Rabu, 31 Agustus 2011

Wawasan Al-Qur'an

Oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A

HALAL BIHALAL (1/2)

Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan
bimbingan agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk
memperoleh pesan-pesan kitab suci itu. Pertama, melalui
penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan murid-murid
mereka. Hal ini dinamai tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui
analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung
oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir
bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari
penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, yang dinamai
tafsir bir-riwayah.

Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal
melalui Al-Quran dengan menitikberatkan pandangan pada cara
yang ketiga.

Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada
beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal
bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal 'Aidin
wal-Faizin.


IDUL FITRI

Kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni
kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa
sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan
atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu,
lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.

Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?

Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti
asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.

Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari
dosa dan suci, sehingga 'idul fithr antara lain berarti
kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau
keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan
demikian ia berada dalam kesucian.

Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya
semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama
manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari
sekian banyak ayat Al-Quran.

Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan
yaitu, Janganlah mendekati pohon ini (QS Al-Baqarah [2]: 35).
Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena
berdosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Quran menyatakan,
maka Tuhan mereka menyeru keduanya, "Bukankah Aku telah
melarang kamu berdua mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7]
22).

Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara
lain:

Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama
Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni
masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu,
isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah
isyarat dekat, yakni "ini". Tetapi, ketika Adam dan Hawa
melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah
pun demikian, sehingga Allah harus "menyeru mereka" (yakni
berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang
menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat
jauh, yakni "itu" (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di
atas).

Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing
menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan
mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi
semula. Memang, tegas Al-Quran,

Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari
kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku,
sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan
jika mereka bermohon kepada-Ku (QS Al-Baqarah [2]:
186).

Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah
mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan
manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah
berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan
kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku
tobat, yaitu manusia dan Allah Swt.

Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia
(Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha
Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]:
37).

Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat
diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu
kembali Kami pun akan kembali" (QS Al-Isra' [l7]: 8), bahwa
Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.

Hadis Nabi Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara
lain,

Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal,
Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat
kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila
ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang
menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin
Malik).

Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah Saw.
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa
Rasulullah Saw. bersabda,

Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada
saat ia bertobat dan salah seorang di antara kamu yang
mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir,
kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak
binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia
berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia
berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja
binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun
memegang tali kendalinya sambil berkata saking
gembiranya, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku
Tuhanmu."

Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik
kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini
--menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti
senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa
pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki
potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya.
Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan
tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun
manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia
menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa
yang pernah ia lukai hatinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fltri
mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan
kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh
antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah
diperbuat.

HALAL BIHALAL

Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang
bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang
mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.

Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok
halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk
ditinggalkan). Nabi Saw. bersabda, "Abghadu al-halal ila
Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah
pemutusan hubungan suami-istri).

Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu
tidak akan menyebahkan lahirnya hubungan harmonis antar
sesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan
kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata
halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal
pengertian hukum.

Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di
antaranya pada konteks kecaman, yaitu:

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu
mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yunus [10]:
59).

Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan
ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu
adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi
mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).

Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak,
terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara
yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja
telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih
lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.

Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua
ciri yang sama, yaitu

a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),

b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah
(baik).

Perhatikan keempat ayat berikut

Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS
Al-Baqarah [2]: 168)

Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)

Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah
dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil
itu) (QS Al-Anfal [8]: 69).

Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah
diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)

Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan
aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan
merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat
menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam
ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas,
sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus
thayyib (baik). Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal
yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak
termasuk dalam kategori halalan thayyiban.

Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib)
sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai
berikut:

Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat),
ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang
yang berada dalam satu barisan/kesatuan).

Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang
berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang
yang menyucikan diri).

Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang
bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima
kali terhadap al-muhsinin.

Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak
mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah
adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap
mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali
dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang
baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak
menghasilkan kebaikan.

Dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 134 diisyaratkan
tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.

Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat
keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan
orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap
mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat
baik (terhadap orang yang bersalah).

Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah,
tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat
baik terhadap orang yang bersalah.

MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN

Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal
'Aidin wal Faizin.

Kata 'Aidin, adalah bentuk pelaku 'Id.

Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti
orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang
berarti keberuntungan.

Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan
berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada
bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali
dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam
bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk
al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal
yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang
terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena
tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia
tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.

Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat
berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu
ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan
telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak
ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka." Sungguh,
jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta
rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum
pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan
dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya
memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan
harta rampasan perang)" (QS Al-Nisa' [4]: 72-73).

Kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi
orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan
popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya
sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan
keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab dia
dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan petunjuk A1-Quran
yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan
kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan
kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif
(al-faizin atau al-faizun).

Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari
ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai
bentuknya itu (kecuali surat Al-Nisa [73]), seluruhnya
bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, seba gai
ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:

Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung
Al-Hasyr [59]: 20).

Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit-- dari
neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia
telah beruntung (QS Ali 'Imran [3]: 185).

PENGAMPUNAN

Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk
menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin
hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya, antara lain
taba (tobat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara
(menutupi), dan shafah.

Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan
memberikan maksud yang berbeda.

---------------- (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Artikel dari: Media

Tidak ada komentar: