Minggu, 14 Juni 2009

Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr.M.Quraish Shihab,M.A

AKHLAK (2/3)

Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw., beliau
menjawab,

Budi pekerti Nabi Saw. adalah Al-Quran
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).

Semua sifat Allah tertuang dalam Al-Quran. Jumlahnya bahkan
melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis.

Sifat-sifat Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia
Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya? Karenanya tidak
wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan.
Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. ada
tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempat
kasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim
meneladani sifat Al-Kibriya' (Keangkuhan Allah), ia harus
ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan kecuali
dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, terhadap
orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw melihat
seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau
bersabda,

"Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali
dalam kondisi semacam ini."

Seseorang yang berusaha meneladani sifat Al-Kibriya' tidak
akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang
angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan,

"Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah
sedekah".

Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan
kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia
terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama
kuat. Kekuatan dan kebesaran itu mesti diarahkan untuk
membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang
yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran
mengulang-ulang kebesaran Allah, Al-Quran juga menegaskan
bahwa:

Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang,
angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18).

Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus
menyadari bahwa istilah yang digunakan Al-Quran untuk
menunjukkan sifat itu adalah Al-Ghani. Ini yang maknanya
adalah tidak membutuhkan --dan bukan kaya materi-- sehingga
esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri
atau tidak menghajatkan pihak lain, sehingga tidak perlu
membuang air muka untuk meminta-minta.

Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya,
karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS
Al-Baqarah [2]: 273)

Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa
dirinya amat membutuhkan Allah:

Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah
orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir
[35]: 15).

Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, yang
harus diteladaninya, seperti Maha Mengetahui, Maha Pemaaf,
Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain.

Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang atau masyarakat
jika menjadikan sifat-sifat Allah sebagai tolok ukur, dan
tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat sebagai tolok
ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda
antara seseorang dengan yang 1ain, bahkan seseorang yang
berada dalam kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda,
dengan kondisi lainnya. Boleh jadi suatu masyarakat yang
terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.

SASARAN AKHLAK

Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika,
jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia,
serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.

Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan
terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak
merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap
batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup berbagai
aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada
sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
benda-benda tak bernyawa).

Berikut upaya pemaparan sekilas beberapa sasaran akhlak
Islamiyah.

a. Akhlak terhadap Allah

Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki
sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan
manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.

Mahasuci engkau --Wahai Allah-- kami tidak mampu
memuji-Mu; Pujian atas-Mu, adalah yang Engkau pujikan
kepada diri-Mu.

Demikian ucapan para malaikat.

Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia
untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah
"al-hamdulillah"). Dalam Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93,
secara tegas dinyatakan-Nya bahwa,

Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan
memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya,
maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai
dari apa yang kamu kerjakan."

Mahasuci Allah dan segala sifat yang mereka sifatkan
kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang
terpilih (QS Ash-Shaffat [37]: 159-160).

Teramati bahwa semua makhluk --kecuali nabi-nabi tertentu--
selalu menyertakan pujian mereka kepada Allah dengan
menyucikan-Nya dari segala kekurangan.

Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan
mereka (QS Asy-Syura [42]: 5).

Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya (QS
Ar-Ra'd [13]: 13).

Dan tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih
(menyucikan Allah) sambil memuji-Nya (QS Al-Isra'
[17]: 44).



Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui
dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian
Allah Swt. Itu sebabnya mereka --sebelum memuji-Nya--
bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan
sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan
kebesaran-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai
kesempurnaan Allah, tidak heran kalau Al-Quran memerintahkan
manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang
bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.

Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk
menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS
Al-Muzzammil (73): 9:

(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan
melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil
(pelindung).

Kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata
tersebut pada hakikatnya terambil dari kata "wakala-yakilu"
yang berarti mewakilkan.

Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu
persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili
sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut,
sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh
orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.

Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang
disebutkan di atas berarti menyerahkan segala persoalan
kepada-Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai
dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu
kepada-Nya.

Makna seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak
dijelaskan lebih jauh. Pertama sekali harus diingat bahwa
keyakinan tentang Keesaan Allah antara lain berarti bahwa
perbuatan-Nya esa, sehingga tidak dapat disamakan dengan
perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama. Sebagai contoh,
Allah Maha Pengasih (Rahim) dan Maha Pemurah (Karim). Kedua
sifat ini dapat pula dinisbahkan kepada manusia, namun hakikat
dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat disamakan
dengan apa yang dimiliki manusia, karena mempersamakan hal itu
akan berakibat gugurnya makna keesaan.

Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah
Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua maha
yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki
keterbatasan pada segala hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya
pun berbeda dengan perwakilan manusia.

Benar bahwa wakil diharapkan dan dituntut untuk memenuhi
kehendak yang mewakilkan. Namun, karena dalam perwakilan
manusia sering terjadi kedudukan maupun pengetahuan orang yang
mewakilkan lebih tinggi daripada sang wakil, dapat saja orang
yang mewakilkan tidak menyetujui atau membatalkan tindakan
sang waki1 atau menarik kembali perwakilannya, bila ia merasa
--berdasarkan pengetahuan dan keinginannya-- tindakan sang
wakil merugikan. Jika seseorang menjadikan Allah sebagai
wakil, hal serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula ia
telah menyadari keterbatasan dirinya, dan menyadari pula
Kemahamutlakan Allah Swt. Oleh karena itu, ia akan menerimanya
dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu
perbuatan Tuhan.

Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui
(QS Al-Baqarah: 216).

Dan tidak wajar bagi lelaki Mukmin, tidak pula bagi
wanita Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS
Al-Ahzab [33]: 36).

Demikian salah satu perbedaan antara perwakilan manusia kepada
Tuhan dengan perwakilan manusia kepada selain-Nya.

Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang
mewakilkan.

Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu,
Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda
tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan
oleh sang wakil.

Ketika menjadikan Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut
untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.

Perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah
menjadikan-Nya sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal
(tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak
(tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh
perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah
bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat
61:

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah
kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah.

Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Maidah

Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila
kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya
kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu
benar-benar orang yang beriman.

Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah, dan
segala yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun
harus percaya bahwa:

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah,
dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan
(kesalahan) dirimu sendiri (QS An-Nisa' [4]: 79).

Al-Quran memberi contoh bagaimana seharusnya seorang Muslim
mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.

Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah:

Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat,
bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan)
mereka yang sesat (QS Al-Fatihah [1]: 7).

Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber
dari Allah yang memberi nikmat. Perhatikan redaksi ayat di
atas "yang telah Engkau anugerahi nikmat". Tetapi, ketika
berbicara tentang jalan orang-orang sesat dan yang akan
mendapat murka, tidak dinyatakan "jalan orang-orang yang
Engkau murkai," tetapi "yang dimurkai," karena murka dapat
mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada
Allah.

Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim a.s.:

Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku (QS
Asy-Syu'ara' [26]: 80).

Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan
bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi, apabila aku sakit
kesembuhan yang merupakan sesuatu yang terpuji, dinyatakan
bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan".

Sekali lagi, bacalah firman Allah dalam surat Al-Kahf yang
mengisahkan perjalanan Nabi Musa a.s. bersama seorang hamba
pilihan Allah (Khidir a.s.).

Ketika sang hamba Allah itu membocorkan perahu, dia berucap
"Aku ingin merusaknya" (ayat 79), ini disebabkan karena
pembocoran perahu tampak sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi
ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh, kalimat
yang digunakan adalah "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82),
karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu. Ketika
Khidhir membunuh seorang bocah dengan maksud agar Tuhan
menggantikan dengan bocah yang lebih baik, redaksi yang
digunakannya adalah "Maka kami berkehendak" (ayat 81).
Kehendaknya adalah pembunuhan, dan kehendak Tuhan adalah
penggantian anak dengan yang lebih baik.

---------------- (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Sumber : http:// media.isnet.org

Tidak ada komentar: