akhlak yang wajib untuk dimiliki oleh setiap muslim, bukan hanya selama menjalankan ibadah haji, akan tetapi untuk selama-lamanya.

Sebagai seorang yang beriman kepada Allah, kita bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah, akan tetapi beribadah kepada Allah dengan cara yang Allah ajarkan melalui lisan Rasul-Nya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran:

يَا أَيُّهَا الَّذِين آمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ واتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيْم

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujuraat: 1)

Ayat ini merupakan adab yang diajarkan oleh Allah kepada hamba-Nya kaum mukminin, dalam bermuamalah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu agar mereka tidak berburu-buru dalam segala sesuatu dan mendahului kehendak beliau, akan tetapi mereka diharuskan mengikuti perintah beliau dalam segala hal, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/205)

Sahabat Ibnu Abbas tatkala menafsiri ayat ini beliau mengatakan: “Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya”, maksudnya adalah janganlah kalian mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah.

Oleh karena itu adalah wajib hukumnya bagi setiap jamaah haji, untuk mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan manasiknya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas, dan ini adalah perwujudan dari akhlak, penghormatan dan pengagungan kita sebagai seorang mukmin terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini merupakan tolok ukur akan keimanan setiap muslim:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, sedangkan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Sumber : Artikel www.muslim.or.id






Rabu, 10 Desember 2008

Resep Hidup Bahagia
Muslim.or.id

Kategori: Akhlaq dan Nasehat, Tazkiyatun Nufus

Seandainya kita bertanya kepada orang-orang di sekeliling kita dari berbagai agama, bangsa, profesi dan status sosial tentang cita-cita mereka hidup di dunia ini tentu jawaban mereka sama “kami ingin bahagia”. Bahagia adalah keinginan dan cita-cita semua orang. Orang mukmin ingin bahagia demikian juga orang kafir pun ingin bahagia. Orang yang berprofesi sebagai pencuri pun ingin bahagia dengan profesinya. Melalui kegiatan menjual diri, seorang pelacur pun ingin bahagia. Meskipun semua orang ingin bahagia, mayoritas manusia tidak mengetahui bahagia yang sebenarnya dan tidak mengetahui cara untuk meraihnya. Meskipun ada sebagian orang merasa gembira dan suka cita saat hidup di dunia akan tetapi kecemasan, kegalauan dan penyesalan itu merusak suka ria yang dirasakan. Sehingga sebagian orang selalu merasakan kekhawatiran mengenai masa depan mereka. Terlebih lagi ketakutan terhadap kematian.

Baca selengkapnya >>


Idul Adha dan Ibadah Kurban

dakwatuna.com
-------------------------------------



dakwatuna.com - Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai nabi Ibrahim dan nabi Ismail alaihimus salam. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin.

Dalam surah Ash Shaffat 100-111, Allah swt. menggambarkan kejujuran nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:...

Baca selengkapnya >>

Minggu, 23 November 2008

Menjadi Yang Paling Dicintai
Oleh: Muhammad Nuh
--------------------------------------------------------------------------------


dakwatuna.com - ”Bukan daging-daging unta dan darahnya itu yang dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…” (Al-Hajj: 37)

Maha Agung Allah yang Menciptakan kehidupan dengan segala kelengkapannya. Ada kelengkapan pokok, ada juga yang cuma hiasan. Sayangnya, tak sedikit manusia yang terkungkung pada jeratan kelengkapan aksesoris.

Berkurbanlah, Anda akan menjadi yang paling kaya

Logika sederhana manusia kerap mengatakan kalau memberi berarti terkurangi. Seseorang yang sebelumnya punya lima mangga misalnya, akan berkurang jika ia memberikan dua mangga ke orang lain. Logika inilah yang akhirnya menghalangi orang untuk berkurban.

Jika bukan karena iman yang dalam, logika ini akan terus bercokol dalam hati. Ia akan terus menenggelamkan manusia dalam kehidupan yang sempit, hingga ajal menjemput. Sulit menerjemahkan sebuah pemberian sebagai keuntungan. Sebaliknya, pemberian dan pengorbanan adalah sama dengan pengurangan.

Baca selengkapnya >>


Urgensi Tauhid
muslim.or.id

Tauhid adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak ada salahnya kita mengingat beberapa keutamaannya. Karena dengan begitu bisa menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita yang selama ini mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid akan berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.

Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah untuk Bertauhid

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim, Tafsir surat Adz-Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.

Baca selengkapnya >>

Rabu, 19 November 2008

3 Langkah Menjadi Manusia Terbaik
dakwatuna.com
Oleh: Mochamad Bugi
--------------------------------------------------------------------------------


dakwatuna.com - Ada hadits pendek namun sarat makna dikutip Imam Suyuthi dalam bukunya Al-Jami’ush Shaghir. Bunyinya, “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Terjemahan bebasnya: sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain.

Derajat hadits ini ini menurut Imam Suyuthi tergolong hadits hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani dalam bukunya Shahihul Jami’ush Shagir sependapat dengan penilaian Suyuthi.

Adalah aksioma bahwa manusia itu makhluk sosial. Tak ada yang bisa membantah. Tidak ada satu orangpun yang bisa hidup sendiri. Semua saling berketergantungan. Saling membutuhkan.

Karena saling membutuhkan, pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil

Baca selengkapnya >>



Dzikir (Al-Adzkar)
Al-Ikhwan.net

DALIL-DALIL TENTANG KEUTAMAAN BERDZIKIR

1. “Dan sesungguhnya mengingat ALLAH itu paling besar.” (QS al-Ankabut:45)

2. “Maka ingatlah kepada-KU, pasti AKU akan ingat kepadamu.” (QS al-Baqarah:152)

3. “Dan ingatlah kepada RABB-mu di dalam hatimu dengan merendahkan diri dan merasa takut, dengan tidak meninggikan suaramu.” (QS al-A’raf:205)

4. “Wahai orang-orang yang beriman ingatlah kepada ALLAH sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepda-NYA pada pagi dan petang hari.” (QS al-Ahzab:41-42)


MAKNA DZIKIR

Dzikir menurut pemahaman salafus-shalih adalah segala perbuatan yang dapat mendekatakan diri kepada ALLAH SWT, baik berupa shalat, puasa, zakat, tasbih, tahmid, takbir, tahlil maupun membicarakan hukum halal-haram, belajar, memberi nasihat, jual-beli, nikah, hajji, dan sebagainya. Sepanjang semua itu dilakukan dengan NIAT YANG IKHLAS dan melakukannya SESUAI DENGAN SYARI’AT, maka itu termasuk dzikir.

Baca selengkapnya >>

Jumat, 14 November 2008

Sedikit Ilmu Bukan Penghalang Untuk Berdakwah
tauziyah.com
Mungkin ada yang berdalih, “Aku tidak bisa mendakwahi orang lain karena pengetahuanku sangat minim.” Bagaimana menjawab pernyataan seperti itu?

Katakan kepadanya sabda Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. Ceritakanlah kisah Bani Israil tanpa ragu-ragu. Barangsiapa berdusta dengan mengatasnamakanku maka bersiaplah mendapat tempat di neraka.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Umar)

Walau hanya memahami satu ayat, sampaikanlah kepada orang lain. Walau mendapatkan ilmu dari khutbah Jum’at, sampaikanlah pula kepada orang lain. Jika menghadiri pengajian majelis taklim, datangilah sanak saudara lalu ceritakanlah apa yang Anda dapatkan dari pengajian tersebut.

Imam Ahmad Ibn Hanbal berkata, “Orang yang mengetahui suatu permasalahan, ia dianggap pakar di bidang itu.”
Kaum muda mungkin mengajukan keberatan lain, “Aku belum lama memakai jilbab dan masih banyak dosa yang menghalangiku untuk mendakwahi teman-temanku.”

Baca selengkapnya >>


Ta’liful Qulub
Al-Ikhwan.net
Abu Zaki Al-Kalimantany, Lc.


“Ruh-ruh itu adalah tentara-tentara yang selalu siap siaga, yang telah saling mengenal maka ia (bertemu dan) menyatu, sedang yang tidak maka akan saling berselisih (dan saling mengingkari)”. (HR. Muslim)

Inilah karakter ruh dan jiwa manusia, ia adalah tentara-tentara yang selalu siap siaga, kesatuaannya adalah kunci kekuatan, sedang perselisihannya adalah sumber bencana dan kelemahan. Jiwa adalah tentara Allah yang sangat setia, ia hanya akan dapat diikat dengan kemuliaan Yang Menciptakanya,. Allah berfirman yang artinya:

“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelajakan semua (kekayaan) yang berada dibumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. 8:63)

Dan tiada satupun ikatan yang paling kokoh untuk mempertemukannya selain ikatan akidah dan keimanan. Imam Syahid Hasan Al Banna berkata:“Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah sekokoh-kokoh ikatan dan semulia-mulianya. Ukhuwah adalah saudaranya keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kembarnya kekufuran”. (Risalah Ta’lim, 193)

Baca selengkapnya >>

Rabu, 12 November 2008

Mendekatkan Diri Kepada Allah
dakwatuna.com
Oleh: Iman Santoso, Lc
--------------------------------------------------------------------------------



dakwatuna.com - Bagi setiap muslim, apalagi dai, berkewajiban untuk mendekatkan diri kepada Allah agar meraih kecintaan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan: “Pendekatan diri hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah dengan sesuatu yang Aku wajibkan padanya. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan nafilah (ibadah tambahan), sehingga Aku mencintainya.” (Bukhari)

Dalam hadits ini menunjukkan bahwa ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah melaksanakan kewajiban. Kewajiban terdiri dari Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah. Fardhu Ain yaitu kewajiban yang mengikat setiap individu muslim, seperti sholat lima waktu, zakat, puasa, haji jika mampu, berbakti kepada orang tua, memberi nafkah pada anak istri dan lain-lain.

Baca selengkapnya >>


Islam,Iman dan Ihsan
muslim.or.id


Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam?


Islam Mencakup 3 Tingkatan

Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.

Baca selengkapnya >>

Jumat, 07 November 2008

Menggapai Kebahagiaan Hakiki
dakwatuna.com
Oleh: Thalhah Nuhin, Lc.

dakwatuna.com - “Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” Huud:108

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Thahaa:124

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…

Suatu hari, di dalam sebuah rumah tangga terjadi pertengkaran yang sengit antara suami istri. Sang suami berkata kepada istrinya dengan kemarahan yang luar biasa seraya berkata: “Sungguh aku akan menjadikan kamu menderita dan celaka!!!”. Dengan suara lirih istrinya menjawab: “Kamu tidak akan pernah bisa mencelakakanku sebagaimana kamu tidak bisa membahagiakanku!”. Dengan nada heran sang suami balik bertanya: “Mengapa tidak bisa?”. Istrinya menjawab dengan tegas dan yakin: “Sekiranya kebahagiaan itu hanya berkaitan dengan uang belanja dan perhiasan, niscaya kamu bisa menghentikan. Akan tetapi kebahagian itu hanya ada pada suatu yang dimana kamu dan semua manusia tidak akan pernah menguasainya.” Dan dengarkan baik-baik: “Sesungguhnya kebahagianku ada dalam imanku, sementara imanku ada dalam relung hatiku dan hatiku hanya ada dalam genggaman Rabbku.”

Baca selengkapnya >>


Kepada Siapakah Anda Meminta?
wahonot.wordpress.com
Oleh : Abu ‘Umair Muhammad Nur Ikhwan Muslim

Tentunya kita telah mengetahui do’a merupakan ibadah yang sangat mulia, dan kita pun mengetahui bahwa tidak selayaknya ibadah ditujukan kepada selain Allah. Meskipun perkara ini telah jelas, kiranya kita perlu untuk merinci kembali berbagai permasalahan yang terkait dengan do’a, mengingat begitu banyak kaum muslimin yang keliru, bahkan tidak sedikit yang terjatuh dalam kubangan kesyirikan disebabkan lemahnya pemahaman dalam masalah ini. Kita memohon taufik kepada Allah.

Perincian Do’a
Pembaca yang budiman, ditinjau dari bentuknya, maka do’a terbagi dua, yaitu do’a mas-alah dan do’a ‘ibadah.
1. Do’a ‘ibadah merupakan aktivitas ibadah seperti shalat, puasa, zakat, sedekah dan ritual ibadah lainnya.
2. Adapun do’a mas-alah bentuknya seperti yang sering kita panjatkan sehari-hari dan di dalamnya terkandung permintaan, semisal seseorang yang mengangkat tangan lalu berdo’a kepada Allah dan mengajukan permintaan kepada-Nya.

Baca selengkapnya >>

Senin, 03 November 2008

Pojok Hikmah: Allah Telah Menjadikan Kunci Bagi Segala Sesuatu
Muslimah.or.id

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi segala sesuatu kunci untuk membukanya, Allah menjadikan kunci pembuka shalat adalah bersuci sebagaiman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Kunci shalat adalah bersuci’, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kunci pembuka haji adalah ihram, kunci kebajikan adalah kejujuran, kunci surga adalah tauhid, kunci ilmu adalah bagusnya bertanya dan mendengarkan, kunci kemenangan adalah kesabaran, kunci ditambahnya nikmat adalah syukur, kunci kewalian adalah mahabbah dan dzikir, kunci keberuntungan adalah takwa, kunci taufik adalah harap dan cemas kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kunci dikabulkan adalah doa, kunci keinginan terhadap akhirat adalah zuhud di dunia, kunci keimanan adalah tafakkur pada hal yang diperintahkan Allah, keselamatan bagi-Nya, serta keikhlasan terhadap-Nya di dalam kecintaan, kebencian, melakukan, dan meninggalkan, kunci hidupnya hati adalah tadabbur al-Qur’an, beribadah di waktu sahur, dan meninggalkan dosa-dosa, kunci didapatkannya rahmat adalah ihsan di dalam peribadatan terhadap Khaliq dan berupaya memberi manfaat kepada para hamba-Nya, kunci rezeki adalah usaha bersama istighfar dan takwa, kunci kemuliaan adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kunci persiapan untuk akhirat adalah pendeknya angan-angan, kunci semua kebaikan adalah keinginan terhadap Allah dan kampung akhirat, kunci semua kejelekan adalah cinta dunia dan panjangnya angan-angan.

Baca selengkapnya >>


Sadar dengan Sebuah Kehilangan
dakwatuna.com
Oleh: Muhammad Nuh
--------------------------------------------------------------------------------



dakwatuna.com - “Orang yang pandai adalah yang senantiasa mengoreksi diri dan menyiapkan bekal kematian. Dan orang yang rendah adalah yang selalu menurutkan hawa nafsu dan berangan-angan kepada Allah.” (At-Tirmidzi)

Maha Besar Allah Yang menghidupkan bumi setelah matinya. Air tercurah dari langit membasahi tanah-tanah yang sebelumnya gersang. Aneka benih kehidupan pun tumbuh dan berkembang. Sayangnya, justru manusia mematikan sesuatu yang sebelumnya hidup.

Tanpa terasa, kita sudah begitu boros terhadap waktu

Trend hidup saat ini memaksa siapapun untuk menatap dunia menjadi begitu mengasyikkan. Serba mudah dan mewah. Sebuah keadaan dimana nilai kucuran keringat tergusur dengan kelincahan jari memencet tombol. Dengan bahasa lain, dunia menjadi begitu menerlenakan.

Baca selengkapnya >>

Kamis, 30 Oktober 2008

Tazkiyatun Nafs

Al-Ikhwan.net
Oleh: Abi AbduLLAAH
|

Al-Ikhwan.net - Tazkiyatun Nafs merupakan hal yang penting yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sudah sepatutnya kita teladani dan kita amalkan. Kajian ini akan menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan Tazkiyatun Nafs itu. Kajian akan meliputi definisi dari Tazkiyatun Nafs dan urgensinya.

DEFINISI

Secara bahasa, Tazkiyyatun Nafsi berarti membersihkan / mensucikan, atau menumbuhkan / mengembangkan. Sedangkan secara istilah Tazkiyatun Nafs berarti mensucikan hati dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. Sarana Tazkiyatun Nafs adalah melalui ibadah dan berbagai amal baik. Sedangkan hasilnya adalah akhlak yang baik kepada ALLAH dan pada manusia, serta terpeliharanya anggota badan, senantiasa dalam batas-batas syari’at ALLAH SWT.

Baca selengkapnya >>


Menjual Waktu dengan Pahala

dakwatuna.com
Oleh: Muhammad Nuh
--------------------------------------------------------------------------------


dakwatuna.com - “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-hadid: 16)

Maha Suci Allah yang menggantikan malam dengan siang dan sore pun menyongsong malam. Hari berlalu menyusun pekan. Hitungan bulan-bulan pun membentuk tahun. Tanpa terasa, pintu ajal kian menjelang. Sementara, peluang hidup tak ada siaran ulang.

Siap atau tidak, waktu pasti akan meninggalkan kita

Sejauh apa pun satu tahun ke depan jauh lebih dekat daripada satu detik yang lalu. Karena waktu yang berlalu, walaupun satu detik, tidak akan bisa dimanfaatkan lagi. Ia sudah jauh meninggalkan kita.

Begitu pun dengan berbagai kesempatan yang kita miliki. Pagi ini adalah pagi ini. Kalau datang siang, ia tidak akan pernah kembali. Kalau kesempatan di pagi ini lewat, hilang sudah momentum yang bisa diambil. Karena, belum tentu kita bisa berjumpa dengan pagi esok.

Baca selengkaonya >>

Rabu, 29 Oktober 2008

100 CARA MEMIKAT HATI MANUSIA
Oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Arifi

Salafiyunpad.wordpress.com

Setiap orang mempunyai cita-cita akan melakukan berbagai upaya untuk memburu apa yang diinginkannya.
Pecinta harta akan melakukan berbagai upaya untuk mengumpulkan dan mengembangkannya. Dan ia juga akan mempelajari keterampilan bisnis dan cara mencari keuntungan.
Stasiun-stasiun televisi akan melakukan berbagai upaya untuk menjaring pemirsa dengan menyajikan aneka program atau acara dan memilih gaya-gaya yang up to date. Juga melalui pelatihan berbagai macam keterampilan yang diberikan kepada presenter (pembawa acara) dalam rangka menarik minat masyarakat untuk mengikuti acaranya.
Hal yang sama, berlaku pada pengelola media cetak dan radio. Termasuk pada penjual barang-barang lainnya, baik halal maupun haram.
Mereka semua sangat tekun dalam memantapkan keterampilan-keterampilan yang berguna bagi mereka di bidang yang mereka geluti.

Baca selengkapnya >>


Sadar dengan Sebuah Kehilangan
Oleh: Muhammad Nuh
--------------------------------------------------------------------------------

dakwatuna.com


- “Orang yang pandai adalah yang senantiasa mengoreksi diri dan menyiapkan bekal kematian. Dan orang yang rendah adalah yang selalu menurutkan hawa nafsu dan berangan-angan kepada Allah.” (At-Tirmidzi)

Maha Besar Allah Yang menghidupkan bumi setelah matinya. Air tercurah dari langit membasahi tanah-tanah yang sebelumnya gersang. Aneka benih kehidupan pun tumbuh dan berkembang. Sayangnya, justru manusia mematikan sesuatu yang sebelumnya hidup.

Tanpa terasa, kita sudah begitu boros terhadap waktu

Trend hidup saat ini memaksa siapapun untuk menatap dunia menjadi begitu mengasyikkan. Serba mudah dan mewah. Sebuah keadaan dimana nilai kucuran keringat tergusur dengan kelincahan jari memencet tombol. Dengan bahasa lain, dunia menjadi begitu menerlenakan.

Baca selengkapnya >>

Minggu, 26 Oktober 2008

Saatnya Memberi
Oleh: Muhammad Nuh
--------------------------------------------------------------------------------

dakwatuna.com

“Adalah Rasulullah saw. lebih pemurah dari semua orang. Terlebih di bulan Ramadhan, di mana Jibril sering mengunjungi beliau untuk tadarus Quran. Saat itu, Rasulullah saw. teramat sangat pemurah, melebihi angin yang terlepas.” (Bukhari Muslim, kesaksian Ibnu Abbas r.a.)

Memberi tidak selalu menunggu permintaan

Biasanya, sebuah pemberian muncul setelah adanya ungkapan permintaan. Inilah kadar pemberian yang umum. Sebuah pemberian yang biasa terjadi di masyarakat kebanyakan.

Namun, akan beda nilainya jika pemberian justru lahir sama sekali tidak dari permintaan. Ia muncul sebagai perwujudan cinta yang digiring melalui kepekaan tinggi. Pemberian model ini, mungkin tergolong jarang. Tanpa diminta, pemberian sudah mendahului. Bahkan, sama sekali tak pernah terpikir oleh si peminta.

Baca selengkapnya >>


Sekilas Tentang Dunia

Oleh:Abu ‘Umair Muhammad Nur ikhwan Muslim

wahonot.wordpres.com

Dunia pada dasarnya bukanlah sesuatu yang harus dijauhi. Namun dunia bisa menjadi penghalang untuk bisa sampai kepada Allah. Harta pada dasarnya bukanlah sesuatu yang dibenci. Namun, harta itu tercela jika dia melalaikan dari mengingat Allah. Betapa banyak kaum muslimin yang tertipu dengan gemerlap dunia sehingga lupa akan tujuan penciptaannya, ironisnya mereka tidak menyadari hal tersebut dan ketika dirinya ditanya, “Apakah yang engkau inginkan, dunia ataukah akhirat?” Serentak dirinya menjawab, “Saya menginginkan akhirat!”, padahal keadaan dirinya menjadi saksi atas kedustaan ucapannya tersebut.

Kesenangan Dunia, Fitnah bagi Umat Ini
Cinta terhadap keindahan dan kenikmatan dunia adalah sesuatu yang menjadi ciri khas makhluk Allah yang bernama manusia, Allah berfirman (artinya), “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.

Baca selengkapnya >>

Kamis, 23 Oktober 2008

Silaturrahim Jalan Menuju Surga
Oleh: Tim dakwatuna.com
--------------------------------------------------------------------------------



dakwatuna.com - Hendaknya kita menyambung hubungan silaturahim dengan kerabat dan orang lain dengan bijak. Baik dengan harta ataupun dengan pelayanan dan dengan berbagai bentuk silaturahim yang mengantarkan kita untuk taat dan terhindar dari perbuatan maksiat sehingga kita akan dikenang nilai kebaikan meskipun kita telah meninggal dunia, sebab orang yang dikenang kebaikannya oleh manusia setelah meninggal dunia merupakan umur kedua setelah kematiannya.

1. Keutamaan Silaturrahim

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ قَالَ مَا لَهُ مَا لَهُ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَبٌ مَا لَهُ تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ ” .رواه البخاري .

Dari Abu Ayyub Al-Anshori r.a bahwa ada seorang berkata kepada Nabi saw., “Beritahukanlah kepadaku tentang satu amalan yang memasukkan aku ke surga. Seseorang berkata, “Ada apa dia? Ada apa dia?” Rasulullah saw. Berkata, “Apakah dia ada keperluan? Beribadahlah kamu kepada Allah jangan kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tegakkan shalat, tunaikan zakat, dan ber-silaturahimlah.” (Bukhari).

Baca selengkapnya >>

Sudahkah Kita Berbakti Pada Orang Tua?

Alloh yang Maha Bijaksana telah mewajibkan setiap anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Bahkan perintah untuk berbuat baik kepada orang tua dalam Al Qur’an digandengkan dengan perintah untuk bertauhid sebagaimana firman-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (Al Isro’: 23)

Baca selengkapnya >>

Selasa, 14 Oktober 2008

Bergegaslah Dalam Kebaikan
Oleh: DR. Amir Faishol Fath
--------------------------------------------------------------------------------

dakwatuna.com

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Al Abaqarah 148

Dalam ayat ini Allah memerintahkan fastabiqul khahiraat (bersegeralah dalam berbuat baik). Imam An Nawawi dalam kitabnya Riyadhush shalihiin meletakkan bab khusus dengan judul: Babul mubaadarah ilal khairaat wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqbaali ‘alaihi bil jiddi min ghairi taraddud (Bab bersegera dalam melakukan kebaikan, dan dorongan bagi orang-orang yang ingin berbuat baik agar segera melakukannya dengan penuh kesungguhan tanpa ragu sedikitpun). Lalu ayat yang pertama kali disebutkan sebagai dalil adalah ayat di atas. Perhatikan betapa Imam An Nawawi telah memahmi ayat tersebut sebegai berikut:

Pertama, bahwa melakukan kebaikan adalah ....

Baca selengkapnya >>


Samudra Kebaikan
Oleh: Rikza Maulan, M.Ag
--------------------------------------------------------------------------------



dakwatuna.com - Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Kebersihan itu adalah sebagian dari iman. Alhamdulillah itu memberatkan timbangan. Subhanallah dan Alhamdulillah keduanya memenuhi ruang antara langit dan bumi. Shalat itu adalah cahaya, shadaqah itu adalah burhan (bukti/petunjuk). Kesabaran adalah cahaya. Al-Qur’an adalah hujjah (bukti) untuk membelamu atau menentangmu. Setiap manusia bekerja, maka ada yang menjual dirinya dengan bekerja berat untuk keselamatannya atau kehancurannya.” (HR. Muslim)

Takhrij Hadits

Hadits ini (sebagaimana teks hadits di atas, riwayat Imam Muslim) melalui jalur Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari dari Abu Sallam dan Zaid, diriwayatkan oleh:


Baca selengkapnya >>

Kamis, 09 Oktober 2008

Terurainya Jalinan Silaturrahim

muslim.or.id

Tali kekerabatan harus selalu rapat dan erat. Beragam gejala yang berpotensi merenggangkannya mesti diantisipasi dengan cepat, supaya keharmonisan hubungan tetap terjaga, kuat lagi hangat. Semua anggota kerabat akan menikmati rahmat dari-Nya lantaran menjunjung tinggi tali silaturahmi yang sangat ditekankan oleh syariat. Sebaliknya, ketidakpedulian terhadap hubungan kekerabatan akan dapat menimbulkan dampak negatif. Alasannya, tali silaturahmi lambat laun akan mengalami perenggangan. Pemutusan tali silaturahmi berdampak mengikis solidaritas, mengundang laknat, menghambat curahan rahmat dan menumbuhkan suburnya egoisme. Sering terdengar di masyarakat pelbagai kasus putusnya tali silaturrahim. Ancaman Islam sangat tegas terhadap pemutusan silaturrahim ini.

Baca selengkapnya »


Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

muslim.or.id

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)

Baca selengkapnya »

Minggu, 05 Oktober 2008

Silaturahim: Menyiram Pohon Persaudaraan
Oleh: Muhammad Nuh
--------------------------------------------------------------------------------



dakwatuna.com - Persaudaraan kadang seperti tingkah dahan-dahan yang ditiup angin. Walau satu pohon, tak selamanya gerak dahan seiring sejalan. Adakalanya seirama, tapi tak jarang berbenturan. Tergantung mana yang lebih kuat: keserasian batang dahan atau tiupan angin yang tak beraturan.

Indahnya persaudaraan. Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan kekuatan politik umat.

Namun, pernik-pernik lapangan kehidupan nyata kadang tak seindah idealita. Ada saja khilaf, salah paham, friksi, yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol. Ketidakharmonisan pun terjadi. Kebencian terhadap sesama saudara pun tak terhindarkan.

Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi kerinduan. Sebaliknya, ada kekecewaan dan kebencian. Suatu hal yang sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam.

Lebih repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet. Penyebarannya bisa horisontal atau ke samping, bisa juga vertikal atau atas bawah. Para orang tua yang berseteru, anak cucu pun bisa ikut kebagian.

Rasulullah saw. pernah mengingatkan itu dalam sabdanya, “Cinta bisa berkelanjutan (diwariskan) dan benci pun demikian.” (HR. Al-Bukhari)

Waktu memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan kerinduan pun menindaklanjuti.

Kalau berhenti sampai di situ, bisa jadi, perdamaian cuma datang dari satu pihak. Karena belum tentu, waktu bisa menjadi solusi buat pihak lain. Kalau pun bisa, sulit memastikan bertemunya dua kesadaran dalam rentang waktu yang tidak begitu jauh.

Perlu ada cara lain agar kesadaran dan perdamaian bertemu dalam waktu yang sama. Dan silaturahim adalah salah satunya. Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman, kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin.

Dengan nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” (Muttafaq ‘alaih)

Menarik memang tawaran Rasul tentang manfaat silaturahim: luasnya rezeki dan umur yang panjang. Dua hal tersebut merupakan simbol kenikmatan hidup yang begitu besar. Bumi menjadi begitu luas, damai, dan nyaman. Sehingga, kehidupan pun menjadi sangat berarti.

Masalahnya, tidak mudah menggerakkan hati untuk berkunjung ke orang yang pernah dibenci. Mungkin masih terngiang seperti apa sakitnya hati. Begitu berat beban batin. Berat. Terlebih ketika setan terus mengipas-ngipas bara luka lama. Saat itulah, setan memposisikan diri seseorang sebagai pihak yang patut dikunjungi. Bukan yang mengunjungi. Kalau saja bukan karena rahmat Allah, seorang mukmin bisa lupa kalau ‘izzah bukan untuk sesama mukmin. Tapi, buat orang kafir.

Firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap adzillah (lemah lembut) terhadap orang mukmin, yang bersikap ‘izzah (keras) terhadap orang-orang kafir….” (QS. 5: 54)

Setidaknya, ada tiga persiapan yang mesti diambil agar silaturahim tidak terasa berat. Pertama, murnikan keinginan bersilaturahim hanya karena Allah. Ikatan hati yang terjalin antara dua mukmin adalah karena anugerah Allah. Ikatan inilah yang menembus beberapa hati yang berbeda warna menjadi satu cita dan rasa. Sebuah ikatan yang sangat mahal.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka….” (QS. Al-Anfal: 63)

Jangan pernah selipkan maksud-maksud lain dalam silaturahim. Karena di situlah celah setan memunculkan kekecewaan. Ketika maksud itu tak tercapai, silaturahim cuma sekadar basa-basi. Silaturahim tinggallah silaturahim, tapi hawa permusuhan tetap ada.

Kedua, cintai saudara seiman sebagaimana mencintai diri sendiri. Inilah salah satu cara mengikis ego diri yang efektif. Ketika tekad ini terwujud, yang terpikir adalah bagaimana agar bisa memberi. Bukan meminta. Apalagi menuntut.

Akan muncul dalam nurani yang paling dalam bagaimana bisa memberi sesuatu kepada saudara seiman. Termasuk, memberi maaf. Meminta maaf memang sulit. Dan, akan lebih sulit lagi memberi maaf.

Hal inilah yang paling sulit dalam tingkat keimanan seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”

Ketiga, bayangkan kebaikan-kebaikan saudara yang akan dikunjungi, bukan sebaliknya. Kerap kebencian bisa menihilkan kebaikan orang lain. Timbangan diri menjadi tidak adil. Kebaikan yang bertahun-tahun bisa terhapus dengan kesalahan semenit.

Maha Benar Allah dalam firmanNya, “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa….” (QS. 5:

Tak ada yang pernah dirugikan dari silaturahim. Kecuali, tiupan angin ego yang selalu ingin dimanjakan. Karena, ulahnya tak lagi membuat tangkai-tangkai dahan berbenturan.



Sumber : dakwatuna.com